Siapa yang tidak terpikat dengan wanita seperti Syifa?
Tubuhnya bersih, jarinya lentik, rambutnya bagus, bergelombang ringan yang surainya malu-malu menyentuh bahu rapi itu dan ujungnya seperti menukik ke atas sedikit, paripurna dengan suaranya yang renyah dan imut, membuatku tercenung setiap kali melihatnya.
Bagaimana ia berjalan dengan anggun, mengibar-ngibarkan rambutnya bak riak-riak gelombang kecil adalah satu dari sekian hal yang kusuka. Ingin sekali rasanya mulai menapaki sigai pertama kisahku dengannya, tapi aku yang berani menantang maut saja tak berani menantang diriku sendiri. Ironis.
Bak condong ditumpil, lemah diaduk, Erfin secara spontan berbicara sesuatu tentang Syifa yang membuatku langsung terlempar ke dimensi yang dipadati dengan perasaan cinta.
"Dia suka menulis ternyata, Bal," kata Erfin kepadaku di depan Gedung Djoeang itu.
Mendengar kisi-kisi berharga tersebut, membuatku semakin berbunga-bunga. Mungkin ini yang bisa kusebut sebagai takdir, karena afeksiku dengannya bertaut di satu titik kesenangan, yaitu menulis.
Bisa kutaksir, seperti umumnya para remaja wanita, Syifa juga pasti gemar menulis kesehariannya di dalam sebuah buku cantik beserta kontemplasinya. Ah, percis seperti diriku. Bedanya, ia pasti mengguratkan kata-kata yang manis, sedangkan aku isinya hal-hal aneh dan tak penting sama sekali.
Aku berterimakasih kepada Erfin. Entah dengan cara apa orang bermata empat itu bisa mendapatkan informasi yang begitu krusial ini. Terserah, aku tak peduli.
Senin itu, aku bangun dengan suasana hati yang menggebu-gebu. Salat subuh di musala Nurul Amal, mengaji sebentar, adu mulut dengan Aris, Erfin, dan Aan, sesampainya di rumah langsung kusambut handuk merah mudaku yang sudah menguning dan sobek di beberapa bagiannya. Sebentar lagi handuk itu pasti akan berubah fungsi, tak lagi untuk mengelap badan.
Sambil menutup mata, guyuran air yang sejuk itu menyuplai energi positif ke dalam diriku secara berkala. Dalam sejenak, aku langsung merasakan kedamaian. Kudiamkan gayung yang warnanya juga merah muda itu tepat di atas kepalaku, suaranya ringan dan membiarkannya memunculkan lumuran air yang tiada tara sensasinya kalau Saudara-Saudara tahu.
Di dalam bayanganku, aku dilanda rindu yang tak tertangguhkan kepada Syifa. Padahal belum sama sekali kami bertegur sapa, apalagi berbicara, tapi keberadaannya membuatku langsung mengambil keputusan yang sama sekali tak akan kusesali. Oke, hari ini harus ada pergerakan!
Sesampainya di gerbang sekolah, di mana para siswa berduyun-duyun mulai memadati area sekolah, di keramaian itu, mataku mendelik-delik berusaha mencari tahu bagaimana dan seperti apa rupa Syifa saat baru datang ke sekolah. Naik apa dia, seperti apa ekspresinya, apakah ia datang dengan kawan-kawannya, atau dengan kakaknya, atau bahkan mungkin naik angkot, naik sepeda? Seperti apa reaksinya saat ada seseorang yang mengucap selamat pagi kepadanya? Ah, kalau terus kuturuti semara ini, lama-lama aku bisa gila dibuatnya.
Pelajaran pertama yang bisa kuambil dari sikapku ini adalah, bahwa cinta bisa berujung kepada kegilaan. Maka, janganlah gila.
"Bal! Heh! Lu bengong bae. Kesurupan apa lu?!" sergah Aris seraya menepuk pundakku. Aku sampai kaget. Sekilas, aku seperti baru saja kehilangan kesadaran.
"Mikirin apa lu, Bal? Ujian? Ya elah ... gitu doang dipikirin," sambung Aan.
"Gausah dipikirin, Bal. Kata lu sendiri, jalanin aja. Ya, 'kan?" sambung Erfin.
"Iya juga. Maaf, maaf," sambungku.
"Iya, dimaafin," tutup Hamzah.
Hei, Hamzah! Itu adalah dialog perdanamu! Akhirnya ....
Sayang sekali, sampai masuk kelas aku tak bisa menemukan batang hidungnya di mana-mana. Aku masuk kelas dengan raut muka yang kusut dan cemberut karena kuanggap aku baru saja gagal memulai hariku dengannya.
Rutinitas, itulah yang kembali kudapatkan. Sekar, Uminah, Mudrikah, Jariyah, dan Rukoyah sebentar lagi akan meminjam pensilku untuk menentukan kembali siapa ratunya. Semenjak aku duduk di tempatku, kakiku inggang-inggung menunggu Sekar meminjam pensilku dengan air wajah memelasnya lagi.
Kulirik-lirik ia, sama sekali tak ada tanda-tanda kalau Sekar akan mendatangiku. Tumben sekali. Kupancing ia dengan mengetuk-ngetukkan ujung pensilku di atas meja. Mengherankan sekali, Sekar tak jua datang meminjam pensilku. Aku jadi merasa ada yang janggal, apakah karena ia sudah mendapat simpatisan yang baru selainku? Kulihat ia dan empat orang aneh temannya itu sibuk mengerjakan sesuatu di tempatnya masing-masing. Jangan-jangan, ada tugas?!
"Ris, Ris. Emangnya ada tugas ya buat hari ini?" tanyaku kepada Aris yang duduk di sampingku. Sedang bengong ia.
"Lah, gak tau. Jangan tanya gua. Salah orang lu," jawabnya dengan menampilkan wajahnya yang tengik.
"Sialan."
Lalu aku berdiri dari tempat dudukku, dan menghampiri si juara kelas. Namanya Sempol. Orangnya sangat akademis, tapi -mohon maaf- agak sedikit gagu. Sehingga jarang ada orang yang mengenalnya, karena Sempol juga kesulitan berbicara. Tapi tak apa. Aku akan bertanya kepadanya yang duduk tepat di depan meja guru itu.
"Pol, Pol. Emang hari ini ada PR?"
"Eh ... k-kagak, Bal. Kenapa?"
"Gak ada PR beneran, Pol?"
"I-iya, beneran."
"O-oke, d-deh. Makasih, ya. Maaf ganggu, Pol."
"A-aman, Bal."
Kenapa aku jadi ikutan gagu?
Lagipula, tadi kulihat Sempol juga sedang tidak mengerjakan apa-apa. Tak mungkin orang serajin dia bisa lupa PR, 'kan? Lalu, ada apa dengan Sekar dan yang lain itu?
Peduli amat, aku kembali ke tempat dudukku setelah menghabiskan waktu dua menitku dengan sia-sia. Sebentar lagi Bu Mirna juga akan masuk kelas.
Sejurus kemudian, Bu Mirna masuk kelas dengan kembali mengenakan batiknya yang anggun. Kepalanya yang tersaput kerudung hitam itu menjadikannya muslimah yang pandai menjaga diri. Setiap kali ia mengajar, entah itu Bahasa Indonesia, Fisika, atau Seni Budaya, tak pernah keluar kata-kata hardikan yang meruntuhkan mental muridnya.
Tapi maaf-maaf saja, Bu. Karena kalau ditanyakan kepadaku siapa guru favoritku bukanlah Bu Mirna. Aku lebih mengidolakan Pak Hasanudin, seorang guru berkepala empat berdarah Jawa yang dikenal sebagai tukang marah di kelasku. Pak Hasanudin yang kurus dan berkumis tebal itu mengampu pelajaran Sosiologi, dan menjadi guru terfavoritku semasa SMA di situ.
Aku mengidolakannya karena dua hal.
Pertama, karena Pak Hasan adalah guru yang adil menurutku. Jika ada siswa yang benar, maka ia terus angkat nama siswa itu setinggi-tingginya. Jika ada yang salah, maka langsung ia benarkan tanpa ada gimmick apa pun lagi. Jika siswa itu nakal, maka bersiap-siaplah kena gampar Pak Hasan dengan bagian luar tangannya yang ditumbuhi cincin berhiaskan batu akik besar.
Kedua, jika ia sedang malas mengajar, ia kerap kali berbicara tentang kegemarannya terhadap ikan peliharaannya di rumah, serta menceritakan kisah-kisah semasa kecilnya. Caranya mengajar, caranya tertawa geli, dan ketegasannya membuatku terpukau. Aku ingin memiliki lebih banyak guru cerdas sepertinya.
Tak disangka-sangka, kukira kelas hari ini akan belajar kebut-kebutan tentang fisika dalam rangka menyambut Ujian Akhir. Tapi ternyata Bu Mirna hanya datang untuk menyampaikan bahwa Bu Mirna, beserta guru-guru yang lain akan ikut rapat di SMP PGRI, Pekopen, sehari ini.
"Silakan, kalian bisa pulang ke rumah masing-masing hari ini. Jangan lupa belajar. Langsung pulang, ya, jangan mampir dulu kemana-mana. Beri tahu orangtua kalian terlebih dahulu."
Lalu Bu Mirna pamit, dan meninggalkan kelas.
"Tancap gas, Baaal! Let's goo!!!" teriak Aris ketika Bu Mirna baru saja meninggalkan kelas.
"Berisik, bego! Gas kemana?"
"Bi Emat!"
"Oh, oke!"
Orang itu memang sulit mendengarkan nasehat orang lain. Hasutannya lebih dahsyat bahkan dari siulan setan. Setelah berkemas diri, kami berlima langsung beranjak dari tempat duduk dan pergi ke warung Bi Emat.
Tapi tunggu sebentar. Bu Mirna bilang, beliau akan pergi bersama guru-guru yang lain, 'kan? Itu artinya, kelas-kelas lain juga diliburkan hari ini? Artinya, tak hanya penghuni kelasku yang akan berkeluaran dari kelas, penghuni kelas lain juga akan bertaburan, 'kan? Masih ada kesempatan! Aku masih bisa memulai hariku dengan Syifa, dengan melihatnya saja!
Kuambil tasku, kutarik-tarik tangan Aris supaya lekas keluar kelas, karena aku enggan ketinggalan momentum berharga ini.
"Aan, Er-"
"Alah, entar aja. Buruan!"
Kuseret-seret Aris seperti layangan yang tak berhasil diterbangkan, tersuruk-suruk di tanah.
Ketika aku keluar kelas, belum ada satu pun siswa yang juga keluar kelas. Aku bisa menunggu di dekat gerbang sekolah, menanti munculnya Syifa yang kucari sedari tadi itu.
Kemudian, lamat-lamat para siswa mulai berhamburan. Mereka berlari, bertengkar, berjalan sendiri, atau menjahili orang lain. Kerumunan yang acak itu kembali mengaburkan pandanganku. Semoga aku tak ketinggalan lagi.
Mataku dengan cepat bergerak-gerak melihat satu per satu perempuan yang rambutnya mirip Syifa. Tapi tak satu pun dari mereka adalah Syifa yang asli. Cukup lama aku berdiam diri di ujung gerbang sekolah, sampai dipelototi oleh orang-orang yang hendak pulang sekolah itu. Ah, tak peduli. Aku hanya peduli pada Syifa seorang.
Di dalam kegamanganku, penantianku akhirnya terjawab! Itu Syifa! Mataku langsung mengunci kepadanya! Aduhai, indah sekali caranya berjalan dan membetulkan rambut ketika diterpa angin pagi itu. Langkahku mengatakan kepadaku untuk menghampirinya dan berkata 'hai, selamat pagi'. Tapi, seperti kataku, aku tidak berani melakukan itu sekarang. Tapi sungguh, melihatnya saja sudah membuat nafsu makanku jadi naik.
Aku berhasil melihat reaksinya saat temannya menyapanya. Ramah sekali. Lesung di pipinya itu, antusiasme yang terpancar dari bola matanya yang bundar indah, kemudian tertawanya yang melengkung artistik itu membuatku sulit untuk berkedip. Tak bisa kurasakan apa-apa di situ, saat itu, kecuali hatiku yang sedang terpaut dengan Syifa.
Ah, Tuhan, maafkanlah hamba-Mu yang cantik ini. Dia baik, tapi dia tidak menyadari bahwa dia baru saja menyakiti satu lukisan-Mu yang agung itu. Sebenarnya, pelangi itu sudah bosan. Sudah kalah. Lengkungannya yang rupa-rupa warnanya itu dipatahkan oleh senyuman cantik Syifa. Kerupawanan darinya menyembulkan perasaan nyaman yang lebih dari pelangi, di dalam dadaku. Maaf, aku menyukai pelangi, tapi aku lebih menyukai Syifa.
"Bal! Buseeettt. Kesurupan apa lagi lu?! Tiap di halaman sekolah bawaannya bengooong melulu. An, besok sore bawa si Iqbal ini ke kolam pemancingan Mang Adang."
"Mau diajak mancing, Ris?"
"Ceburin aja! Kebanyakan setannya nih anak."
Lalu aku terbangun dari halusinasiku yang muluk-muluk itu. Tapi aku tak ingin itu berhenti cuma di halusinasi, aku ingin itu nyata dan terjadi!
Tapi, bagaimana caranya aku bisa mendekati Syifa?
Itulah tanda tanya besar yang menimpa pikiranku.***