Desember yang pemurung.
Hampir setiap harinya, hujan turun menerjang wilayah Bekasi dan sekitarnya. Membuat si rajin jadi malas, membuat yang malas jadi pemalas, membuat pemalas jadi makin malas.
Beberapa titik di kampung-kampung Tambun Selatan menjadi korban yang terdampak musibah banjir. Meski sistem drainase, gorong-gorong, comberan, dan kontur tanah yang masih sip dan awalnya diperkirakan bisa menahan gempuran air bah, nyatanya curah hujan yang tinggi dan awet membuat pertahanan air itu bocor juga. Nasib baik, aku tidak termasuk di antara titik-titik itu. Aku tidak berada di antara pasukan Romawi Bizantium yang akhirnya dijebol oleh kedisiplinan dan kekuatan spiritual pasukan Al-Fatih.
Sisa-sisa hujan yang menyirami kampungku membuat tanah-tanah jadi licin dan tak sedap dipandang mata. Hanya anak-anak bertelanjang dada yang bisa mengambil sikap positif dalam merespon hal ini, dengan berguling-guling, jungkir balik, teriak-teriak tak jelas, berlenggak-lenggok di bawah guyuran hujan sambil bermain bola di tanah lapang. Gawangnya, didesain dari tumpukan sandal jepit yang apabila tim lawan menendang bola lebih tinggi dari jangkauan kiper, maka golnya dianggap tidak sah.
Para pekerja melenggang di jalanan mengayuh sepeda-sepeda ontelnya. Dengan berpakaian rapi setelah jas dan topi fedora, mereka masih terinspirasi oleh gaya berpakaian Penjajah yang anggun dan berwibawa, meski pada ujungnya mereka berhenti di warung kopi pinggir jalan dan makan laksa sambil merokok di samping pasangannya. Definisi sejati dari selalu akan jadi diri sendiri.
Salah satu kegemaranku, apabila tidak direpotkan dengan hujan, dengan kawan-kawanku, adalah berkunjung ke tempat wisata Gedung Djoeang yang terletak di samping Jalan Hasanudin.
Gedung Djoeang punya sejarah historikal yang heroik. Barak bagi para pejuang Bekasi yang selalu berhasil menendang pantat Belanda dan Jepang supaya tak berani menyentuh daerah sini. Termasuk juga yang di Cibarusah. Berfungsi sebagai pusat komando dan tempat pertahanan yang jitu.
Setiap kali berkunjung ke sana dengan berjalan kaki, mengingat kembali perebutan setelah kemerdekaan antara Pejuang dengan Belanda, tiang berwarna putih yang menjulang tinggi mengibar-ngibarkan Sang Saka membuatku selalu menaruh hormat yang luhur acap kali bertandang ke situ.
Aku lumayan terobsesi dengan cerita perjuangan. Karena kuyakin, tak ada cara yang lebih matang untuk meraih kebebasan hidup selain dengan berjuang, yang punya tiga materi wajib di dalamnya. Disiplin, bekerja lebih keras setiap kalinya, dan keteguhan hati.
Itu juga yang jadi modalku ikut tawuran. Terdengar aneh memang, tapi nyatanya seperti itu. Keinginanku untuk menemukan jati diri dan mengumpulkan cerita-cerita heroik yang nantinya bisa kuceritakan ke banyak orang yang membuatku bisa bertahan di dalam lingkaran ini. Aku tak tahu penilaiannya, baik atau tidak.
Minggu pagi itu, aku mengajak Aris, Erfin, Aan, dan Hamzah untuk mengunjungi Gedung Djoeang lagi untuk yang kesekian kalinya. Nahas, hujan deras sedikit menciutkan niat kami. Lalu, dengan lantang Aris mengobar-ngobarkan semangat kami dengan suara sumbangnya. Seperti tapir berteriak.
"Hujan turun bukan untuk menghalangi!"
Lalu dengan gagah dan polosnya, Aris berjalan santai di tengah melandanya hujan deras saat itu. Anehnya, baru beberapa langkah berjalan, Aris sama sekali tak menoleh ke belakang, ke arah kami. Nampaknya ia sangat yakin, dan keyakinannya dijawab oleh simpatisan pertama, yaitu Erfin, yang menyusul Aris. Disusul Aan, disusul Hamzah yang belum pernah muncul dialognya di dalam cerita ini, lalu karena aku ditinggal sendirian, aku akhirnya mengikuti kekonyolan mereka.
Betul, awalnya aku mengira itu konyol. Tak ada tuntutan, tak ada kewajiban harus datang pukul delapan teng di depan Gedung Djoeang itu, tak ada jadwal penerimaan gaji dari bos, seyogyanya kami bisa menunggu sampai hujannya reda. Tapi di balik tingkah konyol itu, basah kuyupnya sama sekali tak memadamkan api perjuangan Aris untuk sekali lagi menghormati perjuangan pendekar kemerdekaan terdahulu. Sejurus kemudian, bersama teman-temanku yang absurd itu, kami dengan perasaan bangga berjalan kaki di bawah siraman hujan, bahkan sesekali mengambil sikap Gerak Jalan.
Lucunya, sampai di sana, awan gelap tiba-tiba membubarkan diri dari koalisi langit, dan hujan berhenti total disusul dengan senteran cahaya matahari yang terang benderang.
Sesampainya di depan Nyonya Tua yang angkuh, pendiam, tapi pemurah itu, Aris menarik kembali perkataannya.
"Asli. Kalau gitu, kenapa kaga nunggu ujan reda aja, ya?"
Lalu kami duduk di emperan situ, menikmati segelas kopi yang tertuang di gelas plastik bekas air minum kemasan dari penjual kopi yang menggunakan sepeda, dan membicarakan banyak hal. Termasuk soal Ujian Akhir dan perempuan.
"Udah mau abis semester satu nih, Bal. Gimana, dong?" tanya Aris kepadaku.
"Lah kaga tau. Kayak biasa. Jalanin aja. Belajar ulang, sedikit," kataku.
"Gimana ya, Bal, caranya supaya ada self upgrade pas di Ujian Akhir entar?" tanya Erfin kepadaku.
"Ya upgrade your self aja, Fin," dengan senyum yang paripurna, Erfin menerima jawabanku secara kontan.
Selain aku, banyak juga orang yang lamat-lamat mulai berdatangan ke Gedung Djoeang ini. Dengan klaim yang singkat, Gedung Djoeang ini tak hanya menjadi monumen dan tempat wisata. Ia bisa menjadi tempat orang berbicara bisnis, anak-anak muda berlatih skateboard, tak jarang pejabat-pejabat kecamatan bercokol di sini dengan kacamata pekatnya, ada yang sengaja menggelar catur, keluarga yang bertamasya sambil bersuka ria, orang-orang pacaran, tempat rehabilitasi untuk menghilangkan depresi para pencari kerja, tempat orang memulai kisah asmara sekaligus mengakhirinya, dan lain-lain. Termasuk aku yang sedang menyerap energi juang di sana.
Lama sekali aku berbicara tentang Ujian Akhir kepada teman-temanku yang kesulitan dalam belajar. Tapi aku tak pernah sama sekali membicarakan perihal belajar kepada mereka.
"Kalo gak salah, Einstein pernah ngomong, lu gak bisa ngenilai ikan dari caranya memanjat," kataku kepada mereka.
"Jadi?" tanya Aan. "Ngenilainya gimana, dong?" sambungnya.
"Dari caranya berenang lah. Gimana si lu?!"
"Terus?"
"Kaga nangkep maksud gua?"
"Kaga."
"Yeh, bego, lu!"
"Yeh, kaga boleh gitu, Bal. Lu gak boleh ngenilai orang yang suka ngelempar dari caranya nangkep," tukas Erfin.
"Iya juga."
"Lu mah sukanya ngelempar bola voli, 'kan, An? Kaga suka nangkep."
"Bener, sih."
"Yeh, sama begonya."
"Maksud gue, setiap orang spesial menurut kegemarannya masing-masing. Betul juga, lu gak bisa ngenilai Aan yang suka voli dari caranya main golf. Begitu. Nah, hal yang sama terjadi dalam dunia kelas."
Mereka mulai menyimak perkataanku dalam-dalam. Tak peduli ada skateboarder yang lalu-lalang di depan mereka, fokus mereka sekarang sedang beralih kepadaku.
"Jangan merasa bego, sekalipun sekolah dan murid-muridnya bilang elu demikian, hanya karena elu gak bisa fisika atau yang sejenisnya. Karena bisa jadi, lu sukanya berbicara, bukan menghitung."
"Hal yang lain juga berlaku. Jangan merasa tolol, hanya karena semua manusia di sekolah bilang elu begitu, karena lu gak bisa masukin bola padahal lu udah di depan gawang dan gak ada kiper di sana. Karena bisa jadi, lu gak ahli di situ. Karena lu gak ahli, lu gak pede. Karena lu gak pede, jadinya grogi. Karena lu grogi, jadinya tuh bola kaga masuk. Karena bisa jadi, lu gak suka main bola. Sukanya main angklung. Paham maksud gua, 'kan?"
Mereka mengangguk-angguk.
"Tapi ... jangan jadi alasan elu gak ngikutin hal yang emang seharusnya elu ikutin sebagai syarat. Ujian mah ujian aja. Belajar mah belajar aja. Disuruh main bola mah main bola aja. Tapi ketika lu ngerasa gak ngerasa maksimal di situ, karena elu gak berambisi di bidang itu, jangan menyalahkan dirilu sendiri."
"Itulah, yang gua sebut sebagai proses. Jalanin aja. Sekalian cari sesuatu yang bikin lu seneng. Ngerti, 'kan?"
"Ngerti, ngerti."
"Yaudah. Ayo cabut. Panas gua liat orang pacaran mulu," kataku sambil berpindah posisi menjadi berdiri.
"Nah!"
Tiba-tiba Erfin menyergahku.
"Begini, Bal. Tentang Syifa ..."
Hujan sudah lewat, angin ribut sudah minggat, sekonyong-konyong Erfin mengangkat nama Syifa di depanku yang membuatku langsung disergap rasa penasaran yang dalam. Dari wajah Erfin yang abstrak dan alisnya membentuk seperti sebuah jembatan itu, aku bisa menebak akan ada berita bagus yang keluar dari mulutnya. Aku duduk lagi dan mendengarkan Erfin, apa kira-kira yang ingin ia bicarakan tentang Syifa itu?***