Chereads / Terbakar (?) / Chapter 8 - 8. Restorasi

Chapter 8 - 8. Restorasi

"Bal, Ris, waktu di kawinan kakak gua, gua pernah dikasih nasehat penting ama nenek gua," kata Muji sambil berbaring tempat tidur rumah sakit yang dingin, sedangkan aku dan Haris duduk di sisinya menggunakan kursi plastik warna hijau yang ada senderannya.

"Nasehat apaan, Ji?" tanyaku penasaran.

"Pas selesai akad, pas semua orang lagi asyik dengerin lagu-lagunya Cici Faramida. Asyik bener dah tuh. Tiba-tiba nenek gua manggil gua. Yaudah, gua langsung ngehampirin nenek gua. Kali aja dapet duit, yekan."

"Terus?"

"Terus, waktu itu gua dan nenek jalan di depan sound, alhasil, nasehatnya jadi kaga kedengeran."

"Bajingan," kataku dengan muka datar. Muji terkekeh-kekeh tak jelas.

"Ji, ceritain kronologi pas lu dikeroyok, dong."

"Dikeroyok, ya. Hmm ..."

"Seperti pengeroyokan pada lazimnya. Gua sama sekali lagi nyantai jalan kaki ama bocah gua. Tiba-tiba dari arah belakang ama depan, ada yang neriakin sekolah gua. Dua temen gua ini langsung kabur ninggalin gua, karena mereka gak 'nakal' kayak gua dan elu-elu pada."

"Ga gua sangka, mereka bawa barang ternyata. Gua udah lari ke perkampungan, tapi mereka tetep ngejar gua dengan membabi-buta."

"Teriakan-teriakan yang bikin gua terprovokasi, akhirnya ngejadiin gua balik ngelawan mereka, sendirian. Hasilnya, ya begini. Ada tukang ojek sama tukang rujak bebek yang ngebubarin dan nyelamatin gua. Nah, ada si Panjul yang lagi pulang ke rumah, langsung bawa gua ke RS Cibitung ini."

"Pelakunya?"

"Orang-orang yang make seragam sama orang yang biasa aja. Kayaknya sih gabungan. Ngeri banget! Badannya gede-gede. Teriakannya menggebu-gebu. Larinya kenceng-kenceng."

"Le, orang yang ngehajarlu abis-abisan waktu itu, kayaknya salah satu di antara mereka," kata Haris menatapku tajam.

"Itu kejadiannya siang-siang 'kan, Ji?" tanyaku kembali.

"Bener. Hampir-hampir gua pendarahan di situ kalo gak ditolongin ama tukang ojek yang langsung nyobek bajunya buat nahan darah gua yang terus-terusan keluar. Udah puyeng banget waktu itu. Cahaya di mata gua makin redup, terus redup, tapi gua paksa bertahan sampe koridor rumah sakit ini."

"Ujungnya, gua dapet hasil begini. Gapapa, masih idup. Paling cuma kesusahan maen futsal doang ini mah," katanya bercanda, tapi aku tak bisa merasakan humor di situ. Aku sedih. Remaja melankolis yang saban subuh berjualan sayur emperan di pinggir jalan itu sama sekali tidak layak mendapatkan hal ini.

Dari omongan Muji aku mencoba untuk memahami sesuatu. Kehidupan ekonominya yang morat-marit, ditambah ia juga harus mengayomi kedua adiknya yang masih SD dan SMP, perempuan pula dua-duanya, rutinitasnya sebagai tangan kanan ibundanya dalam menjajakan dan mengurus sayur-mayur, kini ia ditambah lagi kekurangannya. Aku takjub kalau senyumnya barusan adalah senyum yang tulus. Bukan senyum palsu hanya untuk menyenangkanku dan Haris. Dan kurasa juga begitu, Muji adalah orang baik berhati baik.

Tapi apakah karena ia menjadi pribadi yang setegar itu, Muji pantas mendapatkan musibah seperti ini? Hanya karena ia adalah remaja berhati karam lantas bisa seenak udel dihantam berkali-kali? Aku tak bisa terima. Aku tak terima! Orang-orang yang dengan senang hati mengganggu dan merusak kehidupan orang lain, orang-orang tidak bertanggung jawab, tirani yang menyetir jiwa-jiwa mereka menjadi perilaku biadab, sama sekali tak bisa kumaafkan! Aku marah sekali! Mataku memerah! Tinjuku mengepal kuat-kuat menggenggam selimut Muji. Aku ingin balas dendam kepada orang-orang jahat itu!

"Le ..."

"Udah, tenang," bisik Haris menenangkanku dengan menepuk pundakku.

"Kalo elu begini, apa yang ngebuatlu berbeda dari mereka? Marah dan dendam bukan solusi, Le," lanjut Haris. Aku mulai meredam emosiku.

"Selama gua turun ke lapangan, gak ada cerita dari gua atau kakak-kakak kelas gua yang tawuran dengan motif penyerangan. Gak ada. Apalagi pengeroyokan."

Aku mulai dingin. Mataku mulai berani lagi menatap Haris dan Muji.

"Gua cuma berusaha ngelindungin apa yang bagi gua berharga. Gua cuma berusaha supaya ada orang yang ngejaga temen-temen kita di sekolah yang fokus sama pendidikannya, gak terusik sama orang-orang yang isi tasnya malah benda-benda tajem, bukannya buku pelajaran."

"Le, gua mau berhenti dari dunia kayak gini. Satu-satunya cara ya cuma lulus sekolah dan pergi dari sini, hijrah ke tempat yang lain," sambung Muji.

"Gua, Haris, elu, Panjul, Aris, dan yang juga pasti punya mimpi. Pengen punya pekerjaan. Pengen punya karir. Pengen selalu dapet respon dan kabar gembira dari orangtua-orangtua kita. Pengen punya cewek. Pengen punya anak. Pengen punya keluarga dan kehidupan bahagia sampe tua nanti. Sampe udah gak ada nanti."

Tanpa sadar, setelah Muji menuntaskan kalimat terakhirnya itu, mengalir air mata dari ujung pelupuk mataku, membasahi pipiku. Kuusap air mataku, dan kulihat Muji serta Haris juga terjadi hal yang sama. Ini kali pertamaku melihat teman-temanku menangis, saat berimajinasi tentang kehidupan yang normal dan bahagia. Aku kembali menitikkan air mata. Perlahan, tangisku mulai terisak-isak saat kembali memikirkan perkataan Muji yang rasanya menghujam relung kalbuku. Itu adalah perasaan yang sama, harapan yang sama, yang juga ingin kurasakan.

"Terus, jadinya, gimana, Ji?"

"Gua bakal terus idup, Le. Gua bakal tetep lanjut sekolah. Gua bakal tetep jadi Muji yang sok ganteng. Tapi emang ganteng beneran gua mah."

Senyum dan tawaku mulai bangkit.

"Sok ganteng, ya? Nantang juga lu, Ji. Di sekolahlu emang udah dapetin siapa?" kataku sambil memicingkan senyumku dengan sisa-sisa genangan air mata di pelupukku. Haris tersenyum lebar.

"Pamer pencapaian adalah hal yang buruk, Bal. Jadi, gak mau gua ceritain. Haha."

"Halah! Nyandingin elu sama cewek tuh ibarat kata nyuruh kambing berkokok. Kaga bakal bener, Ji!"

Lalu kami semua tertawa terbahak-bahak di dalam kamar nomor 207 yang tersedia dua tempat enam tempat tidur itu. Aku sama sekali bukan tak peduli dengan keadaan orang-orang yang ada di situ. Aku mengerti, mereka butuh ketenangan. Tapi aku percaya bahwa obat terbaik justru datang dari diri manusia itu sendiri. Sebuah perasaan yang optimis dan positif adalah harta karun tersembunyi yang Tuhan titip di tiap-tiap jiwa yang ada.

Aku dan Haris berpamitan kepada Muji dan menyilakannya untuk kembali beristirahat.

"Dimakan ya, Ji, buahnya."

"Iya, makasih banyak, Bal, Ris. Salam buat anak-anak."

Lalu aku dan Haris meninggalkan ruangan itu dengan perasaan yang baru saja mengalami restorasi. Perasaan lega dan positif yang berhasil mengalahkan aura setan di dalam dadaku.

Saat aku kembali ke ruang tunggu di bawah, kawan-kawanku sedang asyik menonton televisi nun canggih yang menempel di dinding ruang tunggu. Mata mereka semua tertambat, memelotot menyaksikan acara ketoprak di TVRI. Saat kupanggil saja, mereka sampai telat menyadari keberadaanku dan Haris.

"Woi! Mau balik kaga?!" kataku membentak sedikit.

"Oh, oh, iya, ayo, cabut. Eh, ayo," respon mereka terperanjat dan langsung bangun dari sana.

Kami pulang bersama, saling berbincang satu sama lain di pinggir Jalan Diponegoro yang ditumbuhi pohon-pohon asem. Motor-motor bebek bergerilya meliuk-liuk di antara mobil-mobil kodok yang gendut dan lambat. Suara mereka berdua sama bisingnya. Siraman cahaya matahari yang memantul di kepala-kepala mobil itu berkelebat dan menyilaukan mata. Awan-awan yang berlaku sebagai dayang dari matahari saling bertumpukan, saling melipat, saling bergerak ke arah yang sama dengan tempo dan besaran masing-masing.

Kepada siapa pun yang melukis indahnya perasaan dan pemandangan hari ini, bermekaran bunga kebanggaan di dalam diriku, bertaburan senyum-senyum yang menghiasi wajah teman-temanku, kepada siapa saja itu, aku berterimakasih atas kehidupan yang kejam, sekaligus indah ini.***