Untungnya, apa yang terjadi padaku bukanlah luka yang serius dan vital. Sedikit goresan di belakang kuping kiri dan memar-memar di wajahku bisa dengan cepat kuatasi. Hanya dengan sedikit sentuhan tradisional, baluran minyak khas Melayu merek Cap Tuan yang di dalam botol gepeng itu bersemayam sebuah akar lawang yang apabila dilumuri dan diusap-usap di permukaan kulit, panasnya nampol. Sebagai penyempurna, batu es adalah jurus pamungkasnya.
Hanya butuh waktu tiga hari untuk meredam nyeri di sekujur tubuhku hingga bisa pulih seperti sedia kala.
Aku sudah jadi Iqbal yang segar lagi. Senyumku tak lagi hipokrit dan meringis. Aku tak perlu lagi memutar-mutar sendi di bahuku, mengentak-entakkan pinggang dan leherku. Semuanya sudah pada posisinya. Tak ada yang mangkir. Tak ada syaraf, urat, pembuluh darah, sendi, dan lapisan otot yang kebingungan dan mutasi lagi. Semuanya sudah bisa bekerja dengan baik sesuai posisinya. Aku sangat bahagia bisa kembali bernapas tanpa harus kesakitan di bagian dada lagi.
Pagi itu adalah pagi yang cerah. Burung-burung berterbangan meninggalkan keluarganya untuk memenuhi nafkah anak-istrinya. Kutilang sibuk meneriaki alam dengan siulannya yang mendayu-dayu. Sebuah siulan kegembiraan yang menyambut dengan meriah kegembiraanku juga, atas selamatnya diriku dan yang lain dari tragedi mengerikan itu.
Dreeetttttt ...
Seperti biasa, rutinitasku ketika sekolah adalah datang pada waktu yang tepat. Betul-betul tepat. Tak ada kurang lima menit, apalagi lebih. Derat pintu yang sudah keropos, reyot, dan kakinya lumpuh menyeret-nyeret lantai saat dibuka atau ditutup itu menjadi kegemaranku. Ketika kubuka pintu, akan selalu terjadi seminimal-minimalnya dua hal.
Pertama, Aris menjahili atau mengagetkanku. Yang di mana, mimimal tiga kali dalam seminggu, ia memasang perangkap di titik-titik yang sudah ia duga, dan benar, bahwa aku nantinya akan duduk di sana.
Bermacam-macam tingkahnya.
Paling sering adalah menempelkan bekad permen karet Chiclets di tempat dudukku, di mejaku, atau nanti pulang sekolah menempelkannya di bokong celanaku, atau di area tasku. Sebetulnya aku sudah tahu betul indikasinya. Kalau Aris cengengesan lebih dari tiga kali dalam waktu kurang dari dua menit, Aan diam, Erfin bungkam, dan Hamzah mematung, pasti ada yang tidak beres. Setelah aku berhasil membongkar kejahilannya, aku langsung mengeplak ubun-ubunnya.
"Sialan ..."
"Hehe ..."
Atau kedua, kalau Aris sedang absen, entah ia sedang berduaan dengan Bunga di muka kelas atau entah sedang apa, saat aku baru saja duduk dan merapikan tasku, Sekar, atau Uminah, atau Jariyah, atau Mudrikah, atau Rukoyah pasti meminjam pensilku untuk melengkapi bagian terakhir dari ritual Pemilu-nya. Begitu yang mereka nisbatkan.
"Iqbal, boleh minjem pensil?" pinta Sekar dengan wajah seperti kucing minta ikan asin.
"Nih ..." kuberikan pensilku kepadanya, dan kulihat Uminah, Jariyah, Mudrikah, dan Rukoyah sudah membentuk lingkaran kecil di belakang kelas.
Sekar duduk, dan meletakkan pensilku di tengah-tengah mereka. Lalu, Sekar putar kuat-kuat pensilku dan mereka semua menunggu dengan perasaan yang bisa kutebak, wahai pensil, tunjuklah aku!
Setelah ada di antara mereka yang beruntung ditunjuk oleh pucuk pensilku, dalam sehari itu, orang yang terpilih itu akan diperlakukan bak ratu yang baru saja diangkat guna mengayomi rakyat-rakyatnya. Sebagai timbal balik dari itu, rakyat memberi pajak kepada ratu dengan mengeluarkan sejumlah persenan dalam bentuk es potong, gorengan, atau permen karet.
"Yey!" seru Rukoyah.
"Nah, sekarang tunduklah kalian kepadaku, ratu dari Kampung Groak! Sujudlah! Sembahlah aku!" lanjutnya sambil bertelekan tangan di pinggang, tertawa jahat, dan wajah yang menyebalkan.
Kemudian, sujudlah mereka kepada Rukoyah, dan Sekar mengembalikan pensil itu kepadaku dalam keadaan murung dan tertekan. Sekilas kabar yang kudapat dari acaknya kelakuan teman-temanku, saat-saat di mana Rukoyah terpilih menjadi ratu adalah saat-saat tirani mencekik rakyatnta. Itulah mengapa Sekar murung.
"Sabar. Semangat, ya ..." hanya itu yang bisa kukatakan.
Lagipula, kenapa harus pakai pensilku? Aneh sekali. Kelasku adalah kelas yang penghuninya aneh. Aneh sekali. Tapi, kenapa, ya? Yang aneh-aneh itu justru selalu menyenangkan dan menjadi jaminan kerinduan di hari tua nanti?
***
Sore itu, pada hari Senin setelah aku menjalani rutinitasku sebagai siswa kelas Fisika SMA 07 Bekasi dengan segala keabsurdan yang harus kujalani, bersama kawan-kawanku kami berangkat ke Rumah Sakit Cibitung dengan menumpang di sebuah truk pengangkut pasir kumuh dalam rangka menjenguk Muji. Muji yang malang.
Secara ringkas, Muji adalah korban pengeroyokan oleh sekelompok remaja gabungan. Gabungan antara kelompok remaja sekolah dan remaja kampung, yang bisa kukatakan dengan pasti motifnya, hanya 'ingin' melukai seseorang dan menunjukkan siapa bosnya.
Saat aku dan yang lain tiba di halaman rumah sakit, di mana banyak mobil dan motor yang tertambat dengan rapi, presisi di sana, aku melihat sekeliling banyak pasang mata yang memandangi kami dengan gurat mata yang membuatku merasa tidak nyaman. Mungkin hal yang sama terjadi di diri mereka saat melihat kami.
"Eh, Muji di ruangan berapa, lantai berapa?" tanya Erfin.
"Lah, kaga tau, dah. Entar nanya aja ke resepsionis," jawab Haris.
"Boleh gelar tiker di samping kasur rumah sakit gak, sih?" tanya Aris.
"Bukan piknik, goblok!" hardik Aan.
"... " Hamzah diam.
Di dalam rumah sakit, kami berlaku seperti anak kecil yang selalu tercengang dengan kecanggihan dan kemajuan teknologi yang ada. Para petugas medis dan pekerja di sana bermanuver dengan rapi dan disiplin. Pakaian mereka harum, tegas, berwibawa, dan saat mereka saling berkomunikasi satu sama lain sangat sarat akan status pendidikan yang tinggi. Aku hormat betul.
Saat aku menemukan di mana letak meja resepsionis setengah lingkaran berbahan jati yang kalis itu, Aris langsung menyaba meja itu dengan cepat. Padahal, sedang ada seorang ibu-ibu yang sedang berinteraksi dengan resepsionis di situ.
"Nah, ini resepsionis. Anu, Mbak, Muji di mana, ya?
Dengan cepat juga kupukul lengannya dan mengomelinya. Kutarik ia ke belakang, biar tak usah lagi bikin malu. Sudahlah, Ris. Ini rumah sakit, jangan bikin malu.
"Maaf, Mbak. Untuk saudara Pramuji Nurdiantoro yang pekan kemarin baru menjalani proses amputasi kaki, siswa SMA 02 Bekasi itu, sedang dirawat di ruangan mana ya, Mbak?" tanyaku sedangkan yang lain masih terkagum-kagum sama suasana rumah sakit yang serba presisi.
"Tuan Pramuji sedang dirawat di Ruangan Mawar nomor kamar 207 di lantai dua, Mas. Mas-mas ini temannya Tuan Pramuji?" perkataan Mbak Resepsionis ini lembut dan renyah sekali didengar.
"Betul, Mbak."
"Tapi mohon maaf, untuk jumlah sebanyak ini tidak bisa kami perkenankan masuk semua. Maksimal, kami izinkan hanya untuk dua orang saja. Jadi, yang lain bisa menunggu di ruang tunggu di sini. Mohon maaf sekali lagi atas ketidaknyamanannya."
Tolong! Kalau ada studio atau stasiun radio yang bisa merekam suara Mbak ini, berkicau apa saja, aku ingin mendengarnya 24 jam!
"Baik, Mbak. Terimakasih banyak."
"Iya, Mas."
Tolong! Dia menyebutku Mas! Mas apakah ini?! Mas ... masa depan?!
Lalu, setelah mengetahui regulasi seperti itu, aku berembuk dengan teman-temanku untuk memutuskan siapa saja yang akan menjenguk Muji.
"Haris, lu jenguk, ya,"
"Bale, lu jenguk, ya,"
Dengan singkat, langsung ditentukan, aku dan Haris yang akan menjenguk Muji.
Saat aku menaiki tangga menuju ke ruangan yang dimaksud, dengan sepatu kami yang beradu dengan lantai dengan sangat kencang, tek ... tek ... tek, Haris bertanya kepadaku dengan pertanyaan yang sangat mengejutkanku.
"Le, lu tau lignum vitae?"
"Hah? Apaan itu?"
"Itu, tuh, kayak pohon kehidupan gitu. Pondasi filosofis yang menghubungkan semua aspek kehidupan gitu, lah. Kayak seakan-akan di Bumi ini ada pohon gaib yang gede, yang menghubungkan kesemuanya itu."
"Oh ... menarik. Jadi?"
"Pokoknya, lignum vitae itu sejenis pokok yang paling mendasar banget."
"Oh ... oke. Jadi?"
"Karena itu pohon, peribaratannya, berarti koin bermuka dua, dong? Bisa subur, dan sebaliknya."
"Oke ..."
"Kita ini, jadi orang yang termasuk menyuburkan, atau malah sebaliknya ya?"
Aku tersenyum saja ke arah Haris, karena aku tak tahu harus menjawab apa.
Setelah berjalan menapaki tangga, sampailah aku dan Haris di Kamar Mawar. Kucari satu per satu nomor kamar 207 di lorong kamar sebelah Selatan.
"Ris, ini kamarnya."
Haris menghampiriku. Ia lantas mengenggam gagang pintu yang dingin itu, dan mulai membuka pintunya secara perlahan.
Betapa terkejutnya aku dan Haris, menyaksikan apa yang sedang Muji lakukan di situ dengan tongkat kruknya.
"Muji?" sapa Haris lembut.
"Uwoooohhh ... Haris! Iqbal! Apa kabar?!"
Lalu dia berjalan dengan penyangga kruk itu sekuat tenaga ke arah kami. Aku terkejut. Aku sedih. Aku juga merasa sedikit lega, melihat kondisi Muji yang sudah kehilangan satu kakinya, tapi tak kusangka ia bisa memberikan sambutan yang antusias begitu.
Sejurus kemudian, aku mulai bisa memikirkan jawaban atas pertanyaan Haris saat aku dan dia menaiki anak tangga tadi.
Jawabanku mungkin terkesan tidak bertanggung jawab dan kekanak-kanakkan. Tapi bisa kukatakan dengan pasti, bahwa aku tidak ambil pusing soal subur atau tidak. Dari Muji aku belajar, bahwa kebahagiaan datang dari syukur, dan manusia itu dinamis, fluktuatif. Meski demikian, tujuan mereka tetap satu, tetap sama, tak ada yang lain ; kebahagiaan.
Dan aku bahagia sekali.***