"Eh, di mana ini?" tanyaku kepada diriku sendiri setelah celingukan ke sana kemari.
"Kayaknya semenit yang lalu, aku ada di tempat yang ramai."
Kucoba untuk mengingat-ingat kembali memori jangka pendek yang baru saja aku alami, yang membuatku terempas ke dimensi antah berantah seperti ini.
Sebentar gelap, sebentar bertransisi ke perkampungan yang padat, di mana anak-anak asyik bermain dengan tumpukan keramik dan berlomba-lomba mengenai keramik itu dengan bola gebok guna dimulainya pengejaran antara tim penjaga dan tim buronan. Ada juga yang beringsut-ingsut di atas garis yang diukir di tanah lapang, menghalang-halangi orang yang berniat membobol pertahanan mereka dalam permainan Gobak Sodor.
Dari jarak yang dekat, aku juga diperlihatkan adu mulut antar orangtua di depan sebuah rumah, ditonton juga oleh beberapa warga di sana. Aku terka, pasti ada di antara mereka berdua yang punya persoalan dengan anaknya.
Bergeser sedikit, di dalam kristal waktu yang membeku, di mana jarum jam tangan yang kukenakan tiba-tiba berhenti melakukan tugasnya, aku diguyur dengan aksi yang sangat menyejukkan. Di mana, para warga dan alim-ulama saling sokong-menyokong merenovasi total musala dan katanya berencana untuk menaik-statuskan musala menjadi masjid besar. Rasanya, aku ingin mengumandangkan kalimat takbir atas perasaan kemenangan di dalam dadaku.
Dalam perasaan nyaman itu, saat mataku mulai berbinar-binar menikmati keindahan solidaritas di situ, jutaan kunang-kunang menjemput dan menerbangkanku menuju bintang-gemintang jauh ke atas sana. Perlahan, lembut, dan nyaman. Dari atas sana, aku melihat ada seseorang yang sedang menangisi seseorang, di dalam rumah yang dipadati banyak orang.
Aku tidak tahu siapa itu, siapa dia, ada apa itu. Lalu, kuminta kepada kawanan kunang-kunang tadi untuk mendekatkanku, melayangkanku lagi ke dekat Bumi dengan badan kerlap-kerlipnya. Aku tertegun. Ternyata, orang yang sedang ditangisi itu adalah aku. Orangtuaku dan teman-temanku yang lain berduyun-duyun menangisiku, entah karena apa.
Apa mungkin, aku sudah mati? Apakah ajal sudah memelukku dan sebentar lagi akan menghantarkanku pulang? Aku panik dan kacau. Kutanyakan kepada kunang-kunang itu.
"Apakah aku sudah mati?"
Tetapi kunang-kunang itu hanya bisa melayang-layang tak menggubrisku. Aku melihat kedua telapak tanganku, lalu ketika aku hendak melihat lagi diriku yang sedang ditangisi banyak orang itu, alam tiba-tiba kembali menjadi hitam dan gelap. Aku belingsatan.
Pasalnya, tak ada siapa pun di sana selain diriku yang tadi dipertemukan oleh jutaan kunang-kunang yang indah dan baik. Aku seperti sedang didudukkan di sebuah bangku di ruangan yang sunyi senyap, di mana seseorang yang entah bercokol di mana memutar klip-klip film agar aku tonton dan cermati. Memperlihatkan beragam ekspresi yang ada di situ, seperti sedang berusaha memperingatkanku akan sesuatu yang kurasa akan relevan.
Di tengah kesendirianku, di tengah kesunyianku, di tengah kegelapan yang membungkus kuat-kuat hati dan diriku, dari arah bintang-gemintang tempat aku dibawa pertama kali oleh jutaan kunang-kunang itu memantulkan getaran suara yang ringan dan samar-samar.
Aku masih memikirkan adegan-adegan yang baru saja kulihat, sampai yang terakhir ini di mana aku melihat diriku yang terbujur kaku di ruang tamu itu diitari dan ditangisi banyak orang.
Kegamanganku perlahan memudar sejalan dengan semakin jelas terdengarnya suara-suara yang menggema seperti sedang memanggil nama seseorang.
"Iqbal ... Iqbal ... Bal ..."
Namaku! Namaku sedang diseru oleh sumber yang tak kukenal. Bintang-bintang yang berkumpul acak mendekor langit dengan bercak-bercak emas hanya diam membisu, tak memberi tahuku apa-apa soal apa yang sedang terjadi. Nebula-nebula nun memanjang adalah semburan warna gradasi dari seniman yang melukis langit dengan impresif, juga tak mau membuka mulut.
Aku berpaling ke arah suara itu. Aku pandangi dalam-dalam, kutunggu dengan rasa penasaran yang penuh, siapa tahu suara itu kembali mengudara. Benar saja, suara itu makin keras memanggil namaku.
"Iqbal!"
Makin lantang!
"Iqbal!!"
Tubuhku bergetar hebat! Dan sejurus kemudian, untuk yang terakhir kalinya, aku dipindahkan ke padang ialalang yang luas dan tak kulihat tepinya.
Bertaburan bunga dan pucuk yang imut dan bersih. Rasanya, ingin sekali berguling-guling, salto, dan berlari-lari bersama padang ilalang yang bergoyang-goyang tersapu angin Utara itu. Aku menjadi gembira. Aku senang. Aku merasakan kebebasan! Kubentangankan kedua tanganku, dan wajahku menatap langit putih membiru, lalu kuteriakkan,
"Aku bebas!"
Sejurus kemudian, langit menjadi gelap! Awan-awan hitam bergerilya berkumpul di banyak titik. Suara-suara petir yang berdahanam serasa menusuk tulangku. Aku langsung takut! Aku khawatir! Kulihat lagi padang ilalang dan bunga-bunga yang indah tadi, tetiba saja sudah berlumuran darah. Bunga indah yang malang. Aku yang malang.
Duuuaarrrr!!!
Setruman petir yang terakhir yang dahsyat itu membuatku langsung bangun dan tersadar kembali. Haris, Aris, Aan, Panjul, Erfin, Hamzah, Tekur, Kedir, dan yang lain adalah orang-orang yang pertama kulihat setelah perjalanan panjang nun aneh itu. Aku terkapar di pinggir jalan. Orang-orang yang melintas kulihat melirik-lirik ke arah kami.
"Iqbaaal ..."
Aris tanpa alasan yang kuketahui, tiba-tiba memelukku dengan bajunya yang kotor dan wajahnya yang sedikit bonyok. Dari situ aku kembali teringat, bahwa aku baru saja siuman dari pingsan. Aku tak sadarkan diri, dan itu terasa sangat lama bagiku.
"Bal ..."
Aris menangis.
"Kita menang tawuran tadi. Mereka udah dipukul mundur."
Aku yang masih belum sepenuhnya mendapatkan kembali kesadaranku berusaha untuk memulihkan diriku.
"Tadi gua dipukulin abis-abisan, ya? Aduh, aduh ..."
Sekujur tubuhku serasa habis diremas oleh raksasa yang ganas. Remuk. Sulit kugerakkan kedua tanganku. Wajahku juga mulai terasa sakitnya. Memar. Kepalaku pusing.
"Udah, Bal. Istirahat dulu. Ris, An, Jul, tolong bawain Iqbal ke warung Bi Emat. Sebentar ..." ucap Haris seraya berdiri dan memberikan tanda kepada pengguna jalan.
Lalu, ada satu orang pengendara sepeda motor yang berhenti. Aku tak bisa mendengar apa yang Haris katakan kepadanya. Tapi Aris, Aan, dan Panjul dengan hati-hati mengangkatku ke motor itu, sedangkan pengendara tadi turun dan berbincang-bincang dengan Haris.
"Gila lu, Bal. Yang lu lawan itu pentolannya langsung. Badan segede gitu. Gerakan secepet itu. Nasib baik ada kereta lewat," kata Panjul sambil mengenderai sepeda motor bebek yang berisik itu.
"Alhamdulillah, dah, masih napas," sambung Aris yang menahanku di belakang motor.
"Iya, aduh, gua juga gak nyangka. Gak tau. Maafin gua, ya..."
Lalu mereka berdua terdiam sampai warung Bi Emat.
"Dah, Bal, tunggu sini. Gua balikin motor dulu. Ris, lu jagain di sini," kata Panjul sambil menggeber-geber gas motor.
"Gimana, Bal? Sakit banget, gak?" Aris bertanya sambil berjalan ke arah bilik Bi Emat untuk mengambil sedikit obat merah.
"Sakit parah, Ris. Pas gua pingsan, tiba-tiba gua kayak ada di tempat yang aneh banget," kataku yang masih meringis nyeri.
"Aneh gimana?"
"Aneh banget pokoknya. Intinya ..."
"Intinya apa?"
"Intinya ..."
"Apaan?"
"Intinya, gua nikah sama Bunga, Ris."
"Oalah, asu!" dengan serta-merta, Aris menampar punggungku dengan keras sekali. Lalu kami berdua tertawa. Aku tertawa sambil menahan sakit.
"Intinya, gua mimpi, Ris. Mimpi diajarin sesuatu, sama seseorang."
"Hah?"
"Tapi, gua gak tau apa yang lagi diajarin, siapa yang ngajarin."
"Aneh."
"Nah, aneh, 'kan? Idup ini banyak yang aneh-aneh, ya?"
"Iya, Le. Bahkan kayaknya, dibanding mimpilu itu, kehidupan nyata ini sendiri udah aneh."
"Iya, Ris. Semoga Muji sehat-sehat ya ..."
"Iya, Le. Amin. Elu juga. Jangan belaga sok-sokan by 1 begitu."
"Iya, Ris. Maaf."
Tak sampai 10 menit, datanglah teman-temanku yang nebeng di atas truk car carrier, bergerombol dengan kondisi yang sudah bonyok di sana-sini itu mengunjungiku di warung Bi Emat. Berbarengan dengan itu, serasi sekali, Bi Emat pun muncul dari arah yang sama menatang dua kresek hitam. Mereka mendarat satu per satu, mendekatiku, sedangkan Haris sepertinya mengucapkan terima kasih kepada supir truk.
"Ehhh ... kalian abis ngapain?! Eta bengeut ancur-ancuran gitu," kata Bi Emat kepada mereka.
"Biasa, Bi. Abis olahraga," kata Haris sambil tersenyum dan tertawa kecil.
"Yaudah, ke Bibi dulu atuh. Ehhh ... Iqbal?!"
"Siap, gerak, Bi?" responku mengambil sikap hormat berdiri.
"Abis ngapain?! Bonyok juga gitu," kata Bi Emat mengkhawatirkanku.
"Siap, abis olahraga bareng Haris, Bi."
"Udah, udah, geli ah, gausah hormat-hormat, Bal. Bibi mau ke dalem dulu, ya."
"Siap, geli, ke dalem, Bi," lalu aku dan semua yang ada di situ tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Bi Emat yang jengkel denganku.
Kuanggap, pertarungan dan balas dendam ini sudah lunas. Kemarahanku sudah kurilis, meski dengan resiko yang sudah harus kutanggung juga. Aku lumayan puas, karena bisa bergerak sesuai kehendak harga diriku sendiri. Tapi, meski begitu, di dalam diriku aku bergumam bahwa mungkin apa yang aku lakukan ini tidak benar. Aku tak tahu.
Tapi, satu hal yang bisa kupastikan. Setelah apa yang aku alami hari ini. Bahwa, di sekitarku, akan ada teman-teman yang berlaku bak seorang pahlawan heroik yang siap memikirkan dan berempati kepada orang lain. Aku bersyukur.***