Dengan pergerakan yang tak bisa kuungkap, Haris dengan cepat mendekatkan badannya ke orang yang sebentar lagi akan membacoknya itu.
Aku tak menyangka, kukira Haris akan menyerahkan tubuhnya. Tapi ternyata aku salah. Lagi-lagi, aku dipertontonkan sebuah teknik ajaib. Mendekatkan posisi tubuh ke tubuh lawan yang mengenggam senjata akan membuat lawan kesusahan memanuverkan senjatanya. Dan itu terbukti. Saat Haris sedikit lagi menempel dengannya, orang itu kesulitan untuk menggerakkan celuritnya, dan mungkin dalam pada itu posisinya terganggu oleh celurit, akhirnya ia buang celurit itu ke tanah.
Orang itu beradu pukul dengan Haris, tapi sangat timpang perbedaannya. Perbedaan yang menunjukan mana serdadu, mana jendral. Mana yang sabuk hitam, mana yang cuma menggunakan tali ikat sepatu sebagai ikat pinggang. Pukulan-pukulan tak beraturan dari lawan tak berarti apa-apa bagi Haris. Haris membalas dengan satu 'suntikan' dengan sikunya tepat mengenai hidung orang itu secara presisi, keras, tepat, membuat orang itu sekonyong-konyong sejenak kehilangan kesadaran diri.
Dengan singkat, dengan menakjubkan, Haris berhasil menumbangkan tujuh orang sekaligus hanya sendirian. Sendirian! Kalau ada gelar yang lebih tinggi dari Komandan dalam konteks ini, akan aku buat kamus baru supaya strata Haris lebih tinggi.
Haris membantu temannya yang tadi terkapar dan memapahnya ke arah kelompok kami. Terlihat, sekarang dua kelompok ini sudah mulai kendur dan jarang. Tidak lagi agresif seperti di awal.
Ada banyak bercak darah yang berceceran di batang rel kereta, di bebatuan, dan wajah-wajah mereka sudah sulit untuk diindetifikasi. Baju mereka juga sudah sobek-sobek dan penuh dengan luka menganga. Tapi aku rasa dengan kondisi musuh yang masih sehat wal afiat, belum cukup untuk membayar apa yang terjadi pada Muji.
"Mana lu?! Bacot doang di awal, anjing! Menang jumlah doang! Kaga ada lawan! Pengecut!" teriak Aris dengan kondisi darah mengocor lewat lubang hidungnya.
Satu per satu barisan belakang mereka mulai meninggalkan tempat tawuran. Tapi, aku masih belum merasa puas. Aku ingin lagi. Aku ingin melihat ada yang terluka lagi! Mataku memerah saat itu. Aku masih terpikirkan tentang pembalasan yang setimpal! Dengan lantang aku mengungkapkan,
"Keluarin satu orang terbaiklu! Satu lawan satu! Lawan gua!!!"
Lalu aku maju dan mengempaskan bambuku ke sembarang arah. Aku menganggap, jika aku berhasil dengan inisiasiku ini, aku akan jadi orang yang menang. Tak lagi sulit bagiku memikirkan nasib Muji dan mungkin orang yang lain.
Aku maju dengan gagah berani, dan tanpa sadar, saat aku berniat untuk meregangkan otot leherku dengan mengentakkan kepalaku ke kanan, darah perlahan mengalir dari belakang leherku. Ternyata, aku sudah terkena sabetan celurit dari orang yang sempat mencuri fokusku dari belakang itu. Tapi aku tidak mundur! Aku tidak tahu apakah aku akan menang atau tidak. Tapi yang aku tahu, asal aku terus dan tetap memukul, aku tidak akan kalah!
Lalu, indra mereka tiba-tiba muncul dalam kondisi yang masih sangat bersih. Seragamnya masih rapi, tak ada bekas-bekas berantakan seperti aku dan yang lain. Kedua bagian lutut celananya yang sobek itu seakan mengancamku, membuatku menjadi sangsi. Ini dia, raja terakhir!
"Siapa lu? Orang penting dari 07, bukan? Kalo bukan, males gua ngurusin lu," katanya dengan nada yang sangat santai dan pongah.
Aku tersinggung. Jantungku berkatifitas dengan sangat cepat. Sampai bisa kudengar saat aku mengusap bekas darah di area belakang telinga kiriku.
"Terserah!"
Aku langsung berlari menerjang orang yang angkuh itu. Aku percaya diri, bahwa aku pasti bisa setidaknya membuat kedua matanya memar dan membiru. Teman-temanku mengerdomkan musuh yang sedang berdiri sombong di depanku.
"Matiin, Le!"
Saat aku hendak mendaratkan pukulanku di wajahnya, tak kusangka ia mengambil beberapa langkah maju dan meng-counter seranganku dengan pukulan telak di area perut.
"Wuuggh.." erangku kesakitan sambil berlutut di hadapannya.
Ia meraih kepalaku, mengacungkan jari tengahnya tepat di depan mataku, dan membenturkan kepalaku dengan lututnya sampai tiga kali. Aku terkulai tak berdaya di sana. Napasku sesak sekali. Pandanganku mulai kabur. Saat aku dalam kondisi yang mengkhawatirkan itu, ia menindihku dan meninju mukaku bertubi-tubi sampai-sampai aku tak bisa lagi merasakan sakitnya dipukuli seperti itu. Aku hampir tak sadarkan diri. Kepalaku pusing. Tak bisa kulihat apa pun dengan mataku kecuali layar yang mulai menghitam.
"Hah?! Mampus, lu! Gua matiin lu, anjing!"
Hanya itu perkataan yang bisa kutangkap dari kondisiku yang mulai kacau. Aku berusaha menggerakkan tanganku untuk meminimalisir damage yang kuterima dari hantamannya yang terus-terusan menghantam wajahku. Tapi, tubuhku serasa dililit tambang jangkar, dan terbawa ke dasar lautan yang dalam, tempat aku terkurung dan mungkin mati di situ.
"Katanya satu lawan satu! Hah?! Segitu doang kemampuanlu?!"
Aku tak lagi bisa menangkap semua jenis objek di sekitarku. Aku tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Tak bisa melihat apa-apa lagi. Tak bisa menggerakkan apa-apa lagi. Hanya satu kata terakhir yang bisa kudengar saat itu, saat sebelum kesadaranku benar-benar hilang dan musnah. Sayup-sayup dari arah Barat lengkingan suara kereta api yang sudah kuanggap sebagai lonceng kematianku, kian jelas terdengar suaranya hendak menyergap nyawaku.
Untuk yang terakhir, saat aku sudah memasrahkan diri apa pun yang akan terjadi kepadaku, terdengar suara seseorang yang memanggilku yang tak kuketahui siapa dan dari mana sumbernya.
"Baleee!!!"
Lalu, mataku perlahan tertutup rapat, samar-samar kurasakan kehadiran orang yang sedari tadi memukulku mulai menghilang, begitu pun dengan kehadiranku sendiri, dan aku pun tak sadarkan diri.***