Di samping pangkas rambut Asgar, sepulang sekolah, aku menemui rekan-rekanku yang baru pulang. Mereka sedang berbincang-bincang di depan warung kelontongan itu. Ketika aku sampai di hadapan mereka, wajah mereka masih adem-adem saja. Tak ada raut yang mencak-mencak atau gelap, meski mereka tahu, apa yang akan terjadi dan mungkin terjadi sore ini.
"Le, Haris udah balik?" tanya Sandi, teman sebangkunya Muji dari SMA 02 yang jaraknya tak terlampau jauh dari SMA-ku itu.
"Belom, gua cabut duluan nih ama bocah. Mau duluan ke 'arena'. Lu semua pada nunggu Haris?" tanyaku kepada mereka bertujuh. Dengan kompak mereka menjawab 'iya'.
Aku langsung duduk di antara mereka. Tekur dan Kedir memberiku ruang untuk duduk di celahnya. Sekadar info, Tekur dan Kedir ini adalah adik-kakak yang selalu bersama di setiap jenjang pendidikannya. Kakaknya Kedir, Tekur adiknya. Membedakan keduanya dari arah belakang akan sangat muskil. Karena keduanya punya jenis rambut yang keriting semi kribo. Untuk membedakannya perlu dilihat dari porsi janggutnya. Si Kakak punya janggut yang lebih lebat dibanding Tekur. Selain itu, sama. Mereka berdua adalah duplikasi satu sama lain.
"Makasih, Kur, Dir," ucapku kepada mereka sambil menepuk pundak Tekur dan Kedir.
"Lu udah pada tau, 'kan? Kita bakal nyerang di mana?"
"Di rel kereta Indoporlen, 'kan? Yang deket sawah itu? Belakang Bulog?" respon Sandi yang punya lengan berurat nun berotot itu.
"Bener. Jadi begini ..."
"Gua sama temen-temen gua itu bakal nunggu di warung samping rel kereta. Kalo boleh, gua nyabut 2 orang dari temenlu, San, buat ngeramein. Soalnya nanti Haris sama anak kelas 3 yang laen bakal ramean. Walaupun prediksinya nanti anak-anak 05 bakal lebih rame jumlahnya, sih."
"Ambil aja. Kur, Dir, lu ikut Bale, ya?"
"Siap, gerak!"
"Oke. Nah, elu semua ; Sandi, Biram, Algi, Panjul, sama Dwi, tunggu Haris di sini. Dia bakal bawa tujuh orang temennya. Lu ngobrol dulu dah nanti sama Haris kalo dia udah sampe sini."
"Oke, Le."
"Atau gua jelasin sejelas-jelasnya sekarang dah. Jadi, total kita semua ada dua puluh orang. Orang gua lima, elu anak 05 bawa tujuh, Haris ama temennya jadi delapan."
"Sembilan belas, Le," koreksi Panjul.
"Masa? Gua, Aris, Erfin, Aan, Hamzah, Sandi, elu, Tekur, Kedir, Dwi, Biram, Haris sama temennya jadi delapan. Dua belas tambah delapan..."
"Oh, iya, bener dua puluh. Hehe," katanya sambil garuk-garuk kepala.
"Yeh, goblok!" hardikku.
"Bego!" hardik Sandi.
"Idiot!" hardik Dwi.
"Muhasabah, lu!" hardik Biram. Lalu kita semua tertawa terbahak-bahak.
Aku tahu betul, Panjul sengaja bertingkah seperti itu supaya aku dan yang lain tidak terlalu terbebani dengan rencana ini. Meski sebetulnya, kalau jujur-jujuran, Panjul memang juru kunci di kelasnya. Di antara mesin dan badan motor yang bagus, nah, Panjullah asap knalpotnya.
Setelah itu, aku anggap mereka semua paham akan situasi yang sebentar lagi akan dijalani. Dengan segera aku bertolak dari warung kelontongan itu ke rel kereta dengan berjalan kaki. Jaraknya memang lumayan, sekitar 400 meter dari jalan protokol, maka sampailah aku di perlintasan kereta api itu. Di sanalah aku dan kawan-kawanku menunggu.
"An, coba lu cek dulu itu 'barang' di semak-semak. Oke, gak?"
Aan langsung mengecek semak-semak di sisi rel kereta dan menyetelengkan arit sambil mengacungkan jempol. Polos sekali anak itu. Aku memberi kode dengan tanganku supaya Aan meletakkan kembali senjatanya di semak-semak, berhubung masih banyak sekali kendaraan yang lalu-lalang di perlintasan kereta.
Aku menunggu di sana sambil bercanda-canda dengan mereka.
Satu jam kemudian, tibalah saatnya. Dari arah Timur kulihat ada titik-titik bergerombol yang melenting-lenting teriakan-teriakan mengerikan. Mereka berlari ke arah kami yang sedang duduk-duduk di pinggir rel, dekat penyimpanan senjata yang barusan Aan cek. Aku dan yang lain berdiri dan berteriak,
"07!!! Sini!!!"
Orang pertama yang bisa kukenali dari jarak sejauh itu adalah Panjul. Dia berlari di atas batu-batu rel kereta ke arah kami.
"Anjing! Banyak banget bocah 05! Mana senjatanya, Le?!"
"Aan!"
Aan langsung bergerak dengan gesit mengirimkan arit yang sabitnya besar bukan main kepada Panjul. Perlahan-lahan disusul dengan yang lain mengambil senjata masing-masing. Kini teman dan sekutuku sudah memegang barang. Arit, tongkat baseball, bambu runcing, katana yang sudah berkarat, dan di tangan kiri mereka sudah memegang batu semua.
Sedangkan di sisi seberang, musuh terlihat sangat banyak jumlahnya. Besar-besar senjata mereka. Parang-parang yang memantulkan cahaya matahari membuat bulu kudukku sedikit merinding. Aku bergetar hebat. Senjata-senjata mereka bercahaya dan berdenting-denting. Bambu runcing yang sedang kubawa sampai ikut bergetar.
Kubuku dan kubu mereka berhenti bergerak. Kami sekarang berhadap-hadapan. Di depan kami, berdiri dengan tegak Komandan Tempur yang tak kenal takut. Ia memegang bambu runcing yang hanya sepanjang dirinya saja. Dengan mengejutkan, ia mematahkan bambu itu menggunakan pahanya yang kokoh. Dengan lantang, ia berteriak,
"Kenapa lu nyerang Muji?! Apa yang lu dapet dari nyerang Muji?! Apa yang lu cari dari nyerang Muji?!"
Aku bisa melihat rangkaian urat-urat menyembul di leher Haris. Suaranya keras, keras sekali. Dari arah seberang tak kusangka mereka ternyata merespon.
"Apa urusanlu, anjing?!!! Gak suka lu?!!! Sini, maju!!! Gua bantai lu semua!!!"
Perkataan orang itu disusul dengan teriakan-teriakan maut yang memekikkan telingaku. Klakson-klakson yang sedari tadi dibunyikan oleh kendaraan yang lalu-lalang di perlintasan kereta di belakang kami sama sekali tak kami hiraukan.
"Bale!!!"
Aku yang tadinya berdiri di posisi belakang, langsung menyelinap di antara teman-temanku, dan berdiri tepat di samping Haris. Ia sama sekali tak melihatku. Matanya fokus hanya tertuju pada musuh. Mukanya sama sekali tak menunjukkan ekspresi bahwa Haris sedang marah hebat. Ia bisa tetap bisa tenang meski mendapat respon yang aku sendiri sangat membencinya. Napasku sendiri sedang memburu, tak sabar rasanya aku merobek-robek tubuh mereka. Aku sempat melirik ke wajah Haris untuk terakhir kalinya sebelum aku menerjang musuh.
Ia menadahkan wajah ke langit yang cerah dan mulai berubah menjadi saga, ia memejamkan mata dan menghirup napas panjang-panjang, dan mengenyahkannya dengan tenang juga. Aku bisa mendengar sesuatu dari pergerakan mulutnya. Ia mengatakan sesuatu yang hanya aku yang bisa mendengarnya.
"Oke, cukup," begitu desisnya.
Haris tiba-tiba melesat dengan sangat deras dengan kedua bilah bambu di kedua tangannya. Larinya sangat laju saat itu. Kerikil-kerikil tajam yang ada di tanah tak membuatnya memperlambat laju larinya. Dengan segera, aku dan yang lain juga mengikuti Haris yang sedang penuh emosi itu.
"Maju lu semua, anjjiing!!"
"Jangan takut! Jangan gusar! Bantaaii!"
"Matii lu semuaaa!!!"
Itulah teriakan penabur genderang perang yang terdengar olehku. Suasananya mencekam sekali. Leherku seakan tercekik oleh kata-kata yang gelap itu.
Lalu kelompok kami dan kelompok musuh saling beradu. Di hadapanku ada tiga orang yang mengenakan topi terbalik, memegang celurit dan batu. Aku sekarang dihadapkan dengan musuh beringas, tiga orang sekaligus.
Mereka melempar batu ke arahku, tapi aku bisa menghindar dan langsung kubalas dengan serangan menukik ke arah kepalanya dengan bambuku. Satu orang tak bisa mengelak, ia terkena seranganku. Aku bisa merasakan 'renyahnya' saat bambuku membentur ubun-ubunnya. Tapi orang itu tak mundur, ia ayun-ayunkan celurit tumpul itu sambil menggerak-gerakkan badannya.
Ia menjual serangannya kepadaku, lagi-lagi, aku bisa menghindari serangannya dan langsung kubalas dengan serangan beruntun di kepala dan kutusuk-tusuk dadanya dengan bambu runcingku. Aku bisa melihat bercak darah membasahi seragam putihnya.
"Haha! Mati lu, anjing!!!"
Lalu kuayunkan bambu runcingku guna mengenai dua orang lainnya, tapi mereka mundur sambil memapah teman mereka yang baru kulukai tadi. Aku tak bisa membiarkan begitu saja.
Aku kejar mereka dengan nafsu membunuhku yang berkobar-kobar. Aku bisa mendekati mereka, dan kuayunkan bertubi-tubi ke area punggung dua orang yang tadi. Kutendang dan kuinjak-injak mereka bertiga, kutonjok dengan tonjokan yang kencang sekali, membuat wajah mereka bertiga babak belur berlumuran darah di ujung bibir dan hidung mereka, terkapar di pinggir rel kereta.
"Haha! Mampus, lu!!!"
"Le! Awas!!!"
Aku langsung memutar badanku, dan tiba-tiba ada satu orang yang besar hampir mengenai punggungku sengan sabit besarnya. Aku berhasil menggerakkan kakiku sehingga serangan orang besar itu meleset. Aku langsung tahu bahwa yang memperingatiku barusan adalah Aris yang memegang katana.
"Bareng gua, Le!!" serunya sambil berdiri di sampingku. Aku mengangguk.
Orang berbadan bongsor dan gondrong itu bisa kutaksir tingginya 180 cm lebih. Sangat tinggi kalau kurasa. Tapi biasanya, ada satu kelemahan bagi orang-orang yang punya massa berat dan besar ; lambat. Sesuai pelajaran energi kinetik yang pernah kucerna.
Menghadapi orang ini, aku meniru Haris dengan mematahkan bambuku menjadi dua bagian. Dengan posisi tubuh yang agak rendah, aku mengincar wilayah bawah orang itu, karena sudah pasti mobilitasku lebih cepat dibanding dengannya. Mengincar wilayah bawah akan sangat efektif menurutku.
Baru saja aku mau menyabet kakinya dengan bambuku, orang itu langsung mundur ke barisannya dengan tergesa-gesa. Aku heran. Setelah kulihat, ada kejadian yang tak terduga. Di sana, Haris sedang dikerubungi sampai tujuh orang! Di samping Haris ada seseorang yang sedang terkapar dan berusaha untuk bangun. Dia pasti teman sekelasnya Haris, dan Haris berusaha untuk melindunginya.
"Woi, anjing!! Beraninya keroyokan!!" pekikku kepada mereka. Tapi mereka sama sekali tak menggubrisku.
Aku bersama Aris berusaha untuk mendekati Haris yang jaraknya tak jauh dariku. Saat aku mulai mendekatinya, Haris tiba-tiba berteriak,
"Jangan kesini!!! Biar gua sendiri yang ngebantai mereka!! Maju lu semua!!!"
Dengan gerakan yang memukau, Haris berlaku seperti seorang samurai kelas bantam! Ia empaskan satu bilah bambu yang ia gunakan, sekarang Haris hanya menggunakan satu bilah bambu saja.
Dengan kuda-kuda yang mantap, mirip petarung kendo Jepang, Haris mengayunkan bambunya dari bawah ke atas dan mengenai dagu salah satu lawannya. Ia terkapar dan tiba-tiba kaku tubuhnya. Lalu, musuh-musuh itu menyerang dengan membabi-buta kepada Haris. Teriakan-teriakan seram mengaburkan pandanganku.
Aku sangat khawatir tadinya, melihat Haris dikeroyok seperti itu sambil melindungi tubuh temannya yang terkapar dan berusaha bangun mati-matian itu. Tapi kekhawatiranku dijawab oleh Haris dengan jawaban yang sangat meyakinkan.
Satu per satu musuh itu dihantam, ditendang, dipukul, disabet kepalanya, ditusuk kepalanya, ditusuk dadanya, dan ketika tinggal tersisa dua orang yang masih berusaha untuk melukai Haris, Haris tiba-tiba membuang bambunya ke arah sawah yang ada di pinggir rel. Dengan gagah ia menyuarakan,
"Maju! Gua tangan kosong!"
Dua orang itu mengayunkan celurit secara bersamaan dari arah yang berlawanan. Mereka seakan berniat untuk mencapit Haris dan merobek-robek badannya. Tapi tak disangka, Haris bisa menghindarinya dengan menunduk dan mengapit kaki musuh dengan kakinya. Aku tahu, ini adalah salah satu teknik silat! Teknik menggunting!
Orang itu terjatuh dan terempas celurit besarnya ke tanah. Sekarang, Haris tepat berada di atasnya, menduduki orang itu sambil memukuli kepala belakangnya bertubi-tubi dengan tangan kosong. Tak tinggal diam, orang yang masih berdiri memegang celurit itu berusaha untuk menebas Haris dengan senjatanya seraya berteriak,
"Gua bacok lu!!!"
Dari siku sampai leherku, semuanya terasa kaku melihat adegan mengerikan itu. Teman-temanku yang lain juga sedang berhadap-hadapan dengan musuh dengan kondisi yang sudah berantakan dan berdarah-darah. Aku dan Aris terdiam, menunggu apa yang selanjutnya terjadi. Melihat Haris dikeroyok tujuh orang saja membuatku sangat ketakutan!
Detik ini, jarak celurit dengan wajah Haris hanya kurang dari satu momen! Aku takut! Aku ingin segera melesat dan menendang orang itu kuat-kuat supaya celuritnya tak mengenai Haris, tapi aku tak bisa! Aku hanya bisa menonton!
"Mati lu, anjiiing!!!***