Chereads / Terbakar (?) / Chapter 3 - 3. Hukum Coulomb

Chapter 3 - 3. Hukum Coulomb

Aku kasihan sama guru-guru yang mengajar matematika di kelas umum. Meski mereka tak pernah mengalami deplesi dalam proses mengajar, aku tetap kasihan, karena sudah barang pasti jumlah yang menyenangi dan tidak menyenangi matematika sudah bisa ditebak mana yang mayoritas. Terkadang, bisa terjadi domino effect, berimbas juga kepada gurunya.

Sudah sejak SD aku telah menjumpai siswa-siswi yang mendeklarasikan permusuhan dengan matematika beserta reaksinya.

Mereka menghiraukan guru, tak mengerjakan PR, ridho jika dihukum yang penting kepala tak jelimet memikirkan angka-angka, bolos sekolah, tidur di sekolah, kabur ke WC sekolah, pura-pura mencatat padahal menggambar lanskap, menulis puisi, menulis catatan tagihan hutang, menulis nama perempuan yang ia taksir, lelaki yang ia taksir, ada yang malah menanyakan status guru kalau gurunya perempuan, menanyakan hobi guru kalau gurunya lelaki, sampai yang paling ekstrem adalah kelakuan Aris. Si botak tak tahu adat.

Sewaktu SMP, ia sudah sampai pada puncak ketidaksukaan terhadap matematika. Dia dengan jelas dan tegas, berdiri dari tempat duduknya, mengangkat tangan dan memanggil nama gurunya yang sedang menulis rumus di papan tulis hitam itu, dan mengudarakan kata-kata yang membuatku ingin menyumpal kotak pensil ke dalam mulut pahitnya.

"Yang Terhormat Bapak Jangki. Dengan ini saya ingin menyatakan bahwa saya tidak suka dengan matematika! Saya tidak suka menyusahkan kepala saya sendiri! Tolong izinkan saya untuk loncat kodok saja di halaman sekolah, mutar-mutar sekuat tenaga kaki saya. Asalkan saya diperkenankan untuk memutus tali silaturahim dengan matematika. Dengan segala hormat, Aris Munandar."

Aku yang waktu itu duduk di sampingnya sampai beranggapan lebih baik Tuhan menciptakan Bumi yang baru, semua manusia yang ada di Bumi yang lama diboyong ke Bumi yang baru, sisakan saja si Aris ini di sana sendirian.

Atau seandainya Amerika atau Rusia atau Jepang atau negara mana pun yang berniat kembali menjajaki Bulan atau Mars, dan mereka butuh relawan, aku takkan segan-segan merekomendasikan Aris secara gratis. Biar dia juga tinggal di sana sendirian.

Malu sekali rasanya kalau diingat. Aku sampai tak berani mengungkap ekspresi wajahku. Bisa ditebak, 'kan, apa yang terjadi selanjutnya?

Permintaan dikabulkan.

Aku semakin yakin bahwa Aris pasti lahirnya punggung bokong duluan. Mengingat segala hal konyol yang pernah terjadi.

Masih berhubungan dengan matematika, masih bertalian dengan Aris, semakin bertambahnya umur, semakin ajib juga hal-hal unik terjadi.

Entah kena sambar apa, entah dirasuki siapa, entah di'sentuh' siapa, entah dihasut siapa, kekonyolan-kekonyolan Aris akhirnya berbuah manis, di mana salah satu kroni kelas kami yang bernama Bunga tiba-tiba menghampiri Aris yang waktu itu sedang push up di belakang kelas, mengatakan bahwa Bunga menyukai Aris.

Lebih anehnya, Aris yang masih melakukan gerakan push up merespon dengan ringan, ringan sekali,

"Aku juga menyukaimu, Bung."

Sedangkan Aris masih melakukan push up! Segampang itu! Lagipula, kenapa harus dengan panggilan 'Bung'?! Aku tak mengerti lagi dengan dua sejoli maha aneh itu.

Saat kutanyakan kepada Bunga, kenapa ia menyukai Aris, ia berkata,

"Karena aku, Aris, dan kamu dulu ada di SMP yang sama, hanya saja aku berbeda kelas. Kabar tentang Aris yang waktu itu dengan cepat menyebar, termasuk ke kelasku. Dan itu sangat mewakili perasaan dan keinginanku. Perasaan dan keinginan untuk menghindar dari hitung-hitungan, tapi ternyata ajaibnya, aku dan Aris malah dipertemukan di kelas yang penuh hitung-hitungan."

Begitu katanya! Begitu! Rasa kasihanku memuncak kepada, dari yang awalnya kepada praktisi pendidikan matematiknya, kini aku kasihan kepada Charles Coulomb yang mana Hukum Coulomb-nya saat ini sedang disalahgunakan oleh muda-mudi yang menolak hitung-hitungan, tapi dipersatukan juga oleh hitung-hitungan. Aku tak percaya semua ini bisa terjadi. Tuan Charles, maafkan kawan busukku ini.

Di sisi yang lain, aku juga sebetulnya merasa senang karena Aris tak lagi setolol dulu. Dengan adanya Bunga, ia menjadi lebih menahan diri sebelum terjadi hal-hal memalukan lagi. Meski sebetulnya banyak sekali kesempatan Aris melakukannya, ia masih punya perasaan untuk terlihat keren di mata Bunga. Perlahan, Bunga juga semakin menjadi manusia yang normal. Aku bersyukur.

Dalam pada itu, aku jadi terpikirkan sesuatu. Kisah-kasih Aris dan Bunga membuatku berpikir bahwa cinta itu adalah hal yang fantastis, di mana tak lagi jelas mana gila mana cinta. Yang mana pun itu, cinta tetap hal yang fantastis.

Sejak dimulainya kisah asmara Aris dan Bunga setahun yang lalu, aku sempat termakan keinginan ingin disenangi dan menyenangi seorang perempuan juga. Sepertinya, terlihat menyenangkan.

Tak tersedianya dalam hidupku kisah-kisah asmara bukan maksudku untuk mengentengkan hal itu. Secara sombong dan angkuh, aku sebetulnya percaya diri bahwa di antara teman dekatku -apalagi si Aris- aku punya wajah yang tidak ekonomis-ekonomis amat seperti mereka. Hanya saja, aku enggan untuk dirundung perasaan yang negatif. Enggan untuk kehilangan waktu dengan sahabat-sahabat dan mimpiku, hanya karena sekonyong-konyong perempuan yang aku sukai, misal, menyita semua itu.

Walaupun begitu, ada seseorang yang sangat menarik perhatianku. Seseorang yang Erfin tempo hari pernah ceritakan kepadaku. Orang itu memang tak main-main kalau soal informasi. Aku bisa menerka, besar nanti Erfin sekurang-kurangnya pasti bakal jadi calo.

Erfin bilang, "Bal, ada cewek cakep banget. Anak Bahasa. Rambutnya yang lentik nyentuh bahu itu bikin mata sejuk banget. Hajar aja, Bal."

Setelah Erfin bilang begitu kepadaku, esok harinya aku langsung mencari tahu seperti apa sosok yang Erfin gambarkan kemarin. Bodohnya, dia sama sekali tak memberi tahu namanya. Aku protes kepada Erfin.

"Namanya siapa, Fin? Lu ngasih tau deskripsinya doang kaga tau namanya. Kalo soal rambut kayak begitu mah Bu Sarah juga mirip-mirip," kataku kepada Erfin. Saat itu juga Erfin langsung bertolak ke depan kelas Bahasa, dan menanyakan perempuan yang ditunjuknya kepada siapa saja yang ada di sana.

Ia kembali kepadaku dengan penuh perasaan gembira, dan mengatakan dengan nada rendah,

"Namanya, Syifa."

Mendengar namanya membuat hatiku seakan ditaburi mozaik-mozaik air yang aneh, sejuk, dan indah. Keenam sudutnya yang anggun dan selalu menarik itu seakan mendebat prinsip 'sendiri'-ku, bahwa menyukai dan bersama dengan seseorang tak melulu berujung kepada pengekangan dan aturan-aturan.

Sedikit demi sedikit, aku mulai mengidentifikasi Syifa dari segala aktifitasnya di sekolah. Aku jadi tahu rutinitasnya. Aku jadi kagum dengan caranya berjalan, menengok ketika disapa orang. Dan aku jadi jatuh cinta akan caranya tersenyum yang lengkap dengan lesung di pipi manisnya. Tapi hatiku masih belum utuh dan berani untuk mendekatinya. Aku masih merasa belum layak untuk membuka pintu koridor kisahku dengan Syifa.

Tapi bisa kukatakan dengan mantap, bahwa aku benar-benar menyukainya. Tapi orang yang bisa mendengar itu baru satu orang saja, yaitu diriku sendiri.

Pikiranku masih disibukkan oleh hal lain. Aku tak mau pikiran yang satu ini terganggu, pun aku pun tak mau jika nantinya pikiranku tentang Syifa juga terganggu dengan hal ini.

Betapa tidak? Esok hari, aku dan Haris dan yang lain, akan berangkat untuk menagih tanggung jawab dan bayaran kepada anak 05, atas apa yang mereka perbuat kepada Muji.

Esok, akan ada yang terluka!***