Rencana yang disusun oleh kami siang tadi membuatku sedikit gugup seperti yang sudah-sudah. Ini memang bukan kali pertamaku ikut tawuran. Aku sudah merasakan sensasi yang seakan sedang menari di bibir jurang itu sejak aku SMP, hanya saja saat itu masih menggunakan ikat pinggang atau tali yang ujungnya diikat benda semacam gerinda atau pisau. Dan motif di saat itu hanya untuk dianggap keren dan berada, tak lebih, tak ada yang lain.
Sebenarnya hidupku tak seberengsek itu. Hidupku sama sekali tidak aku dedikasikan hanya untuk melukai orang dengan resiko diriku juga terluka, demi memuaskan kesenangan pribadiku. Tidak sama sekali. Tidak ada itikad dalam diriku untuk kembali melakukan 'Holokaus', sedangkan aku menjadi pelopornya. Tidak sama sekali.
Bagiku, hidup itu seperti memandangi langit. Kadang langit memakai seragam biru yang megah, cerah, simbol harapan umat manusia. Tapi tak jarang tiba-tiba langit menangis, gelap, marah, dan menurunkan jutaan proyektil air hujan untuk membasahi Bumi. Siapa pun yang tidak sanggup menanganinya, siap-siap saja.
Aku punya keluarga. Aku punya teman-teman. Aku punya pendidikan. Aku punya kesenangan. Aku punya impian. Alasanku untuk bergabung dengan kelompok tawuran di sekolahku sejak SMP hingga SMA saat itu hanya untuk mempelajari satu hal ; harga diri. Sebuah prinsip yang menyajikan puluhan definisi tentang apa itu artinya menjadi dewasa. Kali itu, pelajaranku selanjutnya adalah tentang bagaimana menebus darah dengan darah, yang bisa kusebut 'keadilan', atau kawan-kawanku memperhalus dengan 'memberi pelajaran'.
Malam itu, sekitar pukul 9 malam, aku bersama teman-temanku duduk di susur rel kereta, di mana banyak remaja yang nongkrong sambil melakukan hal-halnya.
Mereka bernyanyi sambil memainkan gitar, mereka berdiskusi karena ada yang sudah pada usia anak kuliah, ada yang tanding catur dengan bapak-bapak pos ronda atau penjaga rel kereta atau penjaga warung atau warga setempat atau RT atau RW di sana, ada yang menyendiri sambil menikmati indahnya malam dan bisingnya kereta saat kereta itu melintas, ada aku dan kawan-kawan SMA-ku yang sedang menyiapkan diri untuk penyerangan lusa.
"Jadinya kapan, Bal?" tanya Erfin.
"Rabu sore, Fin. Kita cegat mereka di jalan, abis itu kita arahin mereka ke rel kereta."
"Barang-barangnya?" tanya Aris.
"Bawa sendiri-sendiri. Simpen aja di deket rel sini, atau di kebon belakang sekolah."
"Haris sama yang lain, gimana?" tanya Aan.
"Dia yang bakal ngegiring anak 05 ke rel kereta. Nah, kita udah nunggu di situ duluan. Kelas 3 sekarang 'kan harus ada pelajaran tambahan. Pas banget, anak-anak 05 juga gua denger pulang sore karena ada kegiatan Pramuka wajib. Jumlahnya mah kaga tau, dah."
Bisa terlihat jelas meski cahaya malam mengaburkan wajah-wajah aneh mereka, bahwa mereka sebetulnya sedikit gusar, tapi kemarahan mereka lebih besar.
Sedangkan Hamzah diam menyimak aku berbicara sambil mengepulkan asap rokok yang berceceran di udara dengan indah, dengan temaram lampu yang membuat suasana menjadi makin intens.
Ketika aku dan yang lain ngobrol tentang hal itu, datanglah seorang pria yang menggunakan kaus singlet putih dengan rambut gondrong bergelombang sebahu tiba-tiba menegur kami.
"Wei, ada apaan, nih?" tanya orang itu sambil berdiri.
"Kaga ngapa, Bang. Ngobrolin libur doang," kataku setengah tersenyum. Kawan-kawanku yang lain sepertiga tersenyum. Hamzah, tak bisa senyum.
"Gua boleh duduk, nggak?"
"Oh, boleh-boleh. Silahkan, Bang."
Lalu kami semua merenggang, menyediakan ruang untuk Abang itu duduk. Dilihat-lihat lagi, menyeramkan sekali mukanya. Alisnya menukik ke bawah, bibirnya yang tebal dan hitam, menancap sebuah tindik yang berbentuk sejenis jarum di telinga kirinya mengguratkan kesan yang tak bisa kuanggap sepele. Aku tegang.
"Heh, biasa aja, kali. Hahaha," ucapnya seraya tertawa lebar.
Saat Abang itu tertawa, semua hal yang kuamati darinya barusan langsung punah. Aku tertipu, hanya karena gigi tupainya itu membuatku jadi ikut tertawa bersamanya. Eh, bukan, niatku menertawakannya.
"Kalian satu sekolah sama Haris?" tanyanya menatap kami satu per satu.
"Iya, Bang. Iya. Kita satu sekolahan. Dia sekarang kelas 3 Fisika, kita semua baru kelas 2, Bang," respon Aris sambil sesekali diiringi.
"Oh, gitu. Kalian tau gak, kalo gua suka cuka beras?"
Dalam sepersekian detik, aku sedikit tersentak. Kalau saja otakku bisa diibaratkan roda gerigi penggerak sebuah mesin yang biasanya ada pada menara jam raksasa yang bergaya arsitektur Eropa klasik, perkataan Abang itu ibaratkan ada segumpal permen karet yang besar dan lengket di sela-sela gerigi otakku, membuatku tak bisa mencerna dengan baik. Tiba-tiba bilang begitu. Aneh rasanya. Jangankan apa bumbu kesukaannya, nama dan siapa Abang ini saja aku tak tahu.
"Kaga tau, Bang."
"Cuka beras itu enak banget buatlu kalo pengen makanan atau masakan yang ada asem-asemnya. Eeenaaak banget. Apalagi kalo bakso kuah dipakein cuka beras, subhanallah!"
"Emangnya apa bedanya sama cuka biasa, Bang?"
Pertanyaan Erfin sedikit membuatku jengkel. Ngapain dilanjutin sih, Fin?!
"Pertanyaan cakep. Emang, dari segi rasa kaga jauh beda. Tapi bagi orang yang tau, cuka beras punya manfaat yang beda dari cuka biasa. Mau tau?" tanyanya dengan raut wajah yang antusias sekali. Sekali lagi, kesan hororku terhadapnya dibasmi sekaligus.
"Untuk perawatan kulit, woi! Perawatan kulit! Alah, yang kayak gitu aja kaga tau lu! Payah! Besok gua mau ngelamar jadi guru ahli gizi di sono, ah. Hahaha!"
Bingung aku harus berekspresi seperti apa. Itu juga yang pasti dirasakan oleh teman-temanku, kecuali Hamzah yang saban waktu selalu stagnan mukanya.
"Abang tadi nanyain kita satu sekolah sama Haris, kenapa, Bang?" tanya Aan.
Abang yang tadinya bertingkah aneh dan menggelikan itu, tiba-tiba memendam wajahnya dan menatap kami dengan tatapan yang mengerikan! Wajahnya yang sedikit ke bawah, matanya yang tajam dan penuh kesan kejam, mengembalikan prasangkaku bahwa ternyata orang ini memang seseram itu. Aku sempat bergetar melihatnya. Perubahan hawanya cepat sekali.
"Jangan sampe lu tinggalin Haris, walau sesulit apa pun. Gua alumni 02. Gua tau kabar yang lagi rame diomongin. Dan gua udah bisa nebak, apa yang bakal terjadi selanjutnya."
Abang itu mendekatkan wajahnya kepadaku. Seram, seram sekali! Jantungku seakan sedang dipaksa untuk berdegup berkali-kali lebih kencang hanya dengan sorot matanya!
"Lu mau nyerang 05, 'kan?" bisiknya dengan nada yang rendah di telingaku. Aku hanya bisa menelan ludahku saja saat itu.
"Waktu gua masih sekolah, gua sering ikut tawuran. Oh, salah, gua komandan tempurnya. Gatau udah berapa kali gua hampir terbunuh, dan hampir ngebunuh."
Tiba-tiba ia bercerita bahwa ia dulu adalah komandan tempur. Aku diam menyimak.
"Waktu itu, di sini, di jalan kereta ini, gua juga pernah tempur ama kelompok gabungan. Sore-sore. Gabungan sekolah sama anak kampung, ngelawan 05. Ngelawan gua. Waktu itu, ada Haris yang dari sekolah lu. Baru naek SMA, kalo gak salah."
"Waktu itu mencekam banget. Teriakan-teriakan musuh kayak nyekek leher gua banget. 'Mati, mati, mati!' Itu yang selalu mereka teriakin ke gua. Barang-barangnya pada ngeri-ngeri. Mereka bawa gosir (golok sisir), pedang-pedang yang tajem, mereka kibas-kibasin di tanah sambil neriakin ke gua sama yang lain."
"Gua provokasi kelompok gua supaya maju pelan-pelan, mengingat jumlah mereka lebih buaaanyak daripada jumlah kelompok gua. Udah bisa ditebak ending-nya, kelompok gua lari terbirit-birit didorong mereka."
"Sialnya, gua yang paling deket dengan mereka kesandung batu rel kereta. Gua jatoh, dan ada sekitar empat orang yang ngerubungin gua pake celurit sama pedang-pedang itu. Penuh luka badan gua. Kesadaran gua pelan-pelan memudar. Sampe gak kerasa lagi bacok-bacokan mereka di tubuh gua."
"Pas gua mau 'ilang', tiba-tiba Haris dateng pake bambu runcing ngusir mereka, sendirian! Haris ga mundur sama sekali kayak temen-temen gua yang lain. Dia teriak, 'mundur lu, anjing! Mundur! Ada yang jatoh! Mundur!'"
"Dan gak lama setelah itu, suara klakson kereta terdengar nyaring dari arah Barat. Kenceng banget. Kesadaran gua perlahan dapet lagi. Gua diseret dan dipapah Haris ke pinggir rel. Dia buka bajunya buat nahan darah gua yang ngocor di bagian punggung."
Lalu, Abang itu memperlihatkan bekas luka memanjang di punggungnya kepada kami. Aku geleng-geleng kepala membayangkan saat luka terbukanya, dan apabila Haris lari tak membantu Abang ini.
"Satu-satu temen gua ngedatengin gua buat ngebantu mapah, dibawa langsung ke puskesmas buat pertolongan pertama. Gua pingsan, dan saat gua sadar, orang pertama yang gua liat di samping ranjang itu adalah Haris. Sejak saat itu, koalisi sekolah lu sama sekolah gua, jabatan komandan tempurnya gua serahin ke Haris."
Dia tersenyum sekarang.
"Jaga dia seperti dia ngejaga gua, oke? Gua juga yakin, dia juga bakal ngejaga lu-lu pada, sekuat tenaga dia."
Setelah melontarkan cerita dan petuah begitu, Abang berkaus singlet itu pergi begitu saja ke tempat nongkrongnya kembali. Entah kenapa, tiba-tiba api di dalam diriku serasa sedang dikobar-kobarkan oleh angin petuah barusan. Aku yang tadinya gugup menjadi merasa bisa melakukan segalanya. Aku juga yakin, itu pula yang dirasakan oleh Aris, Aan, Erfin, dan Hamzah. Selepas mendengar betapa kerennya Haris, Sang Komandan Tempur!
Setelah itu, kami merasa siap untuk membalas perbuatan mereka kepada Muji, dan kami dengan senang hati akan memberikan 'hadiah', akibat dari kebengisan yang mereka lakukan.***