"Nin, supir cinta dah jemput tuh. Inget ya, jalanin dulu. Jangan nolak kata hati. Have fun, geulis." ucap Lola.
Unin tersenyum tipis. Ia tahu, tidak bisa menyembunyikan apapun pada sahabatnya. Lola bahkan tahu, apa yang sedang ia rasakan sekarang. Hatinya berbunga-bunga melihat Devan yang muncul untuk menjemputnya.
"Sore, Neng-neng nu gareulis. Ready to go home?" tanya Devan dengan wajah ceria.
"Kalian mau langsung pulang?" tanya Lola.
"Aku mau ajak Unin makan dulu. Lola mau ikut?"
"Ogah, Van. Gak mau jadi obat nyamuk, ah. Masa penjajakan itu paling indah, mesti dinikmatin berdua," ujar gadis chubby menggoda dua sejoli didepannya.
"Kaaannnn..., emang Lola tuh asuransinya aku," ujar Unin.
Devan mengernyitkn dahinya, "Asuransi? Lola agen asuransi juga?"
"Bukan agen asuransi, tapi dia tuh ibarat asuransi. Always listening, always understanding, hahaha...," tawa Unin di susul tawa lainnya.
"Yaudah, gih sana. Nikmatin waktu berdua. Pokoknya, kalian pemeran utama di kisah kalian, yang lain cuman penonton bayaran, hahaha...," lagi-lagi celoteh Lola membuat semua tertawa. Akhirnya, mereka saling berpamitan satu sama lain. Unin dan Devan pun sudah berada didalam mobil menuju salah satu cafe di kawasan Dago Atas. Kawasan yang banyak di bangun cafe-cafe bernuansa romantis dengan pemandangan kota Bandung di bawahnya. Banyak juga cafe yang dibuat dengan perpaduan seni juga galery. Itu yang membuat kawasan itu tak pernah sepi. Bukan saja warga lokal yang senang berkunjung ke kawasan ini, para pelancong dari luar kota pun tak melewatkan kesempatan mengunjungi salah satu cafe-cafe yang ada. Itu mengapa, saat akhir pekan, jalan menuju arah Dago Atas ini akan macet sekali. Hari ini, hari kamis, jadi jalanan tidak terlalu ramai. Mereka pun menikmati perjalanan di penghujung hari yang sebentar lagi akan berganti malam.
"Kita mau makan dimana?" tanya Unin.
"Kamu maunya kemana? Pasti udah sering jelajahin daerah sini 'kan?"
"Gak juga sih, soalnya males macetnya. Apalagi kalau weekend. Aku tuh sebenernya anak rumahan. Aku lebih seneng ngabisin waktu dirumah, nonton tv atau main game. Udah penat kerja seharian diluar, mondar mandir. Di mall, di apartemen, notaris dan lain-lain. Paling ya sesekali makan atau karaoke di Ci-Walk sama Lola. Kalau dipikir-pikir, aku cuman punya Lola. Dia tuh, yang temennya banyak dibanding aku. Tapi, karena kita dah sahabatan dari jaman sekolah, jadinya udah kayak saudara sendiri. Dia paling ngertiin aku dan nguatin aku sampai sekarang." jelas Unin.
Devan mendengarkan dengan seksama."Semakin kamu cerita siapa kamu, aku selalu terkejut. Kamu gak seperti dugaanku. Tapi, entah kenapa, aku selalu yakin kamu bukan cewek yang..., ya, standar aja gitu. Kayak kebanyakan cewek yang aku kenal. Kamu tuh penuh kejutan, itu bikin aku semakin penasaran," ujar Devan sambil melirik Unin dari balik kemudinya.
"Jadi, kalau udah gak penasaran, bakal ditinggal gitu?"
"Ya gak gitu konsepnya, Non. Malah semakin aku suka sama kamu. Gimana caranya bisa dapetin hati kamu, itu misi aku sekarang. Luka masa lalu kamu kan gede dan dalem banget. Aku juga harus bisa berusaha untuk jadi lelaki yang gak ngelukain kamu untuk kedua kalinya. You deserve better." Sekilas Devan menatap Unin dengan dalam, agar Unin bisa lihat ketulusan dari apa yang ia ucapkan. Bukan hanya gombalan semata. Memang itulah yang sekarang dirasakan Devan. Dia bisa saja mendapatkan gadis yang lebih cantik, lebih kaya atau pintar dibandingkan Unin. Tapi kini, hatinya hanya terpaut pada gadis yatim piatu ini. Devan semakin mencintainya.
Tak terasa mereka sampai di salah satu cafe yang cukup unik. Dibawahnya hanya tempat parkiran biasa. Mereka harus masuk lift untuk naik ke lantai ketiga. Konsep dine in dengan ruangan berdominasi hitam, membuatnya menjadi romantis karena tidak terlalu terang. Mereka duduk disalah satu meja dengan pemandangan kota Bandung yang mulai berkilauan karena lampu-lampu di berbagai jalan dan bangunan. Mereka memesan makanan dan berbincang. Seperti kata Lola, mereka tidak mengindahkan orang sekitar mereka. Didalam mata Devan, hanya ada Unin, begitupun sebaliknya.
"Kamu banyak ngelewatin hal berat ya. Aku salut, kamu gak terjerumus sama hal-hal negatif. Apalagi, bisa dibilang, kamu hidup bebas tanpa ada yang melarang. Kamu juga gak kesulitan secara finansial. Pekerja keras yang gak suka foya-foya,hahaha...,"
Unin mengelap bibirnya dengan tissue untuk menghilangkan noda makanan sebelum menjawab pernyataan Devan. "Aku kesepian. Tapi, keramaian bukan jalan keluarnya. Aku bukan introvert tapi ya bukan ekstrovert juga. Aku aja kadang gak tau, aku ini maunya apa,haha...," kekeh Unin. "Aku kan, bukan anak broken home juga. Hanya yatim piatu karena ditinggal meninggal. Aku hanya anak yang menjauhi keluarga karena gak mau terluka. Aku ingin menjaga kewarasanku sendiri. Biar mereka berebut warisan yang gak seberapa. Untungnya, Mama orang yang selalu berpikir jauh kedepan. Aku hanya bawa buku tabungan yang udah Mama siapkan. Yang gakkan bisa diperebutkan siapapun. Bekalku untuk berjuang hidup sendiri. Aku bersyukur, gak pernah merasakan hidup berkesusahan secara finansial. Hanya, hatiku yang berlubang. Kadang hampa, kesepian itu datang saat aku kangen mereka. Mereka orangtua terbaik buat aku. Jadi, aku gak mungkin ngerusak ketulusan dan kasih sayang mereka dengan melakukan hal gila atau negatif. Itu juga bakalan jadi beban mereka di akhirat. Seenggaknya, walau aku bukan anak soleha yang nutup aurat, pinter ngaji atau lainnya, tapi aku gak menambah berat hisab mereka nantinya. Aku jaga betul kesucian wanita. Aku jaga betul kelakuanku sebisa mungkin. Itu makanya, aku cuman taunya kerja, kerja dan kerja. Ali juga pacar pertamaku. Salah satu support systemku dulu, saat masih ngebangun kehidupanku yang sekarang. Walau akhirnya dia bikin kecewa, tapi aku juga gak benci dia. Apalagi sekartng dia udah meninggal. Gak pantas rasanya menyimpan kebencian. Aku ikhlasin dia, biar dia juga bisa tenang dikuburnya."
"Innalillahi...,jadi dia udah meninggal. Aku semakin salut sama kamu, Nin. Kamu bisa bersikap dewasa menghadapi semua cobaan yang datang sama kamu. Aku beruntung, bisa kenal perempuan sehebat kamu," puji Devan.
"Ah, biasa aja. Masih banyak yang lebih baik dari aku. Sekarang, aku pengen tau siapa kamu. Aku cuman tau, kamu anak ketiga dari Pak Kusuma."
"Kamu udah tau 'kan perusahaan keluargaku. Kakakku yang akan meneruskan kerajaan Papa. Aku hanya anak biasa aja dikeluargaku. Gak terlalu ambisi untuk ambil alih perusahaan. Lagipula, kakakku lebih cocok jadi pewaris perusahaan Papa. Aku cukup dengan kehidupanku sekarang. Tapi, orang tuaku gak banyak nuntut kok. Gak ada hal spesial dari kehidupanku. Aku hanya beruntung dilahirkan dari keluarga kaya. Tapi, aku tau diri, gak mau hanya ongkang kaki menikmati uang orang tua. I do my best to provide my life. Kamu mau kan, kapan-kapan aku ajak makan sama keluargaku?" jelas Devan.
Hati Unin berdegup kencang mendengar pertanyaan Devan. "Aku kan, bukan siapa-siapa. Masa mau kamu bawa makan sama keluargamu,"
"Yaudah kalau gitu, mau gak jadi pacarku?" Devan seketika meraih tangan Unin dan menggenggamnya dengan lembut. Menatap dalam, gadis pujaan hatinya yang kini semakin merasa bimbang. Dalam hatinya, Unin tidak bisa berbohong jika ia mencintai lelaki yang ada didepannya kini. Ia pun tak dapat menolak.
"Iya," Unin mengangguk pelan dengan malu-malu. Pipinya merona, "Tapi janji ya, kalau keluarga kamu gak suka sama aku, kamu harus jujur. Kalau akhirnya kamu dijodohin sama orang lain dan kamu suka, kamu juga harus jujur. Pokoknya aku mau kamu jujur dalam hal apapun. Promise me?!"
"Iya, Sayang. Aku kan dah bilang, kalau aku juga akan berusaha jadi orang yang gak ngecewain kamu lagi. Makasih ya, udah mau buka hati buat aku. Kamu juga janji, kalau ada apa-apa harus bilang sama aku." Devan tersenyum bahagia sambil mengecup punggung tangan kekasih hatinya kini. Mereka saling menatap penuh senyuman satu sama lain. Romansa pasangan baru ini, akankah berjalan dengan baik tanpa halangan?
Disaat mereka berdua sedang berbahagia menjalin kisah kasih baru, ada seseorang yang sedari tadi memperhatikan mereka dari meja lain. Siapakah dia?