"Pagi, Neng geulis. Nih, aku bawain tiramisu sama cake. Biar bisa bagi-bagi sama yang lain," sapa Devan sambil menyodorkan bingkisan kearah Unin. Suaranya mengejutkan Unin yang sedang membereskan brosur yang akan dia bagikan hari itu di Mall. Kala itu, belum ada yang datang selain Unin.
"Kamu kok udah disini aja. Tapi, makasih ya udah bawain cake. Kamu ngantor atau ke proyek?" Unin menerima bingkisan dari kekasihnya dengan lengkungan senyum yang manis.
"Aku cuman mau ke proyek. Mau ngecek aja udah sampai mana dan sesuai gak sama yang ku gambar. Kamu hari ini ada acara?"
"Ah iya, aku baru mau ngajak kamu. Nanti malam, Mamanya Kamila, temenku sama Lola, ulang tahun. Jadi kita mau kesana. Mau ikut?" ajak Unin.
"Boleh. Aku jemput atau gimana?"
"Aku pulang dulu. Queen juga ikut kesana. Biar gak banyak kendaraan sih, enaknya kamu jemput ya. Gak apa?" tanya Unin lembut.
"Always ready to serve you, Princess. Jam berapa aku jemput?"
"Jam 7."
"Oke. Aku pergi dulu ya. Kamu yang semangat kerjanya hari ini." Devan memberi semangat dengan mengusap lembut rambut sang kekasih.
Unin, merasa sangat disayangi. Dia tak menyangka, dibalik sosok yang terlihat maskulin dan cuek, kekasihnya ternyata sangat lembut dan perhatian. Dia hanya berharap, momen seperti ini bukan hanya manis di awal saja. Kini, ia bersyukur mempunyai seseorang yang bisa ia andalkan selain dirinya sendiri. Dia merasa, hatinya yang hampa kini kembali terisi cinta.
"Makasih ya, kamu udah sempetin kesini. Aku seneng banget. Ternyata, cowok slengean kayak kamu, bucin juga, hahaha...," ledek Unin.
"Gak apa aku bucin. Coba nanti liat, kamu pasti bucinin aku juga,hahaha...," seolah tak mau kalah, Devan pun membalas godaan kekasihnya. Pagi itu serasa dipenuhi bunga-bunga indah dan harum. Sejoli yang baru saja saling membuka hatinya sedang dipenuhi romansa. Walau keduanya masih terbilang canggung satu sama lain, namun sedikit demi sedikit akan mencair seiring waktu.
Hari itu dilewati Unin seperti biasa hingga waktunya untuk pulang. Ia baru saja memarkirkan mobilnya kedalam garasi rumah saat kakinya terasa sakit lagi. Ia kembali meringis sambil memegangi kakinya didalam mobil. Ia menunggu sakitnya mereda lalu masuk kedalam rumah. Queen terlihat sedang membungkus bingkisan yang akan dibawanya nanti.
"Eh,udah pulang. Kita pergi jam berapa nanti?" tanya Queen.
"Devan jemput jam 7. Queen, tadi kakiku sakit lagi, pas abis markirin mobil. Bingung deh, sebenernya kenapa sih?" tanya Unin.
"Aku juga belum tau. Kelebihanku, kan, bukan karena aku berilmu dan belajar. Jadi, aku cuman nunggu waktunya saat semua diperlihatkan lewat indera keenamku. Orang-orang yang ketemu kita untuk ditolong itu kayak jodohnya kita. Semua masih rahasia Allah. Kapan dan dimana kita ketemu dan saling bantu. Sabar ya, nanti pasti ada jawabannya." jelas Queen.
Unin hanya mengangguk mendengar penjelasan sepupunya. Ia mengerti, kelebihan yang dimiliki Queen sepeti sebuah kado yang tidak ia minta. Tiba-tiba saja datang dan sekarang menjadi miliknya. Nalarnya, jika Queen sengaja mempelajari seperti halnya seorang dukun, mungkin dia sudah buka praktek jasa santet atau pelet.
Dua jam sudah berlalu, Queen dan Unin sudah siap saat Devan datang menjemput. Mereka pun menuju rumah Kamila untuk memenuhi undangaan acara sang Mama.
Saat mereka sampai, Kamila sudah menunggu didepan pintu dan menyambut mereka. Terlihat, Lola sudah lebih dulu sampai sebelum mereka bertiga. Mereka diperkenalkan Kamila kepada keluarga dan kerabat yang hadir pada malam itu. Sampai saat, Unin berada dihadapan salah satu keluarga Kamila, ia langsung menanyakan hal yang membuat sang pria yang tidak muda lagi itu terkejut.
"Maaf, Om. Kaki kanan Om, sering sakit ya?"
Pertanyaan yang Unin lontarkan membuat mata sekitarnya menatap penuh tanya dan penasaran. Kenapa tiba-tiba, seorang gadis yang tidak pernah betemu sebelumnya, bahkan baru saja mengenal sebatas nama, tapi langsung menanyakan hal yang tak biasa. Pria yang dipanggil Om Martin oleh Kamila itu, tentu saja mengernyitkan dahinya.
"Kok, kamu tahu? Saya sudah sering sakit dan sudah berobat kemanapun tapi gak pernah sembuh," jelas Martin yang menunggu jawaban dengan penuh tanda tanya dan keingintahuan.
Unin sebenarnya tak tahu apa jawaban atas pertanyaan Martin. Ia sendiri tak mengerti kenapa bisa bertanya hal itu. Tapi, ia langsung tahu darimana sakit kakinya berasal. Ia melirik sepupunya yang seolah paham akan hal yang sedang terjadi.
"Maaf ya, Om. Queen bantu jelasin. Tapi, ini akan aneh atau gak bisa dipercaya buat sebagian orang. Tapi, kalau saya lihat, sakit kaki Om bukan secara medis. Ada sesuatu hal yang sedang menggelayut di kaki Om." jelas Queen.
"Maksud kamu, ada yang santet saya? Emang kamu dukun?" Nada Martin saat bertanya sedikit meninggi.
"Bang, jangan gitu. Queen ini bukan ngomong sembarangan. Dia punya kelebihan, bukan orang yang Abang sebutkan tadi. Kamila juga kemarin dibantu mereka lepas dari pernikahan ghaib. Aku percaya karena udah nyaksiin langsung. Sekarang, Kamila juga udah gak mimpi yang aneh-aneh juga. Unin kenapa bisa nanya langsung kayak gitu? Unin bisa lihat juga?" Rita meyakinkan kakak sepupunya itu agar percaya dengan yang dikatakan Queen.
"Gak, Ma. Tapi, entah kenapa, dari semalam kaki kananku tiba-tiba sakit. Tapi, saat Queen cek, katanya bukan sakit medis. Tadi sore juga kakiku sakit lagi terua hilang sendiri. Queen bilang, dia gak tahu kenapa, tapi nanti akan terjawab sendiri kalau Allah sudah tentukan kapan dan dimana juga siapa. Mungkin ini jawabannya, Ma. Aku kayak terknoneksi sama sakitnya Om." jelas Unin.
"Jadi, apa yang ada dikakiku? Kamu bisa lepasin?" tanya Martin pada Queen.
"Insya Allah. Tapi, biasanya akan sakit menjelang tengah malam, kan, Om. Sekarang, kita nikmatin dulu acara ulang tahun Mama Rita."
Mereka pun menunda perihal yang terjadi pada Martin. Devan yang sedari tadi menyimak percakapan mereka masih merasa bingung. Dia adalah orang yang tidak percaya akan hal ghaib. Tapi, sekarang ini kekasihnya bersinggungan dengan hal tersebut. Apa iya, dia berpikir kalau kekasihnya berbohong? Tapi, ia yakin, Unin bukan orang yang berbuat seperti itu. Dia masih berkutat dengan pikirannya sampai Unin menepuk lembut punggungnya.
"Hei, lagi mikirin apa? Kita duduk di sana yuk. Kamu pasti punya banyak pertanyaan buat aku," ajak Unin seolah tahu, apa yang sedang berkecamuk dipikiran sang arsitek.
Devan mengikuti kemana arah yang di tuju oleh Unin. Pesta kebun di halaman belakang rumah Rita begitu romantis. Nuansa merah muda yang menjadi aksen dekorasi juga tatanan meja dan kursi membuat suasana semakin manis. Bermacam bunga hidup dan askesoris yang ditambahkan di atas meja terlihat elegan. Duduklah dua sejoli itu untuk membicarakan banyak hal yang masing-masing dari mereka masih menerka satu sama lainnya siapa sebenarnya kekasih mereka kini.
"Kamu pasti bingung ya, denger obrolan kita tadi?" Unin memulai percakapan mereka.
"Iya. Jujur ya, aku orang yang skeptis sama hal-hal mistis gitu. Diluar logika. Tapi, sekarang ini, yang ngomongin hal kayak gitu adalah pacarku sendiri. Aku gak tau harus mikir apa?"
Unin tersenyum kecil mendengar apa yang keluar dari mulut kekasihnya. " I know. Aku juga baru ngalamin hal mistis kayak gini, belum lama kok. Semua bermula saat Queen datang. Aku bahkan gak pernah ngalamin hal mistis atau horor seumur hidup. Tapi, makhluk tak kasat mata, kan, emang ada. Kita gak pernah minta yang dibilang orang adalah 'kelebihan' ini. Queen juga gunain buat bantu orang sebisanya. Aku gak nuntut kamu mesti percaya. Aku juga gak tau jawaban pastinya, kenapa aku juga akhirnya bisa punya hal macam tadi."
"Tapi kamu gak apa, kan? Kamu ngerasain sakit yang orang lain rasain. Itu bukan hal yang sepele. Fisik kamu akan lemah kalau terus-terusan gitu. Aku gak mau kalau kamu kenapa-napa." Devan tentu mengkhawatirkan kekasihnya.
"Insya Allah. Apapun ketetapan yang udah digarisin buat aku, aku ikhlas. Lagian, gak setiap menit atau setiap hari juga. Aku minta sama Allah, dikuatkan secara fisik kalau memang harus ngalamin hal itu. Jangan khawatir ya, Bapak Devan." Unin mengusap lembut pipi lelaki yang sekarang menatapnya.
Devan tentu luluh tak bergeming. Hatinya masih tidak bisa percaya, tapi dia juga tidak mau terlalu memikirkannya. Ia hanya ingin fokus terhadap hubungannya yang baru. Ia tentu harus bisa menerima semua sisi baik dan buruk seorang Unin sebagai kekasihnya. Apapun yang akan terjadi nanti, ia berjanji dalam hati akan selalu ada untuk Unin. Hatinya sudah tidak bisa berpaling ke wanita lain. Perasaannya pada Unin bukanlah sekedar main-main.
Mereka pun menikmati sisa malam itu dengan penuh sukacita. Menyanyikan lagu selamat ulang tahun saat Rita akan meniup lilin yang ada di kue ulang tahunnya, berfoto bersama, menikmati makan malam yang sudah disediakan dengan berbincang akrab. Tak terasa sudah jam 11 malam, saat satu persatu tamu undangan berpamitan meninggalkan kediaman Rita dan Kamila. Sekarang hanya tersisa Rita, Kamila, Lola, Unin, Devan, Queen, Martin dan sang istri yang bernama Rosa. Mereka sedang berkumpul di bagian tengah rumah yaitu ruang keluarga.
"Makasih ya, kalian udah datang dan banyak bawa kado buat Mama. Apalagi Queen dan Unin. Beneran itu cookiesnya buatan Queen sendiri? Serba bisa ya, Mama salut deh," puji Rita.
"Ah, gak apa Ma. Kita seneng kok bisa ngumpul dan buatin Mama cookies. Queen emang serba bisa. Masakannya juga selalu enak. Unin juga senang, bisa ngerasain punya orang tua lagi."
Saat mereka sedang asik berbincang, tiba-tiba Martin mulai meringis kesakitan sambil memegang kakinya. Apa sebenarnya yang menggelayuti kakinya seperti yang dikatakan Queen sebelumnya? Apa benar, Martin terkena santet? Kenapa?