Chereads / Cinta Indigo / Chapter 20 - 20. Tendang Kepala

Chapter 20 - 20. Tendang Kepala

"Aduh..., sakit sekali kakiku...," teriak Martin.

Queen mendekati Martin dan memegang kakinya. Dalam hatinya, Queen membaca ayat suci Al-Qur'an untuk melepaskan kesakitan pada kaki Martin. Sedangkan yang lain berdo'a selama proses penyembuhan.

"Argh, lepaskan! Siapa kamu, berani ikut campur?" Martin marah memelototi Queen. Tapi, tentu saja itu bukan dirinya. Makhluk berbentuk siluman setengah ular setengah manusia namun dengan wajah yang menakutkan mulai murka. Ia menantang Queen untuk berduel.

"Saya bukan siapa-siapa. Hanya sedang berkunjung kepada kerabat. Kenapa kamu tidak lepaskan Om-ku ini. Kembalilah pada Tuanmu atau aku bakar kamu!" seru Queen.

Sosok yang ada dalam diri Martin tentu saja tak terima dengan perkataan Queen. Ia murka dan mulai menyerang Queen. Martin yang sedang kerasukan ingin mencekik wanita yang ada di hadapannya. Queen hanya menatap Martin dengan tenang tanpa bergeming. Tangan Martin tidak pernah bisa menyentuh Queen, seperti ada penahan atau tembok yang membentengi Queen.

Queen kemudian mencekal tangan Martin dan membuatnya merasakan panas. Ia mengerang kesakitan, menggeliat di lantai. Saat posisi Martin telungkup, Queen mengusap punggung Martin kearah leher. Martin merasa ada yang ingin keluar dari tenggorokannya.

"Hoek..., ampun. Panassss...," pinta Martin kesakitan.

Namun Queen tetap meneruskan tanpa berhenti sampai akhirnya Martin muntah darah. Rosa dengan sigap mengambil tissue untuk membersihkan bibir suaminya.

"Papah, kamu gak apa?" tanya Rosa.

Martin mulai bangun dengan tubuh yang lemas. Rosa membantu suaminya untuk duduk lalu menyodorkan segelas air putih. Setelah merasa lebih baik, Martin mulai mempertanyakan hal yang baru saja ia lalui.

"Apa yang sebenarnya terjadi, sampai aku muntah darah?" Martin bertanya sembari memegang lehernya yang masih terasa sakit.

"Apa Om pernah menendang kepala seseorang?" tanya Queen.

"Mana mungkin aku menendang kepala orang," elak Martin.

"Coba diingat lagi. Om pernah bertangkar dengan seseorang. Bahkan kalian berkelahi dan orang itu sudah tersungkur dan kalah. Om tetap menendang kepalanya didepan banyak orang," ujar Queen.

Martin terkejut mendengar ucapan Queen. Ia kembali mengingat kejadian dahulu dengan seorang pria yang sudah lama ia lupakan. "Aku ingat sekarang. Kenapa kamu bisa tau?"

"Aku tidak mau mengungkapkan siapa yang sudah sakit hati akan kejadian itu sampai akhirnya ia melakukan bantuan seorang dukun untuk mengirimkan siluman ular yang melingkar dan bergelayut dikaki Om. Semua karena tendangan kaki Om. Om pasti sudah tau siapa orangnya," jelas Queen.

"Aku akui. Aku salah sudah menendang kepalanya walau dia sudah kalah. Tapi, aku emosi saat itu. Aku gak nyangka dia ngerjain aku ke dukun," sesal Martin.

"Kalau gak mau dikirimin paket khusus lagi, Om harus shalat taubat dan yang terpenting, belajar menahan amarah ya. Om ini wataknya keras sama siapapun. Banyakin istigfar," jelas Queen.

"Iya. Usiaku sudah gak muda lagi. Aku harus banyak taubat dan istigfar. Aku juga mau minta maaf sama istriku ini, kalau sudah banyak menyakiti hati," ujar Martin sambil meneput punggung tangan istrinya.

"Jangan kasih celah untuk mereka masuk ke tubuh kita. Kita bisa menolak. Asalkan berpasarah dan ikhlas ya, Om. Jangan dendam karena itu bisa jadi pintu kiriman ghaib masuk ke tubuh kita. Aku nanti pagari, Om. Tapi, pagar yang lebih kokoh itu adalah diri kita sendiri. Setan itu banyak tipu muslihatnya, jadi kita harus bisa mengontrol emosi dan nafsu kita. Jangan sampai membukakan sedikit saja celah untuk mereka menguasai kita," jelas Queen.

"Iya, Pah. Mamah juga minta maaf kalau terkadang buat Papah kesal. Mamah lega, Papah sudah gak sakit kaki lagi. Setiap kaki Papah sakit, Mamah juga sedih. Kadang Papah sampai jungkir balik nahan sakit. Reno pasti senang, tau kalau Papah akhirnya sembuh." Rosa menggelayut manja pada sang suami.

"Alhamdulillah ya, semua sudah selesai. Kalian semua mau tidur disini? Sudah jam 2 pagi ini," ujar Rita.

"Makasih, Ma. Kita harus pulang. Besok masih harus kerja juga. Kapan-kapan deh, kita nginep sini," jawab Lola.

Akhirnya mereka pun berpamitan pulang dan meninggalkan kediaman Kamila. Saat diperjalanan pulang, untuk pertama kalinya, Unin melihat satu sosok besar seakan menghadang mobil mereka dijalan. Sesosok Buta Ijo nampak marah dan menghadang didepan mereka. Unin merasa Devan mengemudikan mobil dengan tidak fokus dan saat ia melirik ke arah kekasihnya, Devan seperti mengantuk dan hampir terpejam.

"Van, bangun. Jangan tidur. Kamu lagi nyetir, bahaya!" seru Unin sambil menepuk pundak Devan.

Devan terkesiap, sedangkan Queen yang tadinya tertidur di kursi belakang pun terbangun mendengar perkataan Unin. Devan merasakan kantuk yang luar biasa. Ia seolah tidak mampu untuk menahan matanya tetap terbuka. Mobilnya melaju tak beraturan. Untung saja kala itu sudah dini hari, jalanan sepi dari kendaraan. Tapi, kondisi mereka masih berbahaya karena bisa saja menabrak bangunan atau sisi jalan.

"Astagfirullah," Queen melihat apa yang dilihat Unin tadi. "Unin, bantu baca ayat kursyi dan terus bikin Devan melek, ya. Ada yang mau nyelakain kita ini. Dia mau kita kecelakaan dijalan. Van, baca ayat kursyi atau banyakin istigfar," titah Queen.

Mobil masih oleng kekanan dan kekiri. Devan masih berusaha mengendalikan kendaraannya agar tidak mengalami kecelakaan. Ia mengikuti arahan Queen di bantu Unin yang terus menepuk pundaknya agar terus terjaga. Walau, ia rasakan matanya berat untuk terbuka. Jantungnya berdegup kencang, namun ia tahu, harus tetap tenang dan berusaha fokus agar semuanya selamat.

Semua berusaha dengan sekuat tenaga untuk bisa selamat dari hadangan Buta Ijo yang ingin mengambil nyawa mereka. Queen tampak memejamkan mata untuk berkomunikasi dengan sosok yang menghadang mereka. Dalam batinnya, ia memerintahkan sosok ghaib itu untuk menyingkir dan membiarkan mereka pulang tanpa gangguan sedikitpun. Tentu saja, Buto Ijo itu tidak mau menuruti apa yang Queen minta. Ia memang dikirim seseorang untuk membuat ketiga orang itu celaka dan mati.

Ketegangan kala itu masih terasa. Queen kini sudah dibantu khodam untuk melawan sosok ghaib tersebut. Salah satu khodam yang berbentuk seekor macan kumbang berwarna hitam sudah siap menerjang Buto Ijo. Mereka berduel secara tak kasat mata. Hanya Queen yang tahu, apa yang sedang terjadi dan ia pun melawan sang Buta Ijo bersama sang khodam. Buto ijo akhirnya kalah di pertempurannya. Devan merasa sudah tidak merasa mengantuk. Itu menjadi pengalaman mistis pertamanya. Yang kini, ia mulai percaya akan hal ghaib yang selama ini tak ia percayai.

"Kita sudah aman. Kalian gak apa, kan?" Queen memastikan keadaan sepupunya dan juga Devan.

"Aku sudah gak liat Si Buta tadi. Itu kiriman atau apa? Apa karena kita tadi bantuin Om Martin? Atau dari Sri?" Unin penasaran akan siapa yang melakukan hal itu.

"Nanti aja aku jelasinnya dirumah. Yang penting, sekarang kita sampai rumah dengan aman dulu ya. Tetap waspada, kita jangan lengah," ujar Queen.

Kejadian tadi membuat semuanya membelalakkan mata hingga sampai dirumah Unin. Semua bisa bernafas lega sudah sampai dengan selamat.

"Van, baiknya kamu pulang kalau sudah terang ya. Aku takut ada apa-apa dijalan," pinta Queen.

"Iya. Aku gak mau kamu kenapa-napa abis kejadian kayak tadi. Udah mau jam 3 pagi juga, takutnya kamu juga beneran ngantuk dijalan," ujar Unin.

"Iya. Kalau maunya kamu kayak gitu, masa aku nolak. Aku mah seneng malah masih bisa berduaan sama kamu,hahaha...," canda Devan.

"Huss..., jangan macem-macem. Ada Queen, noh. Lagian, kamu tidurnya di mobil kamu sana,hahaha...," balas Unin.

"Ih, tega bener ma ayang sendiri. Dingin loh ini, maunya tuh dipeluk, tau." Devan seolah-olah sedang kedinginan.

"Udah, kalian jangan pada bucin kenapa sih? Kasihani aku, yang statusnya kagak jelas ini,hahaha...," sahut Queen.

"Ya udah, kamu tunggu disini ya. Duduk manis diruang tamu, aku bikinin kopi dulu." Unin melangkah masuk ke arah dapur untuk membuat minuman hangat untuk mereka bertiga. Queen pun membuka lemari pendingin dan mengeluarkan makanan beku untuk di goreng sebagai camilan. Juga membuat roti isi untuk mengenyangkan perutnya. Seperti biasa, ia akan merasa lapar setelah energinya terkuras tadi. Unin sudah lebih dulu selesai membuat minuman dan mengantarkannya pada Devan.

"Makasih, Ayang." Devan menyeruput kopi yang dibuat Unin, "Kopinya enak. Kamu gak capek?"

"Harusnya aku yang nanya, kamu gak capek? Anter jemput aku, nemenin aku," ujar Unin.

Devan meraih tangan kekasihnya yang duduk disampingnya itu dan menatap lembut, "Aku dah bilang, aku akan lindungin kamu. Aku akan selalu ada buat kamu. Aku gak capek, aku malah bersyukur hari ini kamu ngajakin aku. Aku bisa ngelindungin kamu dan lebih ngerti siapa kamu."

"Aku seneng, punya kamu di hidup aku sekarang. Aku punya seseorang yang bisa aku andalkan selain diri sendiri. Jangan lelah ngadepin aku nanti. Aku gak tau, hubungan ini bakalan ngarah kemana, aku cuman mau nikmatin setiap momen yang ada dengan rasa syukur. Makasih ya, Sayang, kamu udah selalu ada buat aku," ujar Unin.

Mereka pun saling beradu pandang dan perlahan Devan ingin mencium kekasihnya. Namun, belum sampai bibirnya beradu dengan bibir Unin, ponsel Unin berdering. Masuk nomer tak dikenal. Walau bertanya-tanya dalam hati, siapa yang menelfonnya pada jam yang tidak biasa, Unin pun mengangkatnya.

"Halo..., siapa ini?"