Chereads / Cinta Indigo / Chapter 22 - 22. Beri Aku Waktu

Chapter 22 - 22. Beri Aku Waktu

Seminggu sudah sejak kepergian sang mama. Queen masih berada dirumahnya ditemani Bima. Mereka menjalani hari layaknya suami istri yang harmonis. Bima sangat lembut terhadap Queen. Seakan, tidak pernah ada masa lalu yang menyakitkan. Sungguh, Bima berubah drastis.

"Besok, aku harus balik ke Jakarta. Dua hari lagi akan ada persidangan. Kamu mau ikut pulang?" Bima bertanya sambil membelai rambut sang istri yang sedang duduk disampingnya.

"Aku masih mau di sini. Aku udah bilang sama Abang sebelumnya akan keputusanku. Aku masih mau memikirkan masa depanku seperti apa. Aku ingin menjalani kehidupanku tanpa beban."

"Ya udah. Aku gak akan memaksakan apapun. Kalau akhirnya, kamu mau kasih aku kesempatan lagi, aku akan turuti mau kamu. Aku bakalan beliin kamu rumah yang kamu inginkan. Kita pindah dan mulai hidup baru. Aku cuma ingin kamu bahagia," ujar Bima.

Di saat yang sama ditempat yang berbeda Susan sedang meluapkan emosinya terhadap Sri. Ia tidak terima jika selama di Bandung, Bima tidak pernah mengangkat telefon darinya atau bahkan membalas pesan.

"Sri, gimana ini? Bang Bima gak sekalipun balas telefon atau pesanku. Coba deh, kamu yang hubungi dia. Kenapa dia nyuekin aku, sih. Kayaknya, pelet dari kamu udah gak mempan deh. Kita mesti cari dukun lain," kesal Susan.

"Sabar. Tunggu Bang Bima pulang ke Jakarta. Kamu tau kan, kalau Queen juga punya kemampuan kayak dukun. Dia selalu bisa kirim balik, apa yang dukunku lakukan. Kamu bilang, Abang ada sidang kan, besok pasti dia pulang. Kamu harus pake pakaian sexy. Nanti malam, aku bakalan datang ke tempat Ki Roso Monggo yang terkenal itu. Aku bakalan minta pelet paling paten buat kamu. Udah, jangan stres, nanti kulit kita keriput. Sekarang, kita pergi shoping dulu. Temenin aku, sekalian kamu juga beli lingerie baru. Aku juga ada janji mau ke Bali sama cowok baruku," ujar Sri.

Duo ular itu memang tidak pernah mau menyerah untuk memisahkan Bima dari Queen. Mereka selalu mencari cara walaupun harus bersekutu dengan setan. Obsesi Susan akan Bima membuatnya gila. Sedangkan Sri, memang orang yang tidak ingin tertandingi. Ia ingin, kakak iparnya adalah seseorang yang bisa ia setir seperti Susan. Yang akan selalu menjadi bawahannya.

-----

Akhirnya, Bima sudah kembali ke Jakarta dan Queen sendirian di rumah yang semakin terasa sepi. Hanya ada Bik Yayah.

"Bik, aku titip rumah, ya. Paling seminggu sekali aku kesini. Aku mau tinggal sama Unin. Kalau ada apa-apa, telefon aja."

"Iya, Neng. Sehat-sehat di sana. Bibik pasti jaga rumah ini buat Neng. Neng Queen mau pake mobil yang mana? Biar Bibik ambilkan kuncinya," tanya Bik Yayah.

"Aku pake yang sedan aja. Yang lain, biar Om jamal yang urus. Katanya mau disewakan. Bibik sama Mang Ujang tinggal disini ajah sama anak-anak. Kan, mau renovasi rumah. Selama ngebangun, biar kalian tinggal disini. Pakaian dan barang mama kan, udah aku pilih buat dibagiin. Nanti barangku yang dikamar pindahin ke kamar mama. Jadi, kamarku bisa kalian pakai. Dirumah ada empat kamar, pakai aja ketiganya biar kamar mama aja yang kosong. Kalau saya pulang, saya tidur disitu," titah Queen.

"Ya ampun, Neng. Makasih udah mau bantu sama ngasih uang buat nambahin renovasi rumah Bibik. Semoga rejeki Neng semakin banyak. Sebentar, Bibik ambilin kunci mobil dulu." Bik Yayah dengan sigap membawakan kunci mobil untuk Queen dan mengantarnya ke garasi. Ia melihat anak majikannya menghilang dari balik pagar rumahnya.

Queen melaju dengan kendaraan roda empatnya menuju Mall untuk menghampiri Unin. Sesampainya disana, sudah waktunya makan siang. Unin, Lola dan dirinya, kini duduk di salah satu cafe yang menawarkan menu Steak. Setelah mereka memesan makanan, mereka pun berbincang.

"Hari ini, kamu jadi balik kerumah 'kan?" tanya Unin.

"Iya. Aku mau minta kunci, makanya sekalian kesini sambil makan siang. Kamu bawa mobil atau ...,"

"Dianter Devan. Aku dah jarang pakai mobil kecuali ada janji sama pembeli. Kamu parkir depan rumah aja, gak apa. Toh, jalan komplekku kan, gede juga. Gakkan ganggu kendaraan yang lain kalau mau lewat," jelas Unin.

"Malem ini kita movie time. Aku udah bawa film romantis," ujar Lola.

"Asik, Lola mau nginep. Kalau gitu, nanti aku siapin popcorn sama camilan lainnya. Aku dah kangen kalian," ujar Queen.

Mereka pun menyelesaikan makan siang mereka dan kembali ke rutinitas masing-masing sampai akhirnya malam tiba. Queen sudah menyiapkan camilan untuk menonton film malam ini. Unin dan Lola, pulang diantar oleh Devan.

"Loh, Lola dianter Devan juga tadi pagi? Kok barengan?" tanya Queen.

"Gak. Tadi Unin sama Devan kerumahku dulu. Biar gak banyak mobil disini. Makanya pulang kesini bisa barengan. Jadi obat nyamuk mereka berdua di mobil, hahaha...," ujar Lola.

"Obat nyamuknya kenyang tapi 'kan? Sajen dari Devan banyak banget buat Lola. Pacarnya ajah gak dibeliin apa-apa," ujar Unin.

"Eits, siapa bilang, aku gak beliin apa-apa buat kamu." Devan merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kalung emas putih berliontin nama sang kekasih.

"Wah, cantik banget, Van. Kamu punya kembaran gak sih, kasih aku yang jomblo ini," goda Lola.

Unin meraih kalung dari tangan Devan dan mengagumi pemberian sang kekasih. "So pretty. Kamu tuh, bisa aja bikin aku meleleh. Makasih ya, Sayang."

Devan membantu memakaikan kalung tersebut di leher Unin. "Aku pamit aja. Gak enak kalau kelamaan disini, banyak yang baper nanti. Have fun ya, buat kalian."

Unin pun mengantar Devan sampai di depan mobilnya lalu kembali masuk kedalam rumah dan bergabung dengan Lola dan Queen.

"Oke, camilan udah, film udah masuk DVD, sekarang waktunya kita nonton." Lola menekan tombol play. Film 50 First Dates mulai diputar.

Setelah 1 jam 40 menit, film pun usai. Ketiga wanita itu sedang mengeringkan air mata yang jatuh di pipi mereka.

"Ya ampun, La. Sedih banget sih nih film. Bikin gamon aja," ujar Unin.

"Aku udah nonton ini lima kali. Tetep aja mewek. Emang sesedih itu, tapi romantis banget. Cinta itu emang butuh banyak pengorbanan ya. Butuh kesabaran dan nerima kondisi pasangan apa adanya. Ah, jadi pengen pacaran walau mesti ngelaluin hal perih kayak gitu. Kayaknya, aku mulai lelah menjomblo." Lola mencurahkan isi hati seraya melahap popcorn yang masih bersisa.

"Hhhmm.... Emang seperti itu sih yang namanya cinta. Aku juga lagi galau. Semenjak Mama meninggal dan Bang Bima nemenin aku di Bandung, dia tuh berubah.

Dia janji, gak akan kayak dulu lagi," jelas Queen.

"Bukannya dia kasar. Kamu bilang juga, dia di pelet Susan 'kan? Nanti, dia berubah lagi kalau kalian di Jakarta. Serem ah, aku ngebayangin kejadian kemarin itu. Hati-hati!" Unin tentu tak ingin sepupunya kembali ke situasi yang mencekam seperti kemarin.

"Selama ini, aku berdo'a sama Allah. Minta di lembutkan hati Bang Bima. Minta di jauhkan dia dari hal buruk, apapun itu. Selama hampir 10 tahun aku jadi istrinya, gak selalu buruk. Adakalanya memang dia memanjakanku. Yah, efek dari guna-guna dan pelet kadang bisa membuat gila. Aku belum bisa membantu menetralisir. Bahkan sampai sekarang, aku gak berbuat apapun buat nyadarin Bang Bima. Tapi, Allah kasih lihat kebesaran-Nya. Saat aku terpuruk, sedih, kehilangan Mama, dia berubah jadi suami yang selama ini aku idamkan. Aku minta waktu buat berpikir dan dia setuju. Aku pengen punya keputusan sendiri buat hidupku. Selama ini, aku cuman jalanin apa yang diputuskan orang atas diriku sendiri. Aku cuman ingin tenang." Queen menjelaskan perasaannya dengan tatapan lesu.

Hatinya yakin kalau Bima berubah bukan untuk memanipulasinya. Tapi, ada Sri dan Susan yang harus ia hadapi bahkan saat mereka jauh pun, masih bisa menyakitinya. Dia hanya lelah jika harus terus berada dalam lingkaran setan. Hanya sang mertua yang tidak banyak ia pikirkan. Surya tidak terlalu ikut campur dalam kehidupan tumah tangganya. Ia tidak membantunya atau menyakitinya. Surya terlalu sibuk dengan pekerjaan dan mengahasilkan pundi-pundi kekayaannya. Itu mengapa, ia cocok dengan Sundari, sehingga setuju menjodohkan anak mereka.

"Astagfirullah..., aduh, dadaku sakit." Tetiba Queen merasakan tekanan teramat hebat di dadanya.

"Queen, kamu kenapa?"