Queen, Unin dan Devan sedang berada di rumah sakit. Mereka bergegas setelah menerima panggilan yang masuk ke ponsel Unin tadi. Queen terlihat menangis di kursi yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Unin pun sedang menemani sepupu kesayangannya sambil mengusap lembut punggung Queen. Devan hanya bisa duduk diam di deretan kursi yang sama tanpa berkata apapun. Tak lama, seorang pria paruh baya menghampiri mereka.
"Neng Queen, Bapak pamit dulu ya. Maaf, gak bisa nunggu operasi Ibu," ujar Wahyudi sang ketua RT, yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumah Queen.
"Makasih ya, Pak. Mama saya sudah cepat di bawa ke rumah sakit. Kalau gak ada Bapak, entah bagaimana kondisi Mama," isak Queen.
"Iya. Itu juga Bik Yayah yang kasih nomer telefon Neng Unin ya. Katanya, Bu Sundari nulis nomernya di beberapa tempat tapi tidak pernah menelefon. Jadi, kata Bik Yayah, pasti orang yang bisa di hubungi kalau Bu Sundari ada apa-apa. Gak taunya, Neng Unin. Udah lama ya, gak main kerumah Neng Queen?"
"Iya, Pak. Sekarang juga Queen baru tinggal sama saya. Belum sempet kerumahnya Queen. Makasih ya, Pak Wahyudi. Hati-hati dijalan," ujar Unin sambil bersalaman.
Wahyudi pun meninggalkan mereka yang masih harap cemas menanti kebar operasi Sundari, ibunya Queen. Sundari sedang menjalani operasi kepala karena terdapat pembuluh darah yang pecah dan pendarahan otak. Operasi yang sangat sulit dan beresiko. Tentu saja, Queen harus mempersiapkan diri untuk hal buruk yang bisa terjadi saat ini. Enam jam sudah berlalu saat dokter akhirnya menghampiri mereka.
"Untuk keluarga Ibu Sundari, operasi untuk menangani pendarahan di otaknya sudah berhasil. Namun, kondisi pasien masih kritis karena beberapa pembuluh darah sudah pecah. Pasien masih dalam keadaan koma, kami akan pindahkan ke ruang perawatan intensif. Hanya boleh di jenguk satu orang saja nanti. Jika dalam 1x24 jam tidak ada perubahan, bisa jadi, pasien menderita mati otak atau kondisi terburuk, tidak bisa bertahan," jelas Dokter.
"Terima kasih, Dok."
Queen pun masih harus bersabar hingga bisa menemui sang mama. Devan berpamitan untuk pulang lebih dahulu karena ada yang harus ia kerjakan. Unin menemani Queen sepanjang waktu, menguatkan dan menenangkan Queen.
"Semoga Tante Sundari bisa ngelewatin masa kritis ya, tapi kita juga harus bersiap buat kondisi terburuk. Aku bakalan disini nemenin kamu. Aku dah ngabarin Lola, dia kesini nanti siang," ujar Unin.
"Iya. Aku udah siap. Selama aku nikah sama Bima, aku hanya bisa ketemu Mama sekali setahun. Mama juga gak banyak komunikasi sama aku. Tau sendiri kan, kondisi rumah tanggaku. Bahkan, saat aku keguguran, Mama datang ke Jakarta cuman jenguk sebentar lalu pulang. Dia lebih memilih ngurus kontrakannya yang lagi dibangun," isak Queen.
Begitulah Sundari, terlalu gila harta sampai mengorbankan anaknya sendiri. Bagaimanapun, Queen selalu menyayangi sang mama. Hanya saja, komunikasi mereka sulit karena Queen pun terpenjara di rumahnya sendiri saat menikah dengan Bima.
Hari sudah siang, saat Lola menemui mereka berdua. Lola membawakan makanan cepat saji untuk mengisi perut mereka karena Queen tak ingin jauh dari ruangan Sundari. Mereka saling berbincang untuk menghabiskan waktu menunggu, sampai akhirnya menjelang malam, Queen diijinkan masuk untuk menemui Sundari.
Queen berjalan perlahan dan duduk disamping sang mama yang dipenuhi oleh alat penopang hidup. Air matanya mengalir tanpa ia sadari. Tak ada isakan ataupun teriakan, ia sangat tenang menggenggam tangan tua wanita yang ia sayangi.
"Assalamualaikum, Ma. Maaf, Queen baru bisa ketemu Mama sekarang saat Mama gak bisa liat Queen. Maaf ya, aku belum bisa bahagiain Mama." Queen mengusap pipi yang mulai keriput itu dengan lembut. Seakan ia tahu, Sundari takkan lama lagi bersamanya. "Kalau Mama mau pergi, Queen ikhlas. Kita saling memaafkan ya, Queen sayang Mama."
Tak lama setelah ucapan Queen, monitor disampingnya berbunyi menandakan kondisi Sundari menurun. Dokter dan suster bergegas masuk dan memeriksa kondisi Sundari. Queen hanya menatap dari sudut ruangan saat Dokter berusaha untuk mengembalikam detak jantung ibunya. Namun, usaha dokter tidak berakhir baik. Sundari akhirnya tiada.
Bagi Queen, waktu seolah berhenti. Ruangan terasa hampa, namun ia melihat Qorin sang mama yang ingin berbicara padanya. Secara batin, Queen berbicara dengan Qorin itu.
"Mama sudah maafkan kamu, Neng. Malah Mama merasa berdosa sudah menjual kamu demi harta. Mungkin ini hukuman Mama, tidak bisa memeluk anak Mama untuk terkahir kalinya."
"Semoga Allah melapangkan kubur Mama dan mengampuni dosa Mama. Semoga kelak kita bisa berada disurganya Allah ya Ma, sama Papah. Queen akan berjuang buat kehidupan sendiri. Tenang Ma, ada Unin sekarang yang nemenin. Queen Sayang Mama," ujar Queen.
Ia pun melangkah keluar menemui Unin dan Lola untuk mengabarkan kepergian sang mama. Saat itu, barulah kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Unin dengan sigap memeluk sepupunya dan memapahnya untuk duduk. Mereka menangis bersama.
Saat Queen masih melepaskan kesedihannya, langkah kaki seorang pria mendekati mereka. Lola mengenali pria yang datang dengan seorang wanita dan pria tua. Ternyata Surya, Bima dan Sri datang ke Rumah Sakit karena dikabarkan oleh Bik Yayah.
"Bagaimana kondisi Ibu?" tanya Surya yang belum mengetahui kematian Sundari.
Queen yang sedari tadi lemas dan bersedih tiba-tiba saja berdiri dan memeluk suaminya dengan erat. "Mama udah gak ada, Bang. Aku harus gimana?"
Tangisannya kini pecah di dada sang suami yang selama ini selalu menyiksanya namun bagaimanapun, ia sebenarnya menyayangi Bima. Kebersamaan mereka selama hampir 10 tahun tentu bukan waktu yang sia-sia.
Bima, kala itu merasakan kesedihan sang istri dan membalas pelukannya. Melupakan rasa bencinya, egonya untuk Queen. Entah mengapa, hatinya merasa mencintai wanita yang sedang kehilangan ini. Ia seperti tersadar bahwa ia sudah menyakiti istrinya dengan kejam.
"Sabar ya, Sayang. Ada aku disini."
Sedangkan Sri, tentu saja tidak menyukai pemandangan didepannya. Walau kedukaan yang sedang terjadi, ia tetap membenci Queen. Namun, ia tak mungkin memperlihatkan rasa bencinya didepan ayahnya. Ia berpura-pura bersedih didepan semuanya.
"Sabar ya, Queen. Turut berduka."
Surya pun menepuk punggung menantunya yang sedang berduka di dada anaknya tanpa berkata sepatah kata. Ia tahu kesedihan itu seperti saat istrinya meninggal.
-----
Setelah selesai mengurus pemakaman Sundari, semua masih berada di kediaman Queen. Rumah mewahnya kini terasa hampa. Ia teringat kembali masa kecil hingga sebelum menjadi istri Bima. Rumah yang penuh dengan barang kristal itu kini kehilangan pemiliknya.
"Queen, Papah harus kembali ke Jakarta. Maaf, gak bisa disini lebih lama," ungkap Surya sang mertua.
"Iya, Pah. Queen ngerti kesibukan Papah." Queen mencium punggung tangan mertuanya.
Sri enggan bebasa-basi dan melenggang keluar mengikuti sang ayah. Sedangkan Bima, masih tinggal untuk menemani Queen. Unin, Devan dan Lola masih menemani para tamu yang satu persatu berpamitan didepan halaman. Rumah kembali sepi dan menyedihkan bagi Queen. Ia menjatuhkan diri di sofa ruang tamu. Bima pun duduk di sisinya. Entah mengapa, sejak semalam, ia merasa menyayangi istrinya yang selama ini ia sakiti.
"Are you okay, Sayang?"
"Aku sedih tapi baik-baik aja. Makasih Abang masih mau disini nemenin aku."
Queen menatap mata pria yang masih berstatus suaminya. Dia tidak pernah bisa membenci siapapun termasuk Bima. Senaif itu memang seorang Queen. Dia selalu mencari sisi positif di setiap kejadian yang ia alami dan kepada siapapun.
"Maaf, kalau aku selama ini sering nyakitin kamu. Saat kemarin kamu meluk dan nangis dipelukanku, aku baru sadar sama perasaanku sendiri," jelas Bima.
Queen tentu terkejut mendengar pernyataan Bima. Seorang pengacara yang berego tinggi dan mudah berbuat sesuka hatinya kini mengakui perasaannya. Namun, ia senang jika ternyata sang suami ternyata menyimpan kasih sayang untuknya.
"Abang yakin ngomong gini sama aku? Abang sadar, kan?" tanya Queen memastikan.
Bima menaruh tangannya diatas kepala sang istri dan membelai pelan, "Sadar donk. Abang kan, lagi gak minum alkohol. Abang terkadang bingung sama perasaan sendiri. Adakalanya liat kamu tuh benci banget, kesel terus. Kadang Abang kangen, pengen meluk kamu, ngajak kamu liburan berdua. Gak ngerti, kenapa Abang kayak gitu. Memang, kita nikah karena perjodohan. Tapi, kamu itu wanita yang sederhana, gak macem-macem. Manut aja, mau digimanain juga. Sekarang, baru berasa kalau aku banyak salah sama kamu. Bahkan, kita sampai kehilangan anak. Aku minta maaf, ya. Bisa gak, kita perbaiki semua dari awal?"
Queen diam sejenak dan menarik nafas dalam. "Bang, lukaku ini bahkan masih proses untuk sembuh. Jujur, aku gak mau masuk kedalam rumah kita lagi. Terlalu suram buatku karena banyak kenangan pahit disana. Kasih aku waktu untuk minta petunjuk sama Allah. Apa aku masih bisa jadi istri Abang atau lebih baik kita berpisah. Aku gakkan buka aib kita keluar dan buat kehebohan jika akhirnya harus berpisah. Kita hanya berada di situasi yang awalnya bukan hal yang kita inginkan, makanya hati kita juga terus menolak cinta. Padahal, kebersamaan kita pasti sedikit demi sedikit memupuk kasih sayang. Aku senang, Abang bisa minta maaf dan mengakui kesalahan, tapi maaf, aku belum bisa kasih jawabannya sekarang."
Tentu saja, Queen tidak bisa mengungkapkan bahwa Sri selama ini menggunakan jasa dukun. Baik untuk menyakitinya ataupun membantu Siska untuk memelet suaminya. Selama ini, ia hanya bisa berdo'a agar suatu saat Bima bisa sadar dan berubah. Tak ada kekuatan lain yang mampu membolak-balikan hati dan menghilangkan sihir selain ridho Allah. Queen selalu yakin akan hal itu.
"Oke. Abang akan kasih kamu waktu. Abang juga akan mulai berubah untuk kita. Abang hanya minta, jangan putus komunikasi. Itu hal yang penting biar kita bisa perbaiki semua. Terus kontrakan Mama gimana? Siapa yang bakalan urus?" ujar Bima.
"Biar Om Jamal yang urus seperti biasa. Pinjaman sama Papah Surya biar dibayar berupa bangunan aja, ya. Jadi kontrakan yang dibangun dari uang Papah, biar jadi milik Papah. Rumah inipun bakalan aku titip Bik Yayah aja. Aku masih mau tinggal sama Unin. Cuman sama dia aku ngerasa aman dan tenang sekarang," jelas Queen.
"Udah, masalah utang piutang sama Papah gak usah dipikirin dulu. Aku hormati semua keputusan kamu sekarang. Aku cuman bisa nunggu," jawab Bima.
Disaat kesedihan datang sebagai ujian hidupnya, Queen pun merasakan ketenangan batinnya yang selama ini hilang. Ia merasa, do'a-do'anya mulai terjawab satu persatu. Kala itu, Bima perlahan mendekati wajah sang istri untuk mencium bibirnya, saat ponselnya berdering.
SUSAN