Tin.. Tin..
Bunyi klakson dari mobil Jeep berwarna hitam memberi sinyal untuk Unin keluar dari dalam rumah.
"Hai, pagi, Non. Ready to go?" sapa Devan saat Unin masuk kedalam mobil. Ia pun membantu Unin memasang seat belt yang membuat Unin sedikit tersipu malu.
Unin merasakan pipinya panas karena wajah Devan sangat dekat dengan wajahnya. Sesaat, ia menahan nafas dan jantungnya berdebar kencang. Unin mencoba menenangkan dirinya agar tetap tenang didepan Devan. "Thank you. Aku dah siap. Apapun yang bakalan terjadi hari ini, aku akan berjuang buat Queen sampai titik darah penghabisan!" seru Unin dengan semangat.
Mobil tangguh itupun melesat menuju Jakarta dengan cepat dijalan tol. Butuh sekitar 3 jam untuk sampai di kediaman Bima. Saat masuk ke gerbang perumahan elite untuk menjemput Queen, Unin menatap Devan yang masih fokus didepan kemudinya. "Van, beneran kamu siap nemenin aku jemput Queen? Masih ada waktu kalau kamu berubah pikiran, sebelum kita sampai," tanya Unin agar yakin akan langkah yang sebentar lagi mereka ambil bersama.
"Kamu tenang ya. Kamu kan udah kasih video tadi, yang aku tonton saat di rest area. Juga bukti rekaman waktu kalian di hotel. Aku rasa, Bima akan lepas Queen. Apalagi, dia ada wanita lain 'kan?"
Akhirnya mereka sampai di alamat yang Queen berikan sebelum dia kembali ke Jakarta. Terlihat sebuah rumah megah bergaya minimalis dengan pagar tinggi. Ada satu pos jaga kecil yang berisikan lelaki berbadan kekar. Lelaki itu menyambut kedatangan kami didepan pagar. "Selamat siang. Ada keperluan apa dan dari siapa?"
"Saya Unin, sepupu ibu Queen. Ibunya ada?"
Lelaki itu terdengar berkomunikasi dengan orang didalam melalui walkie talkie lalu ia pun membuka pagar dan mempersilahkan Unin dan Devan untuk masuk. Bak rumah di dalam sinetron atau telenovela, halaman depan rumah lumayan luas dengan lahan parkir yang bisa memuat 5 kendaraan beroda empat. Terlihat, dua mobil mewah terparkir di sisi kanan kediaman mewah itu. Mereka pun parkir di area yang masih kosong lalu melangkah menuju rumah yang tak kalah luas.
Unin mulai merasakan kegugupan dan rasa takut namun juga takjub dalam waktu yang sama. Ada seorang wanita paruh baya yang menyambut mereka berdua. "Mari saya antarkan. Tuan Bima sudah menunggu didalam."
Tubuh Unin bergetar namun ia menguatkan dirinya untuk Queen. Devan bisa merasakan apa yang kini Unin rasakan. Ia meraih tangan Unin lalu menggenggamnya bak kekasih ya selalu siap melindungi wanita yang dicintainya. Unin terkejut namun membiarkan rasa nyaman itu. Genggaman tangan Devan seperti memberi kekuatan dan keyakinan bahwa hari ini akan baik-baik saja.
Setelah melewati ruang depan dan ruang tengah, terlihat Bima sedang bersantai di halaman belakang. Ia baru saja menghabiskan sarapannya dengan Queen di sisinya. Bima tersenyum palsu dan menyambut kedatangan mereka, "Wellcome to my house. Silahkan duduk. Sudah sarapan?"
Unin terkejut melihat reaksi Bima. Berbeda dengan pria yang ia lihat semalam tadi. Sedangkan Queen langsung berhambur memeluk Unin. "Kamu datang buat aku?"
Unin mengangguk dan melepaskan pelukan sepupunya. Mereka pun duduk berempat di satu meja cantik dihalaman belakang sambil menikmati taman bunga disekelilingnya. "Bang, aku gak bisa basa-basi. Aku kesini untuk jemput Queen. Aku harap, Bang Bima gak mempersulit hal ini!" tegas Unin.
"Kenapa istriku harus ikut denganmu? Disini kan rumahnya. Kamu gak bisa ikut campur tentang rumah tanggaku. Aku menyambut kalian dengan baik. Jadi jangan memperkeruh keadaan," ucap Bima dengan wajah datar sambil menatap Unin.
"Untuk apa Abang terus memenjarakan Queen dirumah semegah ini. Tokh, Abang juga gak benar-benar memperlakukan dia sebagai seorang istri. Lagian, Abang juga ada perempuan lain 'kan? Apa perlu aku buat kehebohan di media tentang kelakuan Abang yang sebenarnya selama ini?" Unin mulai merasakan emosinya kian memuncak. Dimatanya, Bima terlihat semakin menjijikan.
"Bisa apa kamu tentang buat kehebohan? Bukti apa yang bisa bikin kamu percaya diri buat jatuhin reputasiku? Kamu lupa, kamu sedang berhadapan dengan siapa?" kekeh Bima. Pengacara itu tentu saja selalu merasa dirinya paling benar dan berkuasa.
Queen mulai memberanikan diri membela dirinya, "Aku saksi matanya, Bang. Aku adalah korbannya. Aku mohon, Abang lepasin aku. Bukankah sekarang sudah ada Susan. Aku tak perduli lagi Abang menjalin hubungan dengan siapapun. Aku cuma ingin hidup tenang."
"Berani ya kamu sekarang. Apa karena sepupumu ini?" Bima muncuil dagu Queen lalu beralih menatap Unin. "Yakin kamu mau berurusan denganku? Nyalimu besar juga, berani datang kesini mengancamku hanya berdua dengan supirmu ini," liriknya pada Devan.
Unin hampir ingin mengangkat tangannya untuk menampar Bima, namun tangan Devan lebih cepat untuk menahannya dengan genggaman lembut.
"Maaf, supir ini belum memperkenalkan diri. Kenalkan, saya Devan Kusuma. Ini kartu nama saya," ucap Devan seraya memberikan kartu nama dari saku kemejanya.
Bima menerimanya dengan mimik wajah yang meremehkan. Namun saat membaca apa yang tertera di kartu nama itu, raut mukanya seketika berubah. Bagai tak percaya pada apa yang ia lihat. Unin dan Queen yang memperhatikan Bima pun ikut bingung. Kenapa raut wajah Bima berubah?
"Kamu..., anak Pak Kusuma dari PT. Kusuma Karya? Kontraktor terbesar di Indonesia?" Bima bertanya dengan mata yang melotot karena tak percaya. Mana mungkin anak kontraktor terbesar di Indonesia terlihat biasa.
Bukan hanya Bima yang terkejut, begitupun Unin. Ia tentu sangat tahu siapa ayah dari Devan, lelaki yang kini sedang membuatnya jatuh cinta. Perusahaan besar itu membangun beberapa Real Estate juga Apartement yang ia jual selama ini. Berbeda dengan Queen yang tak tahu menahu tapi memperhatikan raut wajah suami dan sepupunya ini, ia sadar, Devan bukanlah orang sembarangan.
"Ya. Saya anak ketiga dari Pak Kusuma. Ayah saya beberapa kali menggunakan jasa ayahmu. Semoga kerjasama mereka tetap bisa dipertahankan kedepannya."
Bima tertegun. Ia memikirkan dampak apa yang akan terjadi jika ia bersikeras menahan Queen dirumah itu. Tentu ayahnya tidak akan senang karena masalah ini, kerjasamanya dengan kontraktor besar terputus. Itu berarti pundi-pundi uang juga hilang. Ia nampaknya harus merelakan Queen untuk saat ini. Tokh, dibenaknya kini ada Susan. Yang sampai saat ini, masih bisa melayani semua hasrat dan keinginannya baik soal pekerjaan ataupun hal ranjang untuknya. "Hhmm..., aku akan biarkan Queen berlibur di Bandung untuk saat ini. Tapi, ia tetaplah istriku. Dia harus pulang saat aku menyuruhnya," ucap Bima dengan raut wajah datar. Ia memang terbiasa menahan emosinya dan terlihat tenang. Padahal, dalam hatinya kini sedang bergejolak. Antara harga diri, ego dan kepentingan bercampur aduk.
"Keputusan yang baik. Kita datang damai, pulang pun dengan damai. Semua senang 'kan?" lirik Devan pada Bima dan Queen sambil tersenyum tipis.
Ada senyuman melengkung di bibir Queen. Ia senang bisa keluar dari nerakanya. Ia lalu berpamitan untuk ke kamar dan membawa beberapa barang untuk dibawa ke Bandung. Unin membantunya bersiap.
Sedangkan Devan dan Bima masih berada di halaman belakang. Menikmati kopi dan camilan sambil berbincang. "Maaf kalau saya harus ikut campur dalam masalah kalian. Tapi, Unin sekarang menjadi wanita yang saya sukai dan tentu saya harus lindungi. Bukankah begitu seharusnya?" jelas Devan sambil menyindir Bima yang selama ini menyakiti sang istri.
"Bagiku, Queen hanya boneka yang dibeli dari ibunya. Tentu saja, boneka harus dimainkan. Aku bisa berbuat apapun pada mainan yang sudah kubeli. Aku juga bisa membuangnya kapanpun ku mau."
Devan tentu saja menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Bima. "Wow..., saya gak nyangka akan dengar jawaban seperti ini dari seorang pengacara terkenal. Bukankah lebih baik melepas sesuatu yang tak kau sukai. Apalagi ada penggantinya. Dengan ketampanan dan kekayaan seperti sekarang, tentu takkan ada wanita yang menolakmu. Tapi ya, itu urusanmu. Saya hanya akan bergerak jika sesuatu yang berkaitan dengan Unin. Jadi, berhati-hatilah kedepannya untuk tidak berurusan denganku lagi," ancam Devan dengan tegas. Kedua lelaki itu hanya menyeruput kopinya dalam diam. Suasana dingin menyelimuti halaman belakang rumah mewah itu.
Berbeda dengan suasana di dalam rumah. Saat Queen dan Unin baru saja keluar dari kamar untuk bersiap pergi, mereka berhadapan dengan Susan. Wanita tak tahu malu itu berdiri menghalangi, "Kamu mau pergi? Bagus. Jangan ingat untuk kembali. Bang Bima gak butuh wanita menyedihkan sepertimu. Jangan ganggu kami lagi!"
PLAK...
Sebuah tamparan mendarat di pipi Susan. Queen terkejut melihat tangan Unin sudah membuat merah pipi pelakor itu. "Jangan pernah meremehkan atau mengganggu Queen lagi. Kamu hanya seorang bawahan dan simpanan yang hanya jadi pemuas nafsu bejad Bang Bima. Selamanya, kamu hanya akan jadi gundik. Jangan bermimpi akan menjadi Nyonya. Awas, jangan halangi jalan kami!" Unin mendorong Susan.
Susan yang masih memegangi pipinya yang terasa perih, tak membalas perbuatan Unin karena terkejut. Ia terbiasa menghadapi Queen yang dianggap lemah dan dapat ditindas semaunya tanpa berani melakukan pembalasan. Jadi, ia tak siap kalau ada yang berani melawannya. Ia tentu sedikit takut kepada Unin yang sudah berani menamparnya. Ia hanya mematung melihat kepergian dua wanita yang tadi ia halangi.
Tanpa basa-basi, Devan, Unin dan Queen akhirnya meninggalkan rumah mewah tersebut dan kembali menuju Bandung. Selama diperjalanan, tak ada perbincangan diantara mereka. Apalagi untuk Unin, ia merasa sedang berada di atas roller coaster. Sesaat ia merasa senang namun kini ia gundah, merasa dirinya tak pantas untuk menyukai Devan. Traumanya kepada satu hubungan dengan perbedaan kultur atau strata sosial kembali datang. Apa mungkin, cintanya akan bisa diterima oleh orang tua Devan jika mereka nanti berpacaran. Unin tak ingin kembali terluka seperti halnya cintanya dengan Ali Munaf.
Sedangkan Devan yang sedang memegang kemudi pun merasakan Unin bagai menjaga jarak. Tidak seperti Unin yang ia kenal biasanya. Ia mengerti, Unin pasti syok mendengar siapa jati dirinya. Ia membiarkan gadis pujaan hatinya menenangkan hati dan pikirannya. Ia hanya akan menunggu. Entah kenapa, ia tak ingin kehilangan Unin, tapi juga tak mau memaksakan apa yang akan terjadi antara mereka.
Queen yang duduk dibelakang merasakan suasana dingin diantara sepupunya dan Devan. Ia pun tak ingin membuat keadaan menjadi lebih lebih buruk lagi. Setidaknya, ia bisa merasa lega sudah bisa keluar dari sangkar emasnya. Ia bisa menikmati suasana tenang itu dalam diam.
Apakah Unin bisa bersatu dengan Devan?
Apa benar, Queen sudah benar-benar terbebas dari Bima?