Setelah menenangkan diri di toilet, Queen kembali berbaur di pesta itu seperti biasanya. Ia menggunakan gaun long sleeve berwarna merah muda. Gaun yang sangat pas dipakai ditubuhnya dengan mengikuti lekuk tubuhnya yang mungil dengan aksen pita di pinggang. Membuat ia terlihat manis namun tetap anggun. Bagian lengan sampai keleher yang berbentuk turtle neck, dikombinasikan brukat berwarna senada, tetap memunculkan kulit putih Queen. Ia tak nyaman berpakaian terbuka. Jadi, ia menyukai pakaian yang bisa menutup dadanya. Aksesoris berlian yang sederhana semakin membuatnya terlihat elegan. Rambutnya, ia biarkan terurai. Hampir semua yang datang saat itu mengaguminya.
Saat Queen sedang menghampiri Bima, Susan berjalan kearahnya sambil membawa segelas minuman dan berakting seolah ia menabrak Queen dan tak sengaja menumpahkan minuman kepadanya. "Aduh, maaf, Bu. Saya gak sengaja." Sontak, semua mata melihat ke arah mereka berdua. Susan berpura-pura panik dan merasa bersalah sambil mencoba menyeka gaun yang basah dengan tangannya. Queen pun berusaha menyekanya walau ia tahu akan percuma. Ia tak menjawab ucapan Susan. Tentu, Susan semakin ingin mempermalukannya. Kali ini, ia seolah ingin membawakan tisue dari meja yang tak jauh dari tempat mereka berdiri dan akhirnya, BRET..., gaunnya robek oleh Susan yang kala itu berusaha menopangkan tubuhnya yang akan jatuh pada Queen. Semua tamu undangan seperti menahan nafas melihat gaun Queen yang robek, bahkan sedikit memperlihatkan dadanya. Queen tentu reflek berusaha menutupi tubuhnya yang terkespos. Ia langsung berlari menuju toilet sambil menangis. "Ya Allah, kenapa mereka berbuat semua ini. Bantu aku melewati hari ini. Aku ingin pulang," jeritnya dalam hati.
Tak lama, Bima menggedor pintu toiletnya, "Queen, buka pintunya!"
Queen mau tak mau membuka kuncinya dan membiarkan Bima masuk. Bukannya menenangkan sang istri, ia malah menyalahkan Queen. "Udah kubilang, jangan bikin malu. Udah, jangan nangis. Kamu lebih baik pulang! Genta akan antar kamu. Jangan menangis didepan orang banyak. Sana pergi!" Bima terlihat kesal. Sedang Queen tak ingin lebih lama ada disana. Ia tak mau berdebat kala itu, ia langsung keluar dari toilet dengan menunduk dan langsung menuju mobil yang sudah disiapkan untuk mengantarnya pulang. Sementara, semua orang yang berada di pesta itu berbisik seraya melihatnya menghilang di balik pintu. Selama perjalanan menuju rumah, air matanya terus menetes. Ia merasa ternoda dan malu. Ia merasa ditelanjangi dan bagian tubuhnya dilihat banyak orang.
Ada yang tersenyum puas akan kejadian tadi. Tentu saja Sri tidak melewatkan momen itu dan merekamnya dari salah satu sudut ruangan. Saat melihat Queen yang pulang dengan malu, dua wanita yang bersekongkol itu saling tertawa sambil berbisik di halaman depan kantor. "Rencana kita berhasil. Kamu lihat kan, betapa malunya dia. Tak bisa mengangkat kepalanya saat bergegas pulang, hahaha...," kekeh Sri.
"Aku gak mau melihat dia disini lama-lama. Seolah hanya dia, wanita paling cantik disini. Cuih...," Susan puas akan dramanya tadi hingga membuat Queen pergi dari pesta tersebut.
Hari berganti malam, Bima pulang dengan keadaan mabuk. Ia lalu menuju kamar utama dan tidak mendapati Queen. "Ah iya, dia dikamar tamu sekarang," ia pun bergegas menuju kamar Queen dengan berjalan sempoyongan. Namun, saat ingin membuka pintu, ternyata terkunci. Dia menggedor, "Queen, buka pintunya!"
Queen yang saat itu sedang terlelap karena lelah menangis terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia bergegas membuka kuncinya tanpa berfikir panjang. Bima langsung mendorongnya ke arah tempat tidur. Queen berusaha mengelak dan menolak, "Bang, kamu mabuk. Aku mohon, jangan kayak gini. Aku gak mau!" jerit Queen sambil terus menahan suaminya yang mabuk.
"Kamu itu istriku. Aku bebas berbuat apapun. Sudah lama aku tak menjamahmu. Layani aku!" titah Bima sambil menciumi tubuh istrinya yang sudah jijik untuk dijamah suaminya sendiri.
Queen tentu kalah tenaga, apalagi ia betubuh mungil. Menghadapi suami yang bertubuh atletis, tentu ia kalah secara fisik dan tenaga. Tubuhnya terdorong kasar keatas ranjang dan Bima sudah berada diatasnya, terus memaksakan nafsunya. Queen meronta, memohon agar suaminya berhenti.
Dalam hati ia berdo'a, "Ya Allah, bantu aku. Lepaskanlah aku dari suamiku yang dzolim."
Tak lama, seorang wanita berteriak kearah mereka berdua, "Abang, kamu tega ya. Kamu bilang, hanya aku yang kamu inginkan sekarang. Kenapa kamu masih mencarinya? Aku kecewa!"
Bima, kala itu langsung berpaling dari Queen dan melihat kearah wanita itu. Dimatanya, Susan kini tentu lebih menggairahkan. Efek dari bulu perindu yang diberikan Sri sebagai pelet agar Bima menjadi tergila-gila pada sekretarisnya itu.
Pria tampan itu bagai tersihir, langsung mengejar Susan dengan sempoyongan, "Sayang..., tunggu!" Bima berusaha mengejar wanita idamannya sekarang.
Sedangkan Queen, masih menangis tersedu-sedu diatas ranjang sambil memeluk bantal. Perasaannya campur aduk. Ia lega telah terhindar dari nafsu sang suami, walau itu artinya, melihat Bima bersama Susan. Ia enggan memikirkan apa yang kini mereka lakukan berdua di kamar tidur utama. Tak lama, ponselnya berdering. Queen bangkit dari tempat tidur dengan lunglai untuk mengambil ponsel didalam tasnya. "Halo..., Unin...," bibirnya tak mampu mengatakan apa yang ingin ia ucapkan. Ia hanya menangis.
Unin tentu tahu apa yang Queen rasakan dan alami. Ia melihat semuanya melalui kamera pengintai yang ditempatkan di dalam tas Queen. itu mengapa, ia tahu bahwa sekarang adalah saat yang aman untuk menelefon sepupunya itu. "Ya Allah, Queen. Kamu gak apa, kan? Aku lihat semuanya dari sini. Besok, aku jemput kamu ya?"
"Apa kamu yakin? Apa mungkin, Bima bakalan lepasin aku dan bolehin aku keluar dari sini?" jawab Queen yang masih bergetar seluruh tubuhnya akibat syok. Ia berusaha menenangkan dirinya agar bisa menghadapi orang-orang yang kini menyakitinya.
"Tenang aja. Apapun yang bakalan terjadi nanti, kamu harus ikut aku pulang ke Bandung. Aku gak bisa biarin kamu berada di situasi bahaya dan toxic kayak gitu."
"Unin..., makasih ya, udah mau berjuang buatku. Tapi, menghadapi Bima, kan, gak mudah dan berbahaya. Aku takut kamu kenapa-napa nanti." ucap Queen cemas.
"Aku gakkan sendiri kok kesana. Aku juga bakalan mikirin gimana caranya ngadepin orang kayak Bima. Udah, kamu tenangin diri dulu. Usahain menghindar dari mereka." Unin brrusaha menenangkan sepupunya. Ia juga memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk penjemputan Queen nanti. Ia tahu, gak mudah untuk bawa Queen kembali kerumahnya. Tapi, ia akan lakukan apapun untuk menolong satu-satunya saudara yang ia miliki sekarang. Ia pun menutup telefonnya dan menghubungi seseorang. "Halo..., aku boleh minta tolong?"
"Ya, kenapa Nin? Serius banget kayaknya," suara Devan yang maskulin terdengar serius menjawab pertanyaan Unin.
"Kamu tau kan, sepupu aku, Queen. Kemarin, dia bisa tinggal sama aku karena dia kabur dari rumahnya. Suaminya itu maniak dan kasar. Dia juga seorang pengacara yang licik. Kemarin, Queen mau gak mau harus pulang ke Jakarta dibawah ancaman. Tapi, aku bekalin dia kamera pengintai, Van. Dia selama ini abusive banget baik ferbal atau main fisik. Dia sekarang ada affair sama sekretarisnya dan terang-terangan di depan Queen. Semalam, Queen dipaksa menuhin nafsu bejad suaminya yang lagi mabuk. Tapi, selingkuhannya datang dan akhirnya dia ngejar tuh perempuan. Queen aman, tapi aku mau jemput dia. Aku bakalan ancam suaminya yang bernama Bima itu buat lepasin Queen atau skandal dia aku sebarluas di sosial media. Soalmya dia pangacara cukup terkenal apalagi dikalangan artis dan politikus. Aku gak mungkin jemput Queen sendirian dan entah kenapa, aku beraniin diri buat minta tolong sama kamu. Aku cuman sahabatan sama Lola. Gak mungkin kan, aku kesana bareng Lola tanpa ada lelaki yang bisa bela atau lindungi aku dan Queen. Kamu bisa, kan, bantu aku?"
Hening sesaat, Devan berfikir dulu sejenak. Keputusan yang akan diambil besar resikonya dan ini bukan perkara mudah. Namun Devan merasa harus membantu Unin dan Queen. "Besok pagi aku jemput kerumah ya. Kamu jangan khawatir, aku bakalan bantu kalian,"
Lega rasanya hati Unin mendengar jawaban Devan. "Makasih banyak ya, Van. Maaf kalau harus nyeret kamu kedalam masalah ini. Aku gak tau lagi harus minta tolong ke siapa. Sedangkan aku juga yatim piatu dan udah pisah dengan saudara. Bisa dibilang, aku sebatang kara. Aku cuman punya Lola yang udah kayak saudara sendiri."
Tanpa sadar, Unin membuka diri dan bercerita akan hidupnya pada Devan. Lelaki yang memang sedang menaruh hati pada gadis cantik itupun merasa semakin menyukainya. Dia merasa jadi lelaki yang dibutuhkan Unin. Sahabat Lola itu sedikit demi sedikit membuka hatinya. Akhirnya, mereka berbincang satu jam lamanya sampai akhirnya mereka sepakat menyudahi percakapan. "Ya udah, kamu istirahat ya. Besok, jam 7 pagi aku jemput."
"Makasih ya, Van. Aku bisa lebih lega sekarang. Semoga besok, kita bisa bawa Queen balik lagi kesini. Good night,"
"Good night."