Queen tak menyangka, seberani itu sang sekretaris suaminya menampakkan diri. Meski pernikahannya semu, tapi hati mana yang tak terluka melihat pemandangan seperti itu. Namun Queen berusaha mengendalikan diri. Ia tak ingin lagi menjadi seorang istri yang terlihat merana dan bisa diperlakukan seenaknya. Dia hanya membalas sapaan Susan, "Terima kasih masih menganggapku sebagai Nyonya Bima. Itu berarti, kau tau posisimu masih dibawahku. Benar, kan?" senyum sinis tersungging di bibir tipisnya.
Sontak, Susan merasa diremehkan. Ia tak menyangka, tawanan pernikahan yang selama ini lemah kini mengeluarkan taringnya. "Statusmu sebagai Nyonya hanya semu, Sayang. Kini, Bang Bima lebih memilihku. Hanya tunggu waktu saat nanti aku menjadi Nyonya sebenarnya dirumah ini. Iya kan, Abang Sayang?!" Susan menggelendot manja pada Bima yang duduk di sampingnya.
"Tenang. Kamu jangan khawatir, ya. Apa sih pentingnya status? Cuman kamu wanita yang kucintai sekarang," Bima menjawil mesra dagu Susan.
Jijik. Itu yang dirasakan Queen melihat kemesraan mereka, tapi ia juga merasa lega. Dengan begitu, ia tahu kalau Bima takkan lagi menyentuhnya. Ia tak lagi harus menjadi budak sex sang maniak. Ia hanya harus mencari bukti atau alasan kuat agar terlepas dari Bima. "Sepertinya kalian butuh waktu untuk bermesraan. Dikamar mana aku bisa tidur? Tidak mungkin 'kan, kamar utama jadi kamarku lagi,"
Ada rasa amarah dalam diri Bima. Egonya terluka, harga dirinya seperti diinjak-injak, melihat sang istri kini tak lagi takut padanya. Budak yang selama ini bisa ia perlakukan sesuka hati sudah tak ada lagi dalam diri Queen. "Kamu berani sekali sekarang. Sepupumu itu sehebat apa, bisa membuatmu tak takut lagi padaku?"
Pertanyaan itu terasa bagai ancaman bagi Queen. Dia takut, Unin akan berada dalam bahaya. Ia tahu suaminya bisa melakukan hal mengerikan tanpa tersentuh hukum. "Aku yang sekarang, tidak ada hubungannya dengan Unin. Saat kuputuskan kabur dari neraka ini, aku sudah meyakinkan diriku kalau kamu tidak bisa lagi memperlakukanku seenaknya. Hanya saja, aku ingin ikuti maumu kali ini. Ancamanmu sekarang sudah melibatkan ibuku. Itu kenapa, aku masih mau datang hari ini."
Bima sedang tak ingin berdebat. Ia memanggil asisten rumah tangga untuk mengantar Queen ke kamar tamu yang sudah disiapkan. Persis di sebelah ruang kerja Bima. Queen langsung mengirim pesan pada Unin. [Nin, aku sudah sampai. Aku akan share lokasi agar kamu dapat dengan mudah kemari jika terjadi apa-apa. Aku masih baik-baik saja. Jika besok tidak ada kabar dariku, itu berarti ponselku sudah disitanya.]
Pesan singkat itu hanya bersifat satu arah. Mereka sebelumnya sudah sepakat, Unin tidak akan membalas pesan apapun. Itu akan lebih aman untuk Unin, juga tidak akan memberikan ruang bagi Bima untuk dijadikan alasan manipulatifnya kelak. Ia menaruh tas yang sudah dipasang kamera di tempat yang bisa memperlihatkan kondisi kamarnya. Lalu ia masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaiannya dan mengeluarkan kamera mini lainnya untuk ia simpan di ruang kerja Bima nanti. Ia hanya membawa tas tangan dari Unin karena semua pakaian dan keperluan pribadinya ada disini. Bahkan sudah dipindahkan ke kamar tamu yang kini ia tempati. Untuk pertama kalinya, ia bisa merasa lega di rumah yang menjadi saksi bisu kepedihannya. Ia tahu, kini ia lebih aman dan berusaha untuk kuat. Ia hanya ingin beristirahat sejenak karena penat diperjalanan tadi. Ia pun terlelap.
Sedangkan Unin, sedang membaca pesan dari Queen saat itu dan mulai memantau Queen dari jauh. Ia pun sama terkejutnya saat melihat Susan keluar dari kamar itu. Sempat ia mengumpat, "Sialan Si Bima. Ya Allah, beratnya cobaan Queen selama ini. Berikanlah kekuatan dan kesabaran. Bantu kami melawan manusia bejad ini, ya Allah."
Hari berganti, Queen sedang bersiap untuk pesta pembukaan kantor hukum milik Bima dan koleganya. Semua keperluannya sudah disiapkan, seperti pakaian serta perhiasan untuk dikenakan agar Queen kembali menjadi istri pajangan Bima. Dia harus membingkai senyuman untuk semua tamu yang akan hadir nanti, seperti acara-acara yang sebelumnya ia hadiri bersama Bima.
Pintu kamar dibuka, "Aku pergi sekarang, satu jam lagi kamu harus sudah siap! Nanti Genta akan menjemputmu. Ingat, jangan buat keributan atau drama apapun!" Tanpa menunggu jawaban dari Queen, Bima kembali menghilang dari balik pintu.
Queen menghela nafas karena sempat terkejut. Ia mengambil kesempatan itu untuk masuk ke ruang kerja Bima. Ruangan yang tidak terlalu besar dengan dua rak buku di bagian kanan meja kerja Bima. Di sebelah kiri ada satu lemari besi berisi berkas-berkas kasus dan beberapa pajangan karya seni. Meja kerjanya sendiri menghadap sejajar dengan pintu. Lalu ada satu set sofa di area tengah yang selalu dipergunakan Bima untuk menyambut tamu atau berbincang. Ia mulai mencari celah untuk menaruh kamera kecil itu. Ia mencoba menaruh di berbagai sudut atau barang yang ada disana sampai akhirnya dia menemukan tempat aman untuk menaruhnya. Queen menaruh di salah satu kaki meja kerja Bima dengan posisi menghadap pintu. Lalu, ia bergegas kembali kedalam kamar untuk bersiap sebelum ajudan Bima menjemputnya. Jantungnya berdegup kencang kala itu, tapi ia lega sudah berhasil menaruh kamera pengintai itu. Kini, ia hanya harus mengikuti permainan Bima.
Tepat satu jam kemudian, Genta menjemput wanita yang kini kembali memainkan perannya sebagai istri Bima. Sedan mewah telah keluar dari rumah elite itu untuk meluncur ke tempat pesta yang sudah mulai banyak kedatangan tamu. Di salah satu bangunan yang nantinya akan menjadi salah satu kantor hukum di Jakarta, Queen mulai turun dari mobil. Ia mulai melangkah masuk dengan senyuman diwajahnya. "Hai Nyonya Bima, bagaimana kabarmu?" sapa Juna, salah satu pengacara yang bekerja dengan Bima. Bisa dibilang, Juna adalah orang yang tahu sifat Bima. Sebenarnya ia kasihan pada Queen, tapi ia tidak mau berurusan dengan Bima apalagi sampai kehilangan penghasilannya. Parasit itu lebih memilih uang dibanding rasa kemanusiaannya.
"Tidak pernah sebaik ini, Bang Juna." senyum manis kembali diberikan Queen.
Juna terkejut mendengar jawaban Queen. Dia pun memperhatikan raut wajah Queen yang nampak berubah dari sebelumnya. Ia bisa melihat, tidak ada lagi ekpresi tertekan atau ketakutan seperti biasanya. Dulu, Queen hanya akan banyak tersenyum dan mengangguk. Sisanya, ia akan duduk diam dan mengiyakan apa yang dikatakan orang disekitarnya. Sekarang, Queen terlihat lebih berani dan percaya diri.
Belum sempat Juna berbincang, Bima datang dan menyuruh Queen untuk menemui ayahnya. "Queen, kenalkan, ini Pak Johanes. Salah satu pengusaha sukses di Jakarta." Sang mertua yang hampir seluruh rambutnya memutih itu mengenalkan pria yang seumuran dengannya. Namun, Surya bisa dibilang masih menarik diusia senja. Dia sangat menjaga kebugaran tubuhnya dan selalu berpakaian rapi dan berkelas. Queen pun menjulurkan tangannya. Tak disangka, Johanes mengecup tangannya dengan senyum genit. Walau merasa jijik, tapi Queen tetap tersenyum. Mereka pun berbincang sampai akhirnya, Queen ditinggal hanya berdua dengan pria gemuk yang dikenalkan Surya tadi di salah satu sudut ruangan.
"Kamu cantik sekali. Mirip penyanyi favoritku, Yuni Shara. Kapan waktu, kita karaoke, ya. Mau?" ujar Johanes dengan nada merayu. Dia memang suka main perempuan. Yah, sama seperti Surya dan Bima. Itu mengapa, mereka berteman karena lingkungan dan kesukaan yang sama.
"Maaf, Pak Johanes, saya gak suka karaoke," tolak Queen dengan lembut. Dia ingin sekali menghilang dari situasi ini. Tapi, hal seperti ini memang biasa terjadi.
"Kalau gitu, apa kesukaan Queen? Nanti saya siapkan spesial buatmu, Dek." Lagi-lagi Johanes merayu istri dan menantu koleganya tanpa malu-malu.
"Saya lebih banyak diam dirumah, Pak. Mungkin, Bang Bima yang lebih senang diajak oleh Bapak. Terima kasih tawaran dan perhatian Pak Johanes. Saya permisi dulu, mau ke toilet." Tanpa menunggu jawaban dari perayu tua itu, Queen menjauh pergi.
Belum sampai ke toilet, Sri dan Susan terlihat di depan pintu yang tadinya akan dia pakai untuk melarikan diri dari Johanes. Bagai keluar kandang Buaya, masuk mulut Singa, Queen tak bisa memutar arah untuk menghindar. Ia tetap melangkah menuju kedua wanita itu.
Saat ingin masuk ke toilet, Sri menarik lengan Queen, "Jangan merasa hebat kamu, ya. Aku akan bikin kamu malu hari ini," setengah berbisik, ia mengancam ditelinga Queen lalu Sri menghempaskan lengannya dengan kasar dan berlalu pergi berasama Susan. Queen hanya bisa mengelus lengannya yang diremas Sri tadi. Dia hanya bisa menghela nafasnya. Dia masuk ke toilet dan berbisik dalm hati, "Sepertinya, hari ini akan terasa lama. Apa yang akan terjadi nanti? Aku harus menyiapkan diri. Bantu aku kuat ya, Allah."