Setelah mendengarkan perkataan Queen, Ibu Rasmi berusaha bangkit dan duduk dibantu Ajeng. Hening sesaat hingga akhirnya ia berkata, "Mamah ingin tau apa yang dirasakan Rara saat ini. Mamah juga ingin meminta maaf sama Neng Ajeng kalau Rara berbuat tidak baik. Mohon dengan sangat sama Neng buat bantu Rara. Entah sakit ini adalah karena ulahnya sendiri yang Mamah juga gak nyangka Rara bisa berbuat seperti itu. Mamah harap sakitnya bisa menghapus dosanya sedikit demi sedikit. Mamah cuman mau, kalaupun Rara harus pergi, dia pergi dengan tenang. Mamah sudah ikhlas," bulir air mata kembali membasahi pipi keriput sang ibu yang sudah tak muda lagi. Ibu Rasmi hanya ingin anak kesayangannya tak merasakan kesakitan lagi. Kondisi Rara saat ini bagai mayat hidup. Hari-hari mereka berdua sudah tak seperti dulu lagi. Sudah tak ada canda tawa dan kehangatan yang dirasakan dirumah itu. Hampir setiap malam ia menangis dalam sujudnya. Entah kenapa, terkadang ia tahu ada sesuatu yang memberatkan Rara. Ada hal yang membuat anak kesayangannya tidak tenang. Akhirnya, malam ini do'anya terjawab sudah. Itu mengapa, meskipun perkataan Queen diluar nalarnya, ia percaya.
Unin membantu menopang tubuh Ibu Rasmi yang masih lemah. Sedangkan Lola sedang mengusap punggung Ajeng untuk menenangkannya. Queen mulai mengatakan apa yang Rara ingin katakan kepada sang ibu juga Ajeng. "Mah, maaf kalau Rara udah bikin Mamah kecewa. Mamah adalah ibu hebat buat Rara. Gak pernah lelah buat ngasih yang terbaik buat hidup Rara. Rara malah belum bisa balas kasih sayang dan pengorbanan Mamah selama ini. Ampun Mah, Rara mohon ampun, Rara sayabg Mamah."
Semakin deras air mata Ibu Rasmi mendengar permintaan maaf Rara. "Rara..., kanyaah Mamah. Mamah mah ngerasa bangga sama Rara. Anak Mamah yang pantang menyerah, selalu ingin belajar banyak hal. Gak pernah bikin ulah dan selalu jadi anak kuat. Waktu Papah meninggal, kamu jadi penyemangat Mamah buat hidup. Mamah gak mengharapkan apa-apa dari Rara selain Rara bisa hidup bahagia. Mamah gak mau lihat Rara kesakitan lagi, Nak. Mamah berdo'a, Allah kasih yang terbaik buat kita. Rara harus ikhlas dengan semuanya ya, Nak. Mamah sayang Rara," kecupan hangat diberikan Ibu Rasmi dikening sang anak yang kini terlihat meneteskan air mata. Rara hanya bisa mengedipkan kelopak matanya dan jatuhlah air mata yang mewakili perasaannya saat ini. Dalam dirinya, ia sangat ingin bersimpuh dan memeluk sang mama. Apa daya, ia tidak dapat menggerakan tubuhnya selain matanya. Namun, ia sedikit lega karena bisa mengutarakan apa yang ingin ia katakan melalui Queen. Disitu ia merasa Allah Maha Baik dan Pemurah. Ia sangat menyesal pernah bersekutu dengan setan karena mendatangi dukun. Taubatnya mungkin sudah terlambat, namun ia hanya berusaha memohon ampun kepada semuanya atas apa yang ia lakukan.
"Buat Ajeng, aku tau udah jahat banget sama kamu hanya karena aku gak mau kehilangan sahabat aku. Aku terlalu naif dan gak berfikir jernih. Mudah-mudahan kamu mau maafin aku," Queen kembali mengutarakan isi hati Rara sambil menatap Ajeng yang sedari tadi tidak melepaskan genggamannya pada tangan Rara.
"Ra, aku gak ada dendam sedikitpun. Aku juga minta maaf gak tau kondisi kamu kayak gini. Seharusnya, sebagai sahabat, aku bisa nemenin kamu saat suka ataupun duka. Sembuh ya, aku pengen kita kayak dulu lagi. Jalan bareng, belajar bareng. Kamu sahabat terbaik aku semasa kuliah. Kamu gak usah mikir apa-apa lagi. Tenangin hati dan pikiran kamu biar bisa sembuh." Ajeng benar-benar tidak merasakan dendam karena Rara pernah melakukan hal tak baik padanya. Ia hanya ingin sahabatnya bisa membaik. Masih teringat masa kuliah dulu, Rara yang selalu ada untuknya. Ia menyesali, kenapa ia melupakan Rara saat fokus membangun usaha miliknya.
Rara yang selama ini hanya bisa mengedipkan mata, entah keajaiban apa yang terjadi, ia tersenyum. Sontak, Ajeng dan Ibu Rasmi dan semua yang ada saat itu merasakan keharuan dan menyebut 'Allahu Akbar'. Ibu Rasmi langsung memeluk anak semata wayangnya dan merasakan tarikan nafas Rara yang semakin berat. "Ra..., kalau Rara mau pergi, Mamah ikhlas, Sayang." Ibu Rasmi berusaha kuat dan mengikhlaskan Rara.
Semuanya memandu Rara untuk mengucapkan "Lailahailallah". Di bibirnya, Rara seperti berusaha mengucapkan lafadznya sampai akhirnya, nafasnya berhenti. Tangis Ajeng dan Ibu Rasmi pecah seketika. Semua mengucap "Innalillahi wainnaillaihi rajiuun".
Lola, Unin dan Queen merasakan kesedihan yang sama. Namun mereka berusaha menguatkan hati Ajeng dan Ibu Rasmi. Malam itu juga, mereka membantu kebutuhan pemakaman Rara. Menghubungi ketua RT setempat dan menginformasikan kematian Rara kepada keluarga dan warga juga teman-teman yang mengenal Rara.
Keesokan harinya, setelah selesai pemakaman Rara, mereka pamit pada Ibu Rasmi dan kembali menuju rumah Unin.
"Mah, Ajeng pamit dulu ya. Nanti, Ajeng main kesini lagi. Mamah jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, telefon Ajeng. Ajeng gakkan lupa buat do'ain Rara biar dia tenang disana," ujar Ajeng sambil memengang tangan Ibu Rasmi.
"Iya. Makasih ya Neng, udah mau maafin Rara. Buat semuanya, makasih udah nemenin mamah dan bantu Rara buat pergi dengan tenang. Mamah gak bisa balas kebaikan kalian."
"Kita sudah ditakdirkn bertemu,Bu. Semua udah jalan Allah. Kami pamit ya, Bu." Queen berpamitan dan menyalami Ibu Rasmi diikuti yang lainnya.
Diperjalanan, Ajeng bertanya, "Queen, apa makhluk yang ada di tubuhku masih ada?"
"Tenang, sudah ku musnahkan saat kemarin dia masuk tubuhku. Dukunnya pun sebenarnya sudah tidak mengurusnya karena sudah tak ada imbalan lagi. Makhluk kiriman seperti mereka hanya digunakan layaknya budak. Tuan mereka bebas melakukan apa saja. Terkadang mereka juga terjebak dengan kondisinya. Mereka takut untuk kembali pada Tuannya jika misinya gagal. Sama saja, mereka juga bisa dimusnahkan. Jadi, kamu gak usah khawatir. Yang terpenting, hati kamu gak dendam dan tenang. Jangan lupa kirim do'a buat Rara," jelas Queen.
"Alhamdulillah. Aku pasti do'akan Rara. Aku sekarang hidup sendiri saat Papa nikah lagi. Cuma Rara yang selalu bikin aku ngerasa hidup aku gak boleh sia-sia. Dia yang selama ini nguatin aku. Makasih ya Queen, Unin dan Lola. Aku gak tau, kalau kita gak ketemu, aku pasti menyesal gak ada disamping Rara sebelum dia pergi."
"Semua dah ada jalannya, Jeng. Kamu kalau butuh temen, kabarin aja aku. Kita ini entah bagaimana, kayak terkoneksi. Anak-anak tunggal yang harus saling menguatkan. Jangan pernah ngerasa sendiri!" Lola memeluk Ajeng yang duduk disampingnya.
Setelah sampai dirumah Unin, Ajeng dan Lola langsung berpamitan untuk pulang. Tak lama, ponsel Unin berdering, "Hallo..., dengan siapa?"
"Ini Bima, saya mau bicara dengan Queen."
Apa lagi yang akan dihadapi Queen kali ini?