"Queen, kok aku daritadi muter-muter terus. Jalanan banyak ditutup, gak tau ada apaan. Aku dah sama Ajeng nih," suara Lola terdengar bingung campur cemas saat menelefon Queen. Dia dan Ajeng sudah berputar-putar selama satu jam lebih. Padahal dari tempat Ajeng ke rumah Unin hanya butuh waktu setengah jam saja.
"Hhhmmm..., kamu istighfar ya. Aku bantu dari sini. Kayaknya, apa yang dalam tubuh Ajeng berusaha buat nahan kalian gak ketemu aku." Queen berusaha membantu agar mereka tidak disesatkan secara ghaib. Tak begitu lama, akhirnya Lola dan Ajeng pun sampai dirumah Unin.
Saat Ajeng masuk kedalam rumah, Unin kembali merasakan pusing yang teramat hebat. "Duh, kepalaku sakit banget. Kenapa bisa gini, ya?"
Queen kembali membantu membersihkan energi negatif yang menempel di tubuh Unin. "Nin, kayaknya kamu mulai sensitif sama hal-hal ghaib ini."
"Hah..., masa?" Unin merasa siap tak siap jika harus mempunyai 'kelebihan' seperti Queen. Dia sempat merasakan tubuhnya merinding memikirkan bahwa dia akan bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata.
"Gak banyak orang yang diberi amanah ini. Lagipula, kita gunakan buat bantu orang sehat. Bissmillah aja," Queen berusaha menenangkan sepupunya. Lola dan Ajeng sedari tadi hanya mendengarkan percakapan mereka berdua.
"Iya sih. Kalau nanti aku harus dikasih 'kelebihan' ini, aku harus siap. Lagipula, aku kan gak minta atau mencari ilmu buat dapetinnya. Mudah-mudahan jadi jalan buat orang yang emang ngebutuhin bantuan kita." Unin berusaha memantapkan hatinya jika memang jalan seperti itu yang harus dijalani.
Akhirnya Ajeng mulai bertanya, "Queen, kemarin kamu bilang ada yang kirim sihir buatku. Apa aku bisa tau orangnya? Kenapa dia tega jahatin aku?" Ajeng tak habis pikir, siapa orang yang tega berbuat seperti itu padanya. Selama ini, dia tidak pernah bertengkar dengan siapapun. Ajeng adalah seorang yang tidak terlalu banyak bergaul. Lebih senang menghabiskan waktunya dirumah sambil menjalankan usahanya secara online. Pemilik 'Uniqe Jewerly' ini menjual perhiasan perak sesuai pesanan pembelinya. Jadi tidak akan ada kesamaan setiap produk yang dijualnya.
"Aku lebih baik gak kasih tau kamu siapa orangnya walau aku tau. Jatuhnya akan fitnah. Nanti juga kamu akan bisa nebak. Tapi, baiknya kamu ikhlaskan apa yang terjadi sama kamu selama ini. Gak baik menyimpan dendam. Itu akan merugikan diri kamu sendiri. Lebih bagus kalau kamu fokus sama apa yang akan jadi masa depan kamu. Gimana?" Queen meyakinkan Ajeng sambil tersenyum tipis. Menenangkan semua katakutan dan ketegangan yang terjadi pada teman Lola itu.
Ajeng yang bergaya etnik dengan rambut sebahu yang dililit dengan kain tenun dari Lombok itu hanya mengangguk mendengar ucapan Queen. Unin kembali merasa pusing walau tak sesakit tadi. "Apa ada setan yang yang datang? Kepalaku pusing lagi," tanya Unin sambil menunduk memegangi kepalanya yang terasa pening.
Queen tak menjawab, hanya memejamkan mata. Kembali tubuhnya dimasuki jin kiriman dukun yang diperintahkan seseorang untuk membuat Ajeng merasakan sakit di kepalanya. Ajeng, Lola dan Unin yang duduk saling bersebelahan dan melingkar hanya fokus akan Queen. Perlahan, Queen menggeram dan tertawa seakan dia seorang lelaki bertubuh besar dan kuat. Unin mulai bertanya walau kepalanya masih terasa pusing, "Siapa kamu? Kenapa kamu ganggu Ajeng?"
"Rrrrusakkkk...," Jin yang masuk ke tubuh Queen seakan susah untuk berbicara.
"Apa yang mau kamu rusak? Ajeng? Kasih tahu sekarang atau saudaraku akan memusnahkanmu!" seru Unin dengan nada mengancam.
Namun, Queen menggeliat seakan tubuhnya terbakar, "Panaaas... Ampuuun... Jangan bakar aku...,"
"Ayok, jawab!" tegas Unin.
Queen pun menjawab dengan suara berbisik, "Aku harus membuat hilang ingatan. Jangan pikir, usaha rusak."
Kata-katanya memang tidak jelas, tapi mereka mengerti apa yang dimaksud oleh makhluk yang masih berada dalam tubuh Queen itu. Orang yang mengirim 'guna-guna' itu ingin usaha Ajeng hancur. Itu kenapa, Ajeng selalu dibuat sakit kepala hebat. Sampai terkadang dia harus menolak beberapa pesanan karena tidak dapat mengerjakan pesanan pelanggan.
Tak lama, Queen seolah berganti kepribadian. Dia mulai berbicara seolah menjadi orang lain dan berkata, "Aku tuh sebel sama kamu, Jeng. Kamu gak mau ikut yang aku mau,"
Ajeng sempat tertegun dan menelisik gaya bicara Queen. Sepertinya ia tahu, siapa yang sedang berbicara saat ini. "Rara? Ini beneran kamu? Kamu yang berbuat semuanya? Kenapa, Ra?"
"Ya, aku kesal. Kita belajar bikin aksesoris perak ini sama-sama, tapi kamu gak mau bikin usaha berdua sama aku. Taunya, kamu serakah, usahamu lebih bagus dibanding aku. Temen-temen kita juga lebih senang pesan sama kamu daripada aku. Kamu pasti jelek-jelekin aku ke mereka. Kamu juga berubah sama aku, gak kayak dulu lagi." Rara adalah teman kuliah Ajeng dulu. Mereka memang terbilang dekat sejak kuliah bersama. Ajeng tentu tidak menyangka kalau sahabatnya dulu tega melakukan hal semacam ini.
"Ya Allah Ra, aku gak mau bisnis bareng bukan pengen serakah. Aku takut kalau usaha ini rugi, kamu harus kena imbasnya. Kamu tau kan, bahan dan alatnya juga gak murah dan usaha ini hanya nerima sesuai pesanan aja. Aku gak mau kalau usaha ini juga bikin kita nanti jauh. Walau akhirnya, aku baru nyadar kalau kita dah gak sedekat dulu. Bahkan, kamu sekarang kayak ngehindar terus. Kenapa, Ra?"
Semua pertanyaan Ajeng belum terjawab namun Queen sudah tersadar. Ia mendekati Ajeng yang kini sedang menahan tangis dipelupuk matanya. "Jeng, baiknya kita kerumah Rara. Keadaannya lagi gak baik-baik aja. Dia emang pernah jahatin kamu, tapi alangkah baiknya kalau semua menjadi damai. Hidup kalian berdua juga bakalan lebih tenang. Gimana?"
Ajeng mengusap bulir air mata yang jatuh di pipinya, "Kenapa Rara? Sakit? Aku emang udah enam bulan ini gak ada komunikasi sama dia."
"Kita akan tau saatnya nanti bertemu. Ini kan baru mau masuk maghrib, abis isya kita kerumahnya, bisa? Langsung aja. Gak usah telefon dulu," ujar Queen. Semua yang ada dirumah itu bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Tapi mereka hanya mengikuti apa yang dikatakan Queen. Mereka melaksanakan shalat maghrib bersama, mengaji sampai waktu isya tiba. Setelahnya, mereka berangkat bersama menuju rumah Rara yang berada di daerah Suci.
Tak perlu waktu lama untuk sampai kerumah Rara. Rumah sederhana bercat abu berpagar putih itu nampak seperti tak berpenghuni. Lampu di teras luar pun berkedip-kedip seakan takkan bertahan lama bisa tetap menyala. Ajeng turun dari mobil diikuti yang lain dan mengetuk pintu. Tak lama, seorang wanita tua dengan wajah sayu dan tampak lelah membuka pintu dengan pelan dan terkejut melihat Ajeng, "Neng Ajeng..., kemana aja, Neng? Mamah kira Neng dah lupa sama Rara dan rumah ini. Neng mau jenguk Rara?" Tangis wanita tua itu pecah saat melihat Ajeng berada didepan pintunya. Dia tahu bahwa dulu Rara dan Ajeng terbilang dekat. Hampir setiap bulan, Ajeng biasanya menginap dirumah itu jika harus menyelesaikan tugas kuliah bersama Rara.
"Rara kenapa, Mah? Maaf kalau Ajeng dah lama gak kesini," Ajeng memeluk wanita yang sudah hampir semua rambutnya memutih. Wanita itu orang tua tunggal bagi Rara yang ditinggal mati oleh ayahnya saat berusia lima belas tahun. Namanya Ibu Rasmi, wanita yang sudah berjuang bagi kehidupan Rara. Ibu Rasmi memiliki kios sayuran di Pasar Suci, usaha itulah yang menghidupi ibu dan anak itu hingga kini. Ibu Rasmi memandu mereka berempat masuk ke ruang tengah dan mendapati kondisi Rara yang sudah tidak berdaya. Terbaring kaku di ranjang tipis yang disampingnya banyak perlengkapan untuk keperluan Rara.
Ajeng langsung memeluk Rara dan menangis tersedu, hatinya sakit melihat sahabatnya yang dulu sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. "Ya Allah Ra, kenapa bisa gini? Mah, Rara kenapa?"
"Lima bulan yang lalu, Rara pernah pingsan dan kejang. Mamah bawa Rara ke IGD Rumah Sakit Santo Yusuf. Setelah di periksa, ternyata ada benjolan di otak sebelah kanan yang ternyata kanker. Sejak saat itu, kondisi Rara terus menurun. Sampai akhirnya lumpuh total sudah tak bisa apa-apa. Mamah sudah berusaha semampu mamah, tapi dokter bilang, operasi pun percuma dengan kasus kanker yang dimiliki Rara. Kemo pun tidak berhasil." Ibu Rasmi menceritakan semuanya dengan menangis tersedu-sedu. Anak semata wayangnya mungkin harus ia relakan menyusul sang suami meninggalkannya didunia ini seorang diri. Entah, apa bisa ia ikhlas jika waktunya tiba, namun ia pun tak ingin anaknya menderita seperti kondisinya sekarang. Dia harus mengurus Rara dan berjualan tanpa kenal lelah sendirian. Sanak saudara sudah tak ada yang bisa diharapkan karena dulu mereka merantau dari Sulawesi ke Bandung.
"Ra..., ini Ajeng. Kamu masih bisa denger aku, kan?" Ajeng berusaha tersenyum walau hatinya sedih. Rara hanya bisa meneteskan air mata tanpa bisa mengucapkan sepatah kata sedikitpun.
Queen yang sedari tadi berada di belakang Ajeng mengelus punggungnya dengan pelan, "Jeng, dia bisa denger kamu. Aku bisa komunikasi melalui batinku. Dia meminta maaf. Dia menyesal pernah pergi ke dukun untuk 'ngerjain' kamu. Sebenernya, dia hanya ingin terus deket sama kamu. Kamu udah seperti saudara kandungnya yang dia gak punya selama ini. Itu kenapa setelah kalian lulus dan ingin membuka usaha, dia ingin kalian buka usaha bersama karena dia gak mau kehilangan kamu. Dia belum bisa datang ke dukun untuk memintanya menarik apa yang dia minta dulu. Itu kenapa, kamu masih diserang secara ghaib."
Ibu Rasmi terkejut mendengar perkataan Queen tentang Rara. Dukun? Mana mungkin anak kesayangannya melakukan hal menakutkan semacam itu. Seketika dadanya sesak. Serasa udara disekitarnya menghilang. Ia meremas dadanya dan merintih kesakitan. Semua yang berada disana sempat panik. Queen dengan sigap membaringkan tubuh Ibu Rasmi dan memandunya untuk mengatur nafas, "Ibu, tenang. Atur nafas ya. Satu, hirup..., dua, buang..., jangan panik!" tangan Queen pun memeriksa denyut nadi Ibu Rasmi dan menghitung seberapa cepat mereka berdenyut. Sampai akhirnya ia berkata, "Alhamdulillah, denyut sudah normal. Nafas sudah teratur. Dadanya udah gak sakit kan, Bu?"
"Iya, Neng. Maaf Mamah gak tau nama Neng. Tapi Mamah kaget, kenapa Neng bisa bilang kalau Rara main dukun?" tanya Ibu Rasmi dengan lirih.
"Saya Queen, Bu. Maaf kalau kami belum memperkenalkan diri sebelumnya. Kami teman Lola yang kebetulan adalah teman Ajeng. Saya juga bisa melihat hal-hal yang ghaib dan makhluk tak kasat mata. Tadi pagi, secara kebetulan kami bertemu Ajeng dan saya melihat ada sosok yang menempel ditubuh Ajeng. Sore tadi Ajeng dan Lola kerumah dan saya coba bantu melepaskan Ajeng dari sihir yang dikirim dukun. Masuklah ruh Rara, Bu. Dia menceritakan apa yang terjadi. Makanya, saya meminta Ajeng untuk secepatnya kemari karena saya lihat secara mata batin, kondisi Rara sekarang. Mudah-mudahan jadi jalan mereka untuk saling memaafkan dan bisa membuat mereka berdua juga menjalani hidupnya jauh lebih tenang. Rara juga ingin menyampaikan perasaannya selama ini. Insya Allah saya bisa sampaikan apa yang tidak bisa Rara ucapkan saat ini." Queen berharap sang ibu bisa menerima penjelasannya yang mungkin bagi sebagian orang adalah hal penuh tipu atau tidak nyata. Tapi, apapun penerimaan Ibu Rasmi, Queen akan terima. Ia hanya berusaha untuk menolong mereka mendapatkan ketenangan hati untuk meneruskan hidupnya nanti.
Apakah Ibu Rasmi bisa percaya dan menerima penjelasan Queen?