Queen baru membuka matanya saat Unin baru saja selesai shalat subuh. "Duh, untung aku gak kesiangan subuh. Kamu kenapa gak bangunin aku?" tanya Queen sambil menguap dan beranjak dari tempat tidur.
"Aku lihat kamu kayaknya pules banget, aku gak mau ganggu. Capek ya gegara semalam?" Unin melipat mukenanya lalu menuju meja rias untuk bersiap bekerja.
"Saat kita bersinggungan sama 'mereka', energi kita terkuras juga. Makanya aku biasanya langsung lapar dan tidur lebih pules," jelas Queen.
"Enak dong, gak harus pake obat tidur, hahaha...," goda Unin sembari memakai parfum sampai akhirnya, PRANG..! Botol parfume-nya pecah saat ia ingin menaruhnya kembali. Mereka berdua terkejut, "Kamu gak apa?" tanya Queen sambil jinjit menghampiri Unin. Ia mulai memunguti pecahan botol parfume disekitar Unin.
"Gak apa. Selip aja tadi kayaknya, udah biar aku beresin," belum selesai Unin bicara, "AW..., aduh!" Jari Queen berdarah terkena pecahan kaca. Unin langsung membuka laci meja riasnya dan mengeluarkan plester untuk membalut luka dijari Queen. "Tuh, kan, aku dah bilang tadi, biar aja aku yang beresin," ucap Unin sambil membalut luka Queen lalu melanjutkan membersihkan pecahan parfume tadi.
Entah kenapa, hati Queen resah. Seperti ada kejadian besar yang akan terjadi. "Aku minta plester lagi ya, soalnya mau wudhu." Unin pun memberikan plester untuk Queen dan melanjutkan memoles wajahnya yang cantik. Tidak menor, riasan sederhana terkesan natural saja sudah mempercantik wajah Unin yang memang sudah cantik. Ia lalu menuju lemari untuk memilih pakaian sedangkan Queen sedang khusyuk berdo'a selepas shalat.
Dalam do'a Queen berbisik, "Ya Allah, kuatkan ragaku, ikhlaskan batinku. Jalan hidup dan matiku, kupasrahkan kepadaMu. Jika 'kelebihan' ini bisa bermanfaat untuk orang lain, Insya Allah aku rela. Hanya kepadaMu aku berlindung, hanya kepadaMu aku meminta rahmat dan kasih. Tiada daya upaya tanpa ridhoMu. Aku mohon, lapangkan kubur ayahku, jauhkanlah dari siksa kubur dan pertemukan kami nanti di surgaMu. Aamiin." Tak terasa air mata menetes. Sosok ayahnya memang baik. Walau Queen hanya merasakan kasih sayang ayahnya hingga umur 15 tahun, dia sangat dimanjakan. Anak semata wayang juragan kontrakan, apapun yang Queen mau selalu diberikan ayahnya. Ia sangat terpukul saat ditinggalkan. Apalagi sang ibu yang bernama Sundari seorang gila harta. Queen tidak diperbolehkan berteman atau dekat dengan orang-orang yang biasa saja. Sedang Queen sendiri adalah pribadi yang sederhana dan tidak materialistis walau selalu dimanjakan, persis seperti sang ayah.
"Ikut aku kerja, yuk! Aku cuma mau sebar flyer di mall. Lagi ada pameran property soalnya. Kamu bisa santai di cafe atau belanja, daripada dirumah terus," ajak Unin.
Queen yang baru saja selesai melipat mukena dan sajadah mengangguk, "Aku mau jual gelang yang ku pakai ini buat biaya hidup. Masa semua dari kamu terus. Aku belum tau mau cari kerja apa?"
"Aku udah bilang 'kan, kalau kamu gak usah khawatir. Aku masih bisa jamin kehidupan kamu. Nanti pegang Credit Card punyaku. Kita ini saudara, masa aku perhitungan. Lagian, kamu belum nyebelin, jadi aku masih mau kamu disini,hahaha...," Unin mencubit pipi sepupunya gemas. Mereka pun tertawa.
Hari mulai cerah. Suasana pagi yang hiruk pikuk mulai menggeliat. Dua saudara itu sedang menikmati sarapan mereka di salah satu kedai pinggir jalan. Masih terlalu pagi untuk datang ke Mall, jadi mereka menikmati pagi mereka dengan santai dan tidak terburu-buru.
Ponsel Unin bergetar diatas meja. Sebuah pesan masuk dari Devan, [Pagi, Nin. Kamu hari ini ke mall, kan? Nanti aku mampir, ada yang mau aku kasih.] Unin tersenyum membaca pesan itu.
"Devan, ya?" tebak Queen yang melihat sepupunya tersenyum sembari melihat ponselnya.
"Kok bisa tahu sih? Beneran deh, kayaknya gakkan bisa boong sama kamu kalau dah gini." Unin pun membalas pesannya, [Wah, ngasih apa? Bikin deg-deg ser aja. Mampir aja, nanti aku kenalin sama sepupuku juga.]
"Gak susah buat nebak. Kamu kan, kemarin habis diajak jalan sama dia. Mukamu itu cerah ceria karena kasmaran." Queen mencuil dagu sepupunya dengan gemas.
Unin tersipu malu. Sejelas itukah wajahnya memperlihatkan perasaannya kepada Devan. Mereka pun menyelesaikan sarapannya dan menuju Mall. Sesampainya, mereka bertemu Lola yang sedang menyiapkan pameran. Kala itu mall baru saja buka, masih sepi. Beberapa toko dan stand sedang melakukan persiapan awal.
"Queen, Nin, Kamila ngajak karaoke nanti malam. Mau gak?" ajak Lola.
"Aku sih ayok aja, biar Queen juga ada hiburan," belum selesai ia berkata, ada suara yang memanggilnya dikejauhan. "Unin...," reflek Unin menoleh ke arah suara yang memanggilnya. "Devan."
Devan berlari kecil menghampiri sambil menenteng bingkisan. "Nih, aku bawain kue buat kamu." Unin menerima bingkisannya seraya tersenyum.
"Jadi cuman Unin aja nih yang dikasih?" goda Lola.
"Duh, lupa. Bareng-bareng dulu makannya. Ntar aku kasih lagi. Jangan marah!" ujar Devan sambil menepuk keningnya.
Lola tertawa melihat Devan yang salah tingkah. "Eh iya, kenalin ini sepupuku Queenara." Unin memperkenalkan mereka. Mereka pun saling bersalaman.
"Van, nanti malem kita mau karaoke. Ikut, gak?" ajak Lola. Ia tahu kalau sahabatnya yang sedang kasmaran pasti senang kalau bisa jalan bareng lagi seperti kemarin.
"Boleh. Nanti aku ajak temanku, gak apa?" tanya Devan. Mana mungkin ia hanya sendirian diantara para wanita ini. Bisa kikuk nanti.
"Boleh, dong! Makin banyak makin seru." balas Lola.
""Ya udah kalau gitu. Aku pergi sekarang ya, mau ke kantor dulu." pamit Devan. Ia pun langsung pergi sembari melambaikan tangan dan tersenyum. Sedangkan Lola dan Queen langsung menatap Unin bersamaan. "Apa sih kalian? Ampe melotot liatin aku," ujar Unin yang sedari tadi senyumannya tak habis-habis melengkung tanda bahagia.
"Aku seneng liat kamu kayak gini. Aku seneng liat sahabatku bisa ikhlas lepasin Ali dan menyambut cinta baru. You deserve to be happy!" ujar Lola.
"Ah, sweet banget sih kamu. Aku jadi pengen nangis." Kedua sahabat pun berpelukan, Queen hanya tersenyum melihat tingkah laku mereka.
Mall mulai ramai menjelang siang hari. Ketiganya pun menuju Foodcourt untuk makan siang. Saat asik berbincang, datang seorang pria tampan yang membuat mereka terkejut, apalagi Queen. "Bang Bima..., ke-kenapa bisa ada disini?" tanya Queen dengan gemetar.
Lola bingung karena tidak tahu apa yang terjadi. Unin mulai merasakan amarah dalam dirinya tapi ia tahan karena di tempat umum.
"Ikut aku pulang, SEKARANG!" titah Bima kepada sang istri. Ia memaksa istrinya berdiri dan akan menyeretnya dari tempat itu sampai akhirnya tangan Unin menahannya. "Abang pengacara ternama 'kan? Kita ditempat umum. Abang mauf kalau sampai nama Abang viral di sosial media. Aku tahu, Abang sangat menjaga nama baik Abang. Jadi STOP memperlakukan Queen kayak gini! Kita bisa bicara ditempat tertutup."
Bima mencoba menahan emosinya. Benar juga apa yang dikatakan Unin. Dia tak mau namanya akan jelek hanya karena wanita yang selama ini dia sakiti lahir dan batinnya. "Baik, di depan Mall ada hotel. Kita buka kamar dan bicara disana. SEKARANG!" lagi-lagi Bima memberi perintah dengan tegas.
"Lola, aku temani Queen dulu ya. Nanti aku kabarin," pamit Unin dan mengikuti Queen dan Bima yang sudah berjalan d depan. Sedangkan Lola hanya mengangguk dan kebingungan. Bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Tapi ia berdo'a agar semuanya baik-baik saja.
Tak lama ketiga orang itu sudah berada di sebuah kamar hotel. Queen duduk di tepi ranjang dengan Unin di sebelahnya memegang tangan sepupunya. Bima sudah mulai meluapkan amarahnya sambil memaki, menunjuk-nunjuk sang istri.
"Dasar istri durhaka! Kamu tak tahu diuntung. Kurang apa aku sama kamu? Aku berikan kemewahan, kamu malah kabur. Ingat ya, kamu setuju menikah denganku karena harta. Jadi, kenapa kamu merasa aku jahat memperlakukanmu semauku? Kamu itu sudah 'ku beli!" bentak Bima.
Queen yang sedari tadi menangis dalam diam, akhirnya berani melawan suaminya. Ia berdiri dan mendekati suaminya seraya menatap tajam, "Hampir sepuluh tahun aku mati. Aku sudah jadi benda yang bebas kau perlakukan semaumu. Belum cukup, Bang? Aku menikah denganmu karena baktiku pada Mama. Aku telan semua penderitaanku selama ini. Sedetikpun, aku tak pernah bahagia. Lagipula, bukankah sekarang kau sudah punya wanita lain. Lepaskan saja aku!"
"Gak semudah itu. Lagipula, Mamamu juga tak akan setuju jika kita berpisah. Dia yang gila harta, tak mau kehilangan tanah yang dijanjikan Papaku selama kamu menikah denganku. Jika kita berpisah, kalian tidak akan dapat apa-apa. Bahkan Mamamu harus membayar utangnya pada Papa." Senyum sinis tersungging dari bibir sang pengacara. Dia tahu, dia menang.
Unin beranjak dari ranjang dan membela sepupunya, "Emang berapa hutang tante Sundari?"
"Lima ratus juta. Mana mau dia harus membayarnya saat ini. Kamu tahu? Mamamu yang kasih informasi dimana kamu berada. Dia memyuruhku membawamu pulang. Ironis, hahaha..., " Bima tertawa jahat di depan sang istri dan Unin. Rasanya, Unin ingin menjambak rambut pria yang ada di hadapannya ini. Ia ingin merusak wajahnya tapi ia cukup sadar akan dampaknya nanti. Apalagi pengacara manipulatif seperti Bima bisa membolak-balikkan fakta. Begitu juga Queen, dia tahu betul suaminya seperti apa. Pria licik ini bahkan bisa membuat bukti yang sebenarnya tak ada menjadi ada agar dia bisa memenangkan kasus yang ia tangani. Ia memutar otak untuk membuat kesepakatan. Queen tahu, takkan bisa bersembunyi dari Bima. Dia bisa mencarinya bahkan didalam lubang semut sekalipun.
"Oke, aku tahu dengan baik, Abang sangat menjaga image Abang. Saat ini, aku hanya ingin rehat. Jika Abang memaksaku pulang, aku akan buat keributan hingga akhirnya orang lain tahu siapa Abang sebenarnya. Apa abang mau? Atau aku akan tetap berstatus istri Abang hanya untuk sekedar status. Aku sudah muak melayanimu, Bang. Abang boleh bersama wanita manapun. Aku takkan marah atau mempermasalahkan. Aku sudah tidak perduli lagi. Aku hanya tak sanggup lagi menjadi barang yang bisa kau injak-injak, kau pukul, kau tendang. Aku sudah tidak bisa lagi mengalami kejadian saat aku kehilangan bayiku karena nafsumu. Aku sudah hancur. Jadi, kalau Abang tetap memaksaku, aku bisa lebih gila. Mati pun, aku sudah pasrah." Queen meluapkan apa yang selama ini ia pendam. Bom waktu itu akhirnya meledak juga.
Bima terduduk di kursi. Sementara Unin memapah sepupunya untuk kembali duduk ditepi ranjang. Ia berusaha menenangkan Queen yang bergetar seluruh tubuhnya saat itu. Ia tahu, sepupunya butuh keberanian yang besar untuk melawan Bima. Tapi kesakitannya selama ini membuat Queen sudah tak sanggup lagi dan memutuskan untuk melawan sang suami. Ada keheningan saat itu. Apakah Bima akan menyetujui permintaan Queen? Atau tetap menyeretnya kembali ke Jakarta dan kembali menjalani hidupnya bagai di neraka?
*****