"Tidak akan selalu ada kata selamat tidur saat warna kemerahan menjelang tampak dari timur. Karena akan ada masa di mana saat itu melupa. Sekarang 29 Februari. Katanya jangan sampai lupa dengan waktu mahalmu."
"Aku tidak sabar besok, 29 Februari. Apakah benar-benar spesial? Ngomong-ngomong kamu ingat impianku saat itu? Memiliki seorang anak bernama Arunika yang artinya cahaya matahari terbit."
***
"Sudah saya bilang, jangan kerja! Kenapa? Makanan sudah ada! Pakaian sudah saya beri! Semuanya sudah saya cukupi! Kamu butuh apa lagi?"
Pukulan demi pukulan brutal dilayangkan tanpa henti. Beralih dari balok kayu yang sudah patah menjadi dua, kini pria tegas itu memukul sang anak menggunakan ikat pinggang.
Pria itu tak peduli. Dia masa bodoh dengan gesper ikat pinggang yang terlepas. Enggan mengurus biarpun ikat pinggangnya putus.
Pukulan-pukulan beringas itu terus dijatuhi.
"Jawab saya! Kamu butuh apa?!"
Sang anak menoleh sejenak. Tampak dari gelagat bahwa dia menegang.
Namun, wajahnya masih sama-sama datar dari mulanya. Cowok itu mendesis pelan.
"Saya minta orang tua saya," jawabnya santai. Pelan, tetapi tandas.
"Anak bodoh!"
Cowok itu merasakan guncangan yang teramat besar. Dia dibenturkan ke kaca lemari.
Usai itu sang ayah memukul kaca lemari keras-keras. Dengan tangan kokohnya. Kacanya pecah. Jatuh berderaian butiran darah dari tangan kekar itu. Namun, pria itu abai.
"Anak tidak tahu diri! Keparat!"
Entah bagaimana tangannya berbentuk saat ini. Bahkan kepingan kaca itu ada yang menancap di jemari tangannya. Darah terus berderaian.
Sementara, nafsunya masih terus berlanjut. Dia memukul wajah cowok itu hingga wajahnya tak karuan.
"Saya tidak akan pernah mempersilakan kamu kembali ke rumah ini kalau saja saya tidak menganggap kamu sebagai anak!"
Mata pria itu memerah. Gemeletuk giginya terus terdengar. Hingga mulutnya mengeras. Pria itu menunjukkan sisi paling hancur dari dirinya.
"Dasar anak bego!"
"Tolol!"
"Berengsek!"
"Keparat!"
Pun segala makian yang lain.
Cowok itu diam. Tak pernah membalas makian. Tidak sekalipun menyerang. Bahkan mulutnya berusaha dibuat bungkam.
Dia tidak menunjukkan rasa sakit sama sekali bahkan sampai mulutnya mencuatkan darah kental. Pun juga mimisan dan wajah bengkak yang semakin parah.
Cowok itu tetap menampakkan wajah tenang. Datar, tak ada raut kesakitan atau wajah penuh amarah darinya.
Dia dengan segala sesuatunya yang palsu.
Tidak tertawa, tidak pula menangis. Tak pernah mengeluh, tetapi hatinya mengaku lelah. Dia yang pada akhirnya memendam semuanya.
Darin Xavergocant Snyder Lee.
Nama yang paling dia benci.
Bermarga sama dengan pria yang tengah memukuli dia saat ini. Pun juga memiliki nama yang entah apa artinya.
Cowok itu mendesis sesekali. Singkat kali pula dia melihat pria yang tengah memukuli wajahnya. Pria itu masih sama-sama berhati keras sejak sepuluh tahun yang lalu, yang dia tahu.
Hanya ada pada gelagat, Darin menunjukkan rasa tidak kuat dengan sikap pria di depannya. Menggosok telunjuknya dengan jemarinya sendiri. Terkadang pula menggigit bibir hingga berdarah. Atau sesekali melukai pergelangan tangannya.
"Keparat! Mati saja kamu!"
Dia terkesiap.
Fenly Vincentius Snyder Lee---orang yang mengaku sebagai ayah Darin. Pria itu terus memukul wajah Darin sebelum kemudian meraih vas bunga di atas meja.
Dia melempar vas bunga itu tepat ke kepala Darin hingga sang anak kembali meneteskan banyak darah.
Darin diam. Dia yang masih tenang dalam keadaan paling parah sekalipun. Cowok itu menengok ke arah meja belajar.
Satu setel seragam dan tas dengan banyak perlengkapan belum juga dia pedulikan. Seharusnya dia sudah berada di sekolah sepuluh menit yang lalu, sebelum bel berbunyi.
Kembali Alfa. Cowok itu sudah menebak akan diserang satu kelas kembali setelah satu hari meninggalkan pelajaran.
Darin yang belum siap dengan perlakuan selanjutnya dari Fenly hanya bisa pasrah.
Kakinya diseret keluar kamar. Pun sudah ada tali tampar di genggaman tangan.
Fenly membawa Darin ke belakang rumah.
Tali tampar sengaja diikat di perut Darin dan menerus ke kedua tangan yang melingkar di batang pohon. Darin diikat pada pohon mangga.
"Memang lebih pantas kamu demikian!"
Fenly berbicara tandas sekali lagi.
Hingga dua orang itu mengetahui kedatangan seseorang dari arah halaman depan. Sang istri. Fenly menarik napas sebelum kemudian berlalu meninggalkan Darin di tempatnya. Menuju sang istri.
Dalam keadaan tubuh masih kewalahan cowok itu terbatuk hebat. Hingga lagi-lagi darah kental memenuhi mulutnya. Dia muntah darah.
"Katakan siapa yang akan membela saya? Sekali saja membela saya. Siapa?"
Cowok tampan dengan perpaduan hidung mancung, alis tebal, dan buku mata lentik. Pancaran matanya yang indah lantaran ada garis hazel itu juga menjadi idaman. Bibirnya menarik. Bentuk wajahnya terlalu menawan.
Dia dengan tinggi tubuh yang dikagumi banyak orang. Juga dengan kulitnya yang bersih kuning langsat. Cowok itu yang mampu dikata sempurna dari pandangan mata.
Sempurna dari hati dan kecerdasan. Dia pemilik segalanya. Terampil akan semuanya. Cerdas menyangkut pelajaran dan ibadahnya.
Namun, tidak benar-benar sempurna. Dia meyakini satu materi bahwa Allah dzat yang sempurna. Dia kalah dari orang-orang luar biasa. Tampannya tidak melebihi Muhammad atau Yusuf. Cerdasnya tak ada banding dari semua orang-orang luar biasa.
Dia jauh tertinggal di belakang. Dia tertinggal. Darin mengaku ketertinggalannya sebab kalung salib di lehernya.
Dia terlahir bukan dari keluarga muslim.
Pertanyaannya, apakah dia benar-benar memiliki keluarga saat dibuat hancur oleh sang ayah pun tidak pernah ada yang membela?
Hingga seketika Darin tertawa.
Dia yang mengaku sebagai cowok serba salah. Semuanya salah di mata sang ayah.
Satu kata terucap dari bibirnya. Lirih.
"I'm sorry, Dad."
Hingga tanpa terasa air matanya jatuh. Dia berubah murung. Sekali lagi cowok itu batuk darah.
Tidak ada lagi wajah tenangnya. Raut santainya berubah masam menatap kepergian sang ayah dengan wanita itu.
Darin tertawa hambar.
Bila ditanya kapan hari paling hancur dari dirinya. Barangkali jawabannya adalah hari ini. Hari ini. Sekali lagi hari ini. Kapanpun pertanyaan itu dilayangkan, jawabannya adalah hari ini.
Sepanjang hari adalah hari paling berat dalam hidupnya.
"Dad ...."
Dia kembali berbicara.
Dalam keadaan sunyi. Tak ada siapa pun yang mendengar.
Karena memorinya terus mengingat kenangan sepuluh tahun lalu. Saat dia lagi-lagi lupa harus memanggil ayahnya dengan sebutan apa.
"Dad, pinjam HP seperti dia. Dia main HP. Aku juga."
Tangan mungil yang juga kecil bersih itu menunjuk seorang anak di sofa. Anak itu tengah bermain ponsel dengan sangat lihai. Padahal barangkali usianya belum cukup sewindu.
Wajah lucu Darin kecil membulat, meminta perhatian yang lebih dari Fenly.
"Om! Jangan panggil Daddy lagi! Dia bukan Daddy kamu!"
Sebuah teriakan mengejutkannya.
Bersamaan dengan itu tangan mungil dipukul oleh tangan besar Fenly. Mata indah berkaca-kaca. Wajahnya semakin membulat, menunjukkan raut takut.
Tangan yang baru saja dipukul itu diusap dengan tangan yang satu. Darin kecil mengeluh pada dirinya sendiri. "Sakit."
Usai itu dia menoleh ke keberadaan wanita di samping Fenly. Wanita yang baru saja mengatakan bahwa Fenly bukan ayah dari anak tersebut.
"Mommy ...."
"Tante!"
Bentakan yang kedua. Anak itu kembali terkejut.
"Maaf, lupa."
Om dan tante, bukan daddy dan mommy.
Sejak saat itu dia mencatat note tersebut di buku tulisnya.
"Jangan sampai lupa lagi," katanya.
***