Chereads / 29 FEBRUARI / Chapter 3 - Bayang

Chapter 3 - Bayang

"Karena terkadang pikir tak sejalan dengan suara kata dalam benak."

***

"Sholat, El?"

"Lagi dapet gue."

"Ya udah, kita turun ya."

"Oke-oke."

Bel istirahat baru saja berbunyi dan sebagian dari mereka langsung ke masjid untuk menjalankan ibadah. Sebagiannya lagi non muslim. Pun barangkali yang lain sedang berhalangan.

Sebagaimana cewek berjilbab abu-abu itu. Pada bukunya tertulis rapi nama lengkap yang juga sama-sama cantik. Elok Purmaningrum.

Cewek itu melipat tangannya ke atas meja yang kemudian ditiduri kepala. Air mukanya lesu.

Baru kali ini dia merutuk karena harus mengikuti pelajaran sehari penuh. Baru jalan setengah hari saja rasanya kepala mau meledak.

Dengan gerakan pelan dia memijit puncak kepala. Satu tangan yang lain dia gunakan untuk mengurut perutnya.

Hingga beberapa saat kemudian dia merasakan adanya sentuhan. Disentuh dengan cara diusap. Cewek itu sedikit menaikkan kepala sembari melirik pelakunya.

Senyuman terbit. Rasa lelahnya perlahan-lahan meluruh. Dia memperbaiki posisi duduk sembari menepuk kursi di sampingnya.

"Sini duduk."

Yang diajak bicara mengangguk kemudian menuruti permintaan Elok.

"Kenapa?"

Cowok dengan belahan rambut yang sangat khas. Senyuman manis hingga tanpa sadar menampakkan lesung pipinya.

Cowok itu mengurut puncak kepala Elok hingga turun ke sepanjang leher yang ditutupi kerudung.

"Capek?"

"Nggak ada. Lagi males aja. Nggak tau kenapa. Gerah. Perut juga sakit. Kayaknya faktor datang bulan deh."

Si lawan bicara mengangguk. Cowok itu tersenyum.

"Udah makan siang?"

"Belum. Nunggu yang lain selesai sholat dulu."

"Kita makan berdua gimana?"

Elok mengangguk. "Ayo aja aku."

Cowok ber-name tag Septian Pradana itu bangkit dari kursi yang langsung diikuti Elok.

"Kamu udah sholat?" Elok bertanya pelan.

"Udah tadi gelombang pertama."

Bukan situasi canggung lagi untuk saling merangkul. Bahkan para guru sudah biasa menyaksikan adegan itu. Semua tahu. Nyaris semua anak dari kelas yang sama atau kelas sebelah pun sudah terbiasa.

Sebagaimana kepala sekolah tahu bagaimana hubungan Tian dan Elok terjalin. Bukan lagi privasi. Justru didukung penuh.

Elok milik Tian. Begitu pun sebaliknya. Cowok itu milik Elok seutuhnya.

Banyak yang mengaku sayang karena si cantik itu harus mendapatkan hati seorang ketua OSIS dari kelas dua belas IPS satu.

Ya, katakan saja demikian.

Tak jarang kisah cinta antara si ketos dengan adik kelasnya menyita perhatian. Banyak yang menyayangkan. Sayang, karena ketua OSIS-nya sudah ada yang punya.

Begitu sampai kantin, mereka berdua langsung menduduki kursi kosong paling ujung.

"Makan apa?" Tian bertanya.

Yang ditanya mengerucutkan bibir. "Em ...."

"Nasi pecel gimana?"

"Nggak ah, ikan mujair aja. Jarang-jarang."

Tian mengangguk.

Dengan langkah panjang dia mendatangi antrian.

Elok tinggal menunggu di meja. Sejenak dia tertawa. Mengandalkan Tian tak mengapa. Dia merasa kalau semuanya berubah mudah dengan adanya Tian.

Lihat saja cowok itu. Mulai menyerobot antrian dan segera berdiri di samping Bu Suti-pemilik warung nasi di kantin.

Tian segera mengajukan pesanannya pada Bu Suti. Usai itu, dengan lihai dia menggeprek ayam sebelum kemudian dimasukkan ke bungkus kertas. Ayam geprek itu pesanan dari salah satu anak yang antri di warung Bu Suti.

Ajaibnya pesanan Tian segera dibuatkan. Bahkan segera diberikan pada si pemesan. Semudah itu!

Hanya perlu satu menit untuk mendapatkan pesanannya. Sementara, anak-anak yang lain masih perlu mengantri hingga nyaris lima menit atau bahkan lebih untuk menerima makanan.

Semudah itu. Syaratnya membantu Bu Suti melayani pesanan anak-anak lain.

"Iya-iya ordalnya sekolah. Apa-apa diutamain."

Cowok itu segera mendapat sambaran kata dari Elok.

Tian tertawa dibarengi senyum jengkel Elok.

"Sambelnya mana?"

Cewek itu baru sadar kalau nasinya tidak diberi sambal. Sambal terasi. Itu kesukaannya. Tanpa sambal, makanan terasa pahit.

Tian yang baru saja mendapat pertanyaan konyol itu berdecih.

"Kan katanya sakit perut? Jangan dulu ah, El."

Bibir elok mengerucut. Tampaknya dia memang sudah tidak merasakan sakit lagi pada perutnya.

Akan tetapi, dia tidak berniat untuk memperpanjang masalah ini. Ya Elok pasrah saja tidak diberi jatah sambal.

Sejenak cewek itu meneguk teh manis di gelas plastiknya. Dia pun menyadari adanya sesuatu yang kurang.

Cewek itu melihat gelasnya sejenak. Kemudian menoleh malas ke arah Tian.

"Es batu?"

Tian mendengus. "Teh anget aja. Biar sehat."

Untuk yang satu ini Elok semakin kesal. Pasalnya cewek itu tidak sabar meneguk es karena tenggorokan sudah sangat kering. Belum lagi berkeringat.

"Dikit ajalah, Kak. Dibilang gerah juga."

Alih-alih dijawab, justru kini Tian fokus pada makanannya. Sebungkus nasi pecel dan air putih.

Dia makan dalam diam.

Jika dilihat-lihat pun cowok itu sangat primitif. Segalanya biasa-biasa saja. Tak ada yang spesial dari penampilan dan sesuatu yang dia punya.

Namun, jika sudah mengingat rumah bak istana dan motor-motor besar yang sering dibiarkan terbengkalai di balik garasi, Elok mengembuskan napas kasar.

Beruntung dia memiliki orang sederhana seperti Tian. Tian tampak seperti orang yang berterus terang secara santai. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Meski benar kekayaanlah yang dia tutupi. Pun juga ... keluarga.

Menyadari netra Elok yang tidak mau lepas dari arah duduknya, Tian mendongak. Dia sentil dahi Elok hingga ceweknya mendesis kesal.

"Kamu bawa motor?" Tian membuka suara.

Elok tak langsung menjawab. Cewek itu sengaja mengulur waktu dengan meneguk teh hangatnya.

"Bareng Dea tadi."

Tian mengangguk.

"Pulangnya sama aku aja. Sekalian tungguin aku tanding futsal."

"Lagi?"

"Iya. Tanding biasa sama kelas sebelah."

Bukan Tian bila tidak memiliki kesibukan. Semuanya saja diraup habis olehnya. Menyukai segala jenis olahraga dan organisasi di sela-sela bisnis yang tak pernah tertinggal.

Sejauh ini Tian sudah dikata sukses. Memiliki rumah sablon sendiri. Jasa cetak dan segala macam keterampilan yang dia manfaatkan untuk bisnis.

Lagi-lagi Elok merasa beruntung. Meski terkadang iri.

"Temenin buat PR juga ya?"

Tian kembali membuka suara usai beberapa detik dua mulut itu fokus dengan makanan masing-masing.

Untuk urusan yang satu ini Elok meremehkan. Cewek itu sudah sangat hafal dengan Tian.

"Nggak percaya lagi sama kamu. Bilangnya temenin buat PR, taunya ngajak jalan. Kan resek jadinya. Pulang malem ditempeleng sendal sama Bunda."

Elok berlaku masa bodoh. Kali ini Tian yang tertawa. Cowok itu mengusap jilbab abu-abu Elok sembari memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

"Ngomong-ngomong jilbab putih kamu ke mana?"

"Gosong kemarin. Gara-gara Bunda tuh nyuruh aku setrika."

"Ya kamu yang teledor, Cantik. Segala nyalahin Tante."

"Tapi untungnya udah bilang guru piket. Nggak papa katanya. Nanti kita mampir bentar ke pasar ya? Mau beli jilbab baru."

Tian hanya mengangguk. Pun cowok itu kembali fokus dengan nasi pecel di depannya.

Elok yang memutuskan menyudahi acara makannya bermain ponsel sejenak. Hingga terkadang cewek itu merapikan tatanan rambut Tian.

Dia mengaku tak suka dengan tatanan rambut yang dibuat menyigar itu. Lebih suka rambut yang disisir ke sisi kiri seluruhnya.

Namun, ya, bukan sifatnya menuntut ini itu pada sang kekasih. Yang sewajarnya saja.

Dia menyukai hati Tian yang berterus terang mencintainya. Itu saja.

Tanpa sadar cewek itu melamun. Hingga sebuah gurauan yang teramat keras menarik perhatiannya. Bukan hanya dia. Melainkan semua orang yang ada.

"Tanah liat kalo diliatin ngeliatin balik nggak?"

Itu ucapan terakhir yang dia dengar.

Seseorang berkopiah hitam membawa empat orang di belakangnya. Yang mana ada dua cewek dan seorang cowok. Juga dengan satu cowok itu.

Elok mengamatinya dari atas sampai bawah. Iya, dia. Kelasnya memang cukup jauh dari kelas Elok.

Namun, Elok tahu orang itu. Bahkan sangat tahu dari mulut ke mulut. Elok seringkali mendengar ujaran dari teman kelasnya.

Cowok yang sama. Yang pernah menjatuhkan cup minuman Dea lantaran tangan mereka tak sengaja saling menyentuh. Saat berpapasan.

Cowok itu tidak mencolok karena memang Elok tidak pernah berbicara padanya. Hanya saja selintas bayang itu baru saja muncul.

Tentang cowok itu, di mana?

***