Chereads / 29 FEBRUARI / Chapter 6 - Crime and Punishment

Chapter 6 - Crime and Punishment

"Kejahatan bukan akar dan kekacauan hanya sebagian kecil dari penyaluran afeksi. Namun, yang pasti dua kata itu mampu menggerogoti sisi negatif asumsi."

***

Sudah tiga hari berlalu. Pembunuhan dari sosok misterius bertuah itu tak diangkat ke layar media. Barangkali pun dalam surat kabar dan beranda sosial media tak menampilkan berita itu.

Sial!

Seharusnya Elok tidak memikirkan kasus itu lagi. Yang bahkan entah ... cewek itu benar-benar melihat pemangsa malam lalu berlumuran darah atau tidak.

Apa ini delusi?

Pikirannya disingkap oleh dering ponsel di sudut kasur.

Ya, dirasa panjang umur.

Panggilan dari pacar.

"Tumben diangkat. Biasanya masih sibuk mecahin soal fisika."

Elok mendengus. Baru saja dia mengangkat telepon dan reseknya sudah keluar.

"Nyindir nih ceritanya?"

Elok bertambah merengut mendengar tawa dari seberang. Tak ada jawaban spesifik.

Hingga keduanya diam dalam balutan pikir masing-masing. Elok memutuskan keluar kamar menuju dapur.

"El ...."

"Hm?"

"Besok ada latihan try out."

"Udah mulai sibuk ya?"

"Iya."

"Kurang-kurangin tuh basketnya. Belajar yang bener. Mau ikut SNMPTN kan? Jangan sampe ntar nyesel. Pokoknya belajar juga kewajiban. Kalo dimarahin Tante jangan kesel. Kamunya juga yang males belajar."

"Siap, Mak El."

"Ih! Kok Mak El?"

"Mulut kamu kayak emak-emak."

"Enak aja!"

Tawa renyah kembali terdengar dari seberang. Elok tinggal menyengir saja.

Tangan kirinya bergerak meraih satu gelas kaca di rak. Perlu mencari-cari pula mana teh celup yang selalu ibunya stok.

"Kamu juga belajarnya kurangin. Jangan pinter-pinter. Nanti anak-anak kita pilih kasih lagi, nggak mau sama bapaknya gara-gara ha he ha he soal pelajaran."

Menyeduh teh dengan sedikit susu putih sebagai pengganti gula, Elok tertawa kecil. "Bisa-bisanya mikir sampe situ. Belajar dulu yang bener. Lulus SMA aja belum!"

"Hem, iya iya. Inget, El. Jadi diri kamu sendiri. Jadi kamu dengan kualitas selayaknya. Nggak usah terlalu dipaksain. Nggak juga buat diatur ini itu. Apalagi soal otak. Kita bebas nentuin apa yang kudu kita lakuin hari ini, besok, dan seterusnya. Kalo mesin aja dipake terus-terusan bakal rusak, ya sama aja kayak otak. Otak juga nggak bisa ditekan."

"Siap, Bapak Tian Teguh."

"Yang bijak kayak Mario Teguh?"

"Iya, makanya Bapak Tian Teguh."

"Basic candaan kamu."

"Ngeselin!"

Pun segala obrolan kecil yang lain.

Hanya tinggal mengulur waktu. Dari rumus yang menjengkelkan untuk dihafal. Dari banyaknya teori yang harus tepat definisi. Dari segala macam anak pinak soal-soal matematika yang menguras emosi.

Pun dari masalah. Elok tahu itu.

Setahun menjadi bagian dari prioritas sang pacar membuat Elok sangat paham dengan cowok itu. Dengan segala permasalahan yang harus dibungkam kesibukan. Dia, Tian.

Di menit ke sepuluh teleponnya tersambung, Elok merasakan perih di sekitar perutnya.

Ah, iya! Mi kuah untuk mengganjal perutnya malam ini sudah terlanjur dingin.

"El, ayo cepet! Kamu nggak lupa kan kalo hari ini ada les?"

"Iya, Bun. El makan dulu bentar."

"Kamu gimana? Udah nggak usah. Makan nanti aja. Ayo cepet!"

Perih di perutnya berangsur hilang lantaran teriakan sang ibu. Pasrah.

***

"Nggak, serius gue pernah makan roti pake nasi."

"Sinting lo!"

Memutar bola mata malas menjadi opsi paling umum. Namun, kali ini cowok tinggi semampai itu memilih mengumpat dalam hati.

"Tumben Dateng. Biasanya kagak pernah dateng lo, Dar."

Tak ada jawaban lantaran si objek melengos lebih dulu. Akbar tinggal menelan ucapannya. Sementara, Dema mengalihkan fokus.

Sudah tiga minggu mereka berteman. Namun, tampak ganjal dari satu sisi pandangan.

Darin jarang akrab dengan keempat temannya. Terlebih dua cewek berkerudung yang sama-sama mengambil duduk paling pojok.

Mereka di kedai kopi langganan Dema. Cowok itu pula yang merekomendasikan tempat tongkrongan malam ini.

"Bang, espreso."

Suara itu meluncur melalui garis bibir Darin. Cukup pelan pun juga berat, tetapi berhasil ditangkap barista di meja pelayan. Barista itu mengerutkan kening.

"Espreso satu. Nggak pake gula, Bang. Pesenan dia."

Yang barusan bicara adalah Maya. Mengoreksi pesanan Darin yang barangkali tidak tepat perkataan.

Situasi mendadak canggung. Tak ada yang membuka obrolan.

Akan selalu begitu. Karena salah satu dari mereka tak bisa mengakrabkan diri.

Akbar dan Dema kembali fokus dengan game online di hadapannya. Sementara, Maya dan Nia sibuk membahas drama terbaru Song Joong Ki, salah satu aktor Korea yang diakui Nia sebagai selingkuhannya.

Kepulan asap dari cangkir kopi rupanya tak melupakan cowok di antara empat orang sibuk itu.

Barista mempersilakan Darin sebuah kopi. Yang tentu saja diabaikan oleh cowok itu. Tak mau berbasa-basi.

Darin memusatkan arah pandangnya penuh ke arah tepian jalan, ke ujung sana. Melalui celah jendela kawat.

"Jangan beban lagi, Bar! Mending cari asist aja lo. Atau nggak incer turret."

"Mas Duda makin keren anjir! Mana gila-gilaan lagi aktingnya! Jangan coba-coba gaet dia lo, May!"

"Kekuasaan mutlak kadang-kadang buat orang disekitarnya down. Tanpa sadar mereka udah berlaku keras yang mungkin bakal ngerusak mental. Nggak ada bedanya sama autokrasi. Sistem bodoh yang sialnya udah jadi virus otak."

Kegiatan bermain game terhenti. Pembahasan berlebihan tentang K-Drama tidak lagi terdengar. Empat orang yang duduk saling berhadapan sama-sama menoleh ke samping, ke tempat duduk Darin.

Darin. Cowok itu masih meneruskan pandangannya ke ujung jalan itu. Lebih tepatnya ke objek yang menurutnya lucu. Tentu. Sungguh dia tertawa.

Objek seorang polisi yang diam berdiri di depan seseorang. Entah ... preman? Yang jelas pistol polisi berhasil ditaklukkan, bahkan ikut tunduk di bawah preman itu.

Aksi mural dengan mencoret-coret tembok kembali diteruskan. Kali ini dengan pergerakan sangat brutal. Sebuah kutipan panjang segera terpampang jelas dibantu penerangan kota.

Si preman tidak berhenti sampai di situ. Setelah mencetak kutipan itu sedemikian jelasnya, kini dia menggambar ilustrasi wajah sastrawan Rusia.

Tentu, Darin tahu. Fyodor Dostoevsky. Pria perangkai fiksi dengan sejuta kata-kata cantiknya. Juga pria dengan pemikiran cerdasnya perihal teori kejahatan.

Barangkali preman di ujung sana meresapi kutipan itu. Kutipan yang ditulis rapi di sepanjang dinding. Kutipan dari buku Crime and Punishment.

"Bagaimana jika manusia tidak benar-benar bajingan? Manusia pada umumnya, semua manusia dan sisanya adalah prasangka. Hanya teror buatan, tidak ada penghalang, dan semuanya sebagaimana mestinya."

Darin tertawa kecil.

"That's it. Hit the spot. Pernyataan itu nggak berlaku buat dia," gumamnya pelan.

Menyisakan empat orang di meja itu. Meneguhkan tatapan was-was. Mengungkap kejengkelan lantaran seorang polisi takluk meski dihadapkan oleh preman tak bermoral.

Tetap melihat ke ujung sana. Di mana preman itu berjongkok. Tangan penuh tatonya meraih pistol milik polisi tersebut lantas kembali bangkit, mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan pria berseragam di hadapannya.

Tanpa pikir panjang pistol itu langsung dikembalikan ke pemiliknya. Yang pastinya dengan senyuman tengil. Cowok itu terlihat berujar sejenak.

Entah .... Barangkali pun lima orang di meja kedai itu tak mendengar ujaran dari si preman. Bising deruan motor di sepanjang jalanan kota yang mengalihkan.

Yang pasti .... Pun juga tandas. Polisi itu berteriak kencang meniti kepergian preman tersebut.

"Kalau kamu bukan berandal terus apa? Pengacau? Saja saja!" serunya dengan logat Jawa yang sangat kentara.

Bodohnya, kaki tegap itu masih saja mematung di tempat. Tampak tak ada niatan sama sekali untuk mengejar si preman.

Di balik celah jendela kawat Darin tertawa kecil. "Kejahatan dan kekacauan tentu dua hal yang berbeda," pungkasnya. Sebelum akhirnya dia beranjak dari kursi seraya meletakkan satu lembar uang sepuluh ribu di bawah cangkir.

Empat temannya melongo di tempat. Atau lebih tepat dikata heran.

Yang satu tengah menantap mural di ujung jalan. Mengamati ilustrasi wajah yang belum selesai. Juga yang satu memandang kosong ke depan, tak berkedip.

Akbar menunduk kaku ke arah ponselnya. Sebelum akhirnya berseru tandas. "Dem, AFK weh!"

Dema gelagapan menatap layar ponselnya.

***