"Konsistensi tidak selalu perkara waktu. Jarum berputar menentu, tetapi di sela harap tidak selalu memberi tahu. Tanyakan saja pada nasib. Apa ia selalu baik? Tidak! Baik pun perlu waktu. Sudah dibilang konsistensi tidak selalu perkara waktu."
***
"Ada les malem?"
"Enggak."
"Ya udah. Langsung tidur gih. Capek kan?"
"Heem. Kamu juga pulang."
"Iya."
"Bener pulang?"
"Iya, Bawel!"
Tidur tengkurap. Namun, tak nyaman. Elok mengubah posisinya menjadi miring.
Hingga, ya. Dia melihat keberadaan ponsel di atas nakas. Sedari tadi dia menunggu dering darinya.
"Kalo udah nyampe rumah nanti kabarin."
"Siap."
Berakhir dengan embusan napas panjang dan kasar. Cewek itu hanya menunggu tanpa ada pasti.
Kini pikirannya sudah berlalu lalang ke mana pun lantaran berbagai fakta lalu menghantui.
Terakhir kali Tian mengatakan akan telepon kalau sudah sampai rumah. Namun, hingga sekarang tidak ada tanda-tanda dia ingat ucapan itu.
Bagaimana ingat? Operator mengatakan kalau nomor Tian sedang tidak aktif saat Elok mencoba telepon duluan.
Pikiran cewek itu masih buntu pada kejadian yang lalu. Atau dia masih sangat ingat hal bahaya waktu itu. Semuanya berputar begitu saja, menguasai dorongan kecemasannya.
Mendadak daya belajar berkurang. Meja Yang seharusnya sudah tercecer setumpuk buku kini kosong bersih.
"El, bantuin Bunda nyari berkas-berkas laporan sini. Terakhir kali Bunda taruh di meja makan. Pas udah selesai masak tiba-tiba lupa gitu aja."
Ucapan panjang dari balik pintu terdengar ganjil bagi Elok. Cewek itu segera menyingkap selimut dan melantas keluar kamar.
"Tumben lupa? Biasanya Bunda mesti teliti kan?"
Wanita kepala empat dengan setelan pakaian denim dan sepatu santai berdiri di depan pintu sembari men-scroll ponselnya. Tentu dengan mimik yang tak tenang.
Begitu Elok membuka pintu dan menodong pertanyaan, wanita itu menghela napas berat.
"Iya. Saking banyak kerjaan. Tolongin ya. Masalahnya berkas belum diusung ke bagian administrasi."
"Iya, Bun. Tenang aja."
Tak biasanya. Wanita berjilbab pasmina itu selalu rapi persoalan apa pun. Segalanya akan selalu disikapi dengan baik. Namun, yang kali ini. Untuk pertama kalinya Elok mengatakan sang ibu ceroboh.
"Di meja makan, Bun?"
"Iya, El."
Wanita berjilbab pasmina itu segera merangkul pinggang Elok sembari berjalan menuju ruang makan.
Dalam hal ketelitian, Elok memang lebih unggul. Namun, untuk urusan berpikir cerdas wanita itu menjadi yang pertama.
Terkadang mereka berdua akan saling melengkapi. Sisanya memanfaatkan kelebihan itu untuk diri sendiri.
"Kamu absen OSIS tiga minggu?"
Ucapan itu terlontar begitu saja saat sang ibu menggeledah laci di meja kecil dekat dapur. Elok hanya mengangguk. Entah ... dirinya pun ragu.
Menjadi ibu tunggal sejak lebih dari sepuluh tahun kala itu. Atau lebih tepatnya tiga belas tahun yang lalu. Saat Elok masih berusia tiga tahun.
Bila boleh mengaku pun barangkali dia merasa hidupnya serba keteteran. Kesehariannya pun tak menentu. Namun, jiwa klasik dengan segala pemikiran kritisnya menjadikan dirinya memiliki tiang. Tolok ukur dari sisi paling positif disadari oleh sifatnya yang telaten.
Dia memperkenalkan dirinya sebagai Ummu Isma. Wanita tangguh, katanya. Wanita cerdas. Sangat berhati-hati sekaligus cekatan.
Namun, untuk urusan malam ini? Elok pun tak habis pikir.
"Kamu nggak bisa bagi waktu?" Pertanyaan kedua meluncur kala pandangan Isma beralih ke ponsel. Rupanya dia butuh senter.
"Iya."
"Kalau gitu kenapa nggak berhenti aja dari teater?"
Embusan napas dari Elok mendominasi keadaan untuk sesaat. Cewek itu berhenti bergerak, meninggalkan tatapannya ke arah sang ibu.
"Kalau teater, aku nggak mau. Udah cukup sama musik waktu itu. Lagian aku udah punya banyak prestasi kan di teater? Sayang, Bun."
Isma mengangguk. Langkah panjang dia teruskan ke arah Elok sebelum wanita itu menyuruh sang anak duduk sejenak. Sekadarnya mengobrol. Ini bukan kali pertama.
"Bunda pernah bilang waktu itu. Bunda nggak bakal paksa kamu buat urusan teater. Terserah kamu. Tapi, yakin kamu berhenti dari OSIS?"
Untuk urusan organisasi, Isma tak pernah ikut campur. Hingga terakhir kali usai Elok mendapat surat izin berhenti dari OSIS, wanita itu tidak sampai bertanya macam-macam.
Ada satu kemungkinan yang barangkali memang benar.
"Bunda barusan ngobrol sama Kak Tian?"
"Iya."
Elok mendengus.
Hubungan Isma dengan Tian cukup baik bila sudah membahas Elok. Segalanya tentang Elok. Bagaimana cewek itu menghabiskan waktunya. Bagaimana dia di sekolah. Atau bagaimana dengan prestasinya.
Isma mengubah posisi kaki menjadi menyilang sembari menghadap penuh ke arah Elok.
"Katanya tata kerja kamu bagus. Simply, harusnya kamu pertahanin itu. Peluang kamu jadi perangkat lebih tinggi udah keliatan. Dengan begitu kamu punya peluang besar buat organisasi kamu kedepannya."
Elok ingat penawaran Tian pagi itu. Kandidat wakil ketua OSIS. Kalau saja mampu. Tentu, Elok tidak merasa percaya diri setelah tiga minggu belakang menutup diri di lingkungan OSIS.
Apalagi ucapan Isma yang secara tidak langsung membujuknya menjadi ketua OSIS dengan bekal tata kerja yang bagus.
"Aku nggak mikir sampe ke sana." Elok memilih mengaku.
"Jadi?"
"Ya karena aku nggak pernah berharap. Masuk PTN bagus, organisasi, pekerjaan. Singkatnya aku nggak pernah ngarepin semuanya berjalan lancar dilihat dari catatan kompetensi sekolah aku bagus. Sekedarnya aja. Kalo aku nggak sanggup, ya mundur."
Prinsip dengan dasar santai, tidak perhitungan, tetapi tetap maju.
Mengutamakan nilai rapor. Menghindari absen kelas dan segala jaminan akademik yang lain. Tentu tanpa meninggalkan satu kesukaannya, seni. Dengan mempertahankan teaternya.
Meski harus menanggung pengorbanan. Musik.
"Mana yang paling bikin nyesel? Kejar nilai, lomba, atau organisasi?"
Tawa kecewa menyelingi. "Jangan tanya, Bun. Bunda yang nyuruh aku buat selalu sempurna di semua hal. Sombong ke tetangga sana-sini. Bilang aku A, B, C."
"Nggak ada, El. Persoalan sempurna, Bunda juga nggak sempurna. Bunda minta yang terbaik. Apa itu susah?"
Pembicaraan santai tanpa menunjukkan paksaan meski adanya siratan makna.
Terlalu kasual. Yang justru tutur kata itu membuat Elok sulit berpaling dari sang ibu.
Elok menjeda situasi. Maniknya segera turun ke arah meja. Tampak sekali bahwa dia enggan melihat wajah ayu Isma.
"Bunda suruh aku les sana-sini. Ikut ini itu. Belajar segala macem sampe aku capek sendiri. Sampe aku nggak punya waktu buat musik. Tapi, seolah-olah tindakan Bunda udah yang paling bener. Yang paling nggak bisa dibantah."
Menggigit bibir. Cewek itu semakin gelisah.
"Tanpa sadar Bunda udah ngebuat toxic parenting!" serunya melanjutkan. Tanpa kira-kira.
Isma ikut membuang wajah. Dia tekuni sepanjang dinding ruangan. Beralih ke gawangan yang mengarah ke ruang tengah.
Kegiatan mencari berkas-berkas penting itu tertunda lama. Berlanjut dengan pembicaraan alot mengenai segala sesuatunya yang dipaksakan.
"Percaya Bunda, El! Nggak ada orang tua yang tega sama anak-anaknya! Sekeras-kerasnya mereka, anak tetep nomor satu! Jangan nyangkal karena Bunda nggak mau kamu berakhir sama kayak Abah!"
"Buat pertama kalinya aku nyesel bantu Bunda!"
Elok bangkit. Langkah kaki membawanya kembali ke lantai dua kamarnya.
Bantuan yang sebelumnya dia berikan mendadak percuma. Berkas yang seharusnya ketemu justru dialihkan oleh pembahasan keras paling dia hindari.
Belum cukup sampai di situ. Isma ikut berjalan membuntuti Elok.
"Apresiasi, penghargaan, pujian. Dari semua perlombaan itu ... kamu udah beribu kali lipat nyesel nurutin kemauan Bunda, El!"
Tiga hal itu. Tiga kata yang sering dia dapatkan. Benar .... Dia membencinya.
Mata cewek itu berkaca-kaca. Tanpa sadar merutuk. Dia mengaku ... tidak butuh apresiasi, bukan untuk dihargai karena ada apanya, dan enggan untuk dipuji.
Kaki yang seharusnya menaiki anak tangga justru beralih ke pintu utama.
"Ke mana kamu?"
"Cari angin."
***
Ini kali ke sekian Elok keluar malam dengan langkah gemetar. Bayang-bayang kejadian di Jalan Meliwis sana masih saja menghantui.
Mendadak dia teringat Tian. Gelisah kian menjalar. Cewek itu ragu. Tian sudah pulang atau belum?
Melamun cukup jauh membuat Elok semakin merutuk. Dia berjalan keluar gang rumah. Berakhir dengan suasana ngeri.
Udara dingin yang semakin lihai menyeruak lipatan-lipatan tubuh membuatnya memutuskan untuk istirahat sejenak. Di pos ronda ujung sana.
Dia tinggal melamun. Tinggal meniti segala objek yang memenuhi ingatan. Hingga rasanya ingin menghilang saja.
Memang benar, menjadi pelupa lebih baik daripada mengingat banyak hal yang berakhir luka.
Elok hanya bisa memandang lurus ke arah depan. Hingga atensinya tertarik pada seorang cowok di ujung sana. Tengah bermain gasing di depan seekor kucing.
Sampai tali gasing itu putus. Berakhir menggelinding ke arah tepian. Ke arah pos ronda.
Elok meraih gasing itu dari aspalan. pun beralih menatap si cowok lagi. Cowok yang kini sudah berlari mendekat dengan tawa bersemangat.
Menghadap penuh ke arah Elok, cowok itu segera merampas gasingnya.
"Terima kasih."
Suara berat itu menyusul pergerakan.
Tawanya kian melebar. Suaranya sedemikian ramah. Tingkahnya begitu lucu.
Elok melongo. Dia ....
Darin!
***