"Tanyakan dengan untaian bagaimana. Cukup bagaimana. Jangan ada siapa atau mengapa. Karena permasalahan berakhir dengan adanya ujaran perihal akibat."
***
Tidak ada bahasan panjang tentang dia. Yang spesifik saja. Musik, lukis, dan luka.
Ingat! Hanya musik, lukis, luka. Catat saja tiga kata itu pada gorden kamar yang melambai-lambai. Pada sepanjang dinding kokoh yang hingga sekarang hanya mampu menciptakan kesunyian.
Terlalu monoton mendeskripsikannya. Tak ada dinamika yang selaras. Barangkali pun gorden yang menerus ke balkon kamar itu lebih menarik dari dia.
Dia .... Si penyuka sepi. Tanpa basa-basi. Tidak merasa rugi sekalipun tidak memiliki teman baik.
Sudah hampir satu bulan sejak kedatangannya ke SMA Plus Nirwana dan berhasil menggemparkan seisinya. Sudah hampir satu bulan dan dia bukan hanya diingat oleh pikiran-pikiran pencari wajah menawan. Dia akan sepenuhnya diingat di meja BK itu.
Tiga kali bolos dan lima kali terlambat. Namun, dirinya mengaku harus menyangkal.
"Saya ingat. Satu kali bolos dan dua kali terlambat. Itupun sudah jelas. Saya terlambat karena tidak tahu ada apel pagi."
Itu sangkalan terakhir sebelum Pak Gun mencatatnya sebagai murid tidak tahu malu.
Darin.
Cowok itu beringsut ke lantai sembari memandang ujung langit melalui dinding kaca.
Tangannya bergerak kaku ke arah saku celana.
Sebuah buku catatan dan pensil mekanik. Dia memangku dua benda itu dengan pandangan menerawang, kosong.
Sejenak melihat pergelangan tangan yang dikata tidak baik-baik saja. bekas luka sayat, keriput, terlalu rapuh untuk melawan kekerasan.
Hingga tanpa sadar dia menunjukkan sisi paling lemah. Tangisan.
Tangan kirinya bergerak bimbang membuka lembar demi lembar buku catatan sembari mencari posisi duduk yang pas. Sampai pada lembar kosong, dia mulai mencengkeram pensil mekanik itu. Tangan kirinya bergerak lihai menciptakan kutipan yang begitu cantik.
_________
Terkadang aku ingin menjadi perangkai ekspektasi. Mengutip sejuta harap. Bertindak kokoh dari berbagai pertimbangan.
Terkadang aku enggan mengusung janji. Memilih menepi. Lari bila mendapat paksaan dari berbagai sisi. Namun, kemudian aku ditanya sebab.
Terkadang aku ingin abadi. Akan tetapi, kemudian aku ditanya sebab, lagi. For me, it's not all about the beginning.
Bahkan logaritma, dengan adanya eksponen, menjadi alasan sebuah log tercipta.
Pertanyaannya, mengapa harus ada sebab? Kuakui ia retorik.
_________
Tarikan napas yang kemudian menguar kecemasan. Cowok itu membaca prosais yang dia tulis sejenak.
Tersenyum tipis.
Dia memutuskan menyudahi kegiatannya. Jemarinya segera menutup gorden kalau tidak mendapati balkon itu sunyi. Terasa begitu sepi. Ya, mau bagaimana lagi?
Darin mengedikkan bahu.
Terlalu banyak hal yang tidak tampak dari dia. Seperti ... dua saudara kembarnya. Seperti seorang ibu dan ayah yang dia panggil tante dan om.
Pun segala sesuatunya yang tersembunyi. Di balik uang dan segala hak menyangkut materi.
Seperti itulah dia hidup. Dengan tekanan batin.
"Terkadang aku ingin menjadi kafein. Ia obat, tetapi memiliki toksik yang mampu menyebabkan guncangan."
Bergeming sekian detik, membiarkan hawa dingin kian menyeruak.
Cowok itu meringis.
"Tidak .... Bukan aku, tetapi kami."
***
"Soal bazar emang gimana?"
"Ditunda, Guys. Ya lagian bazar tahun ini bakal beda. Beritanya diadain di lingkungan sekolah aja. Nggak kayak dulu yang rame-rame. Tapi nggak tau deh. Beritanya belum tentu bener."
"Nggak setuju gue kalo cuma antar kelas aja."
"Iya."
"Nggak asyik, Mel!"
Seisi kelas recok lantaran berita perihal agenda bazar yang mengecewakan. Tahun lalu bazar ramai lantaran bukan hanya diadakan di lingkungan sekolah, tetapi di lingkungan masyarakat juga. Tak tanggung-tanggung tahun lalu sekolah lain ikut berpartisipasi.
Amel—Ketua kelas MIPA delapan itu pun sama-sama merutuk sejak kemarin. Sejak berita bazar dari anggota OSIS yang lain diinfokan padanya.
"Ya ini gara-gara agenda kakel yang mulai padet. Katanya juga nggak sampe sore kayak dulu. Begitu pemungutan suara kelar, anak-anak ekskul perform, ya udah bazar kelar."
Amel kembali berbicara dengan meninggikan suaranya. Tentu. Karena bisik-bisik dari berbagai sisi menghalanginya mendapatkan perhatian.
Dari sudut pandang si pemilik sifat aktif banyak yang protes. Dari sudut pandang si introver abai saja alias tidak terlalu memikirkan.
"Jadi bener dibarengin sama pemilihan ketos?"
"Ya gitu deh."
"Kandidatnya udah ada?"
"Masih proses pencalonan, BTW. Yang gue tau kemarin bakalnya Gilang, iris, Cindy, sama Reza."
"Gilang tuh. Kegaet pasti dia."
"Ada Mbak Elok juga deh." Kali ini Amel semakin meninggikan suaranya.
***
Elok berjalan cepat ke sepanjang lorong, mengawasi kanan kiri. Jangan lupakan rautnya yang semakin tak karuan.
Dia berharap salah tangkap meski ya ... sudah jelas. Dia masuk urutan ke lima bakal kandidat wakil ketua OSIS tahun ini.
Tentu yang dia cari adalah Tian. Tian pasti tahu semuanya.
Sialnya Elok baru tahu perihal pencalonan pagi ini. Dengan rentetan keganjilan. Bagaimana dia bisa masuk daftar itu?
Cewek itu tidak pernah menyetujui penawaran sebelumnya. Dia juga merasa tidak pernah menandatangani surat atau catatan apa pun terkait pengajuan calon struktur organisasi baru.
Elok lari semakin kencang menyusuri koridor. Hingga kakinya mengarah ke sepanjang anak tangga.
Dia menuju ruang OSIS.
"Ada liat Kak Tian?"
Beberapa anak menggeleng, yang lainnya menunjuk gorden hijau yang memisahkan ruang rapat dengan ruang untuk menyimpan barang-barang organisasi.
Elok segera menemukan keberadaan Tian di balik gorden. Cewek itu semakin sempoyongan.
"Kak!"
Tian bersama dua guru di dalam. Tampak tengah mempersiapkan barang-barang yang entah apa.
"Kenapa, El?"
Cewek itu menunjuk setumpuk kertas di tangan Tian. Tidak tahu perihal kertas-kertas itu. Soal tes untuk calon kandidat nanti?
"Aku?" Elok bertanya pelan.
Tian langsung paham. Dengusan terdengar begitu saja. Dengan anggukan berat dia menjawab pertanyaan sang pacar.
"Tante Isma."
Hanya ada satu kemungkinan dan itu sudah pasti benar. Sang ibu. Karena surat pengajuan ketua OSIS dan wakil ketua OSIS juga perlu tanda tangan orang tua.
Cewek itu menggeleng cepat. Matanya sudah berkaca-kaca sedari dari. Kini persetan dengan siapa pun yang melihat. Cewek itu lari dari ruangan OSIS sembari membungkam mulut.
"El ...."
Panggilan kecil dari Tian tidak didengar. Tian pun tak ada tanda-tanda akan mengejar. Cowok itu tinggal menggeleng di tempat.
Dari rasa sesak menuju kekecewaan. Elok menyimpulkan semua ucapannya kemarin malam tidak ada artinya bagi Isma. Semua curahan hati Elok kemarin malam rupanya hanya angin lalu.
Kini segala hal harus berpihak pada Isma, bukan dia. Hingga semua keinginan, semua ucapan tidak mau, pun segala hal yang diabaikan Elok. Semuanya berarti negatif.
Elok berlari semakin kencang menuju Mading dekat tangga. Dia ingin memastikan sekali lagi. Memastikan bahwa dirinya tidak pernah berada pada daftar calon kandidat perangkat OSIS. Atau ... tidak pernah ada daftar itu. Pencalonan itu hanya ilusi.
Cewek itu berharap di Mading tidak ada brosur pencalonan ketua OSIS dan wakil ketua OSIS.
Namun, naifkah dirinya? Terlalu bodohkah dia ketika menyangkal padahal sudah sangat jelas brosur itu terpasang rapi di mading. Namanya masuk daftar di antara nama-nama famous SMA Plus Nirwana. Masih bakal, tetapi dia seenggan itu.
Curang. Tentu, tidak adil!
Cewek itu memaku sangat lama di depan mading. Tanpa berkedip. Tanpa ada rasa sungkan lagi perihal tangisnya yang semakin menjadi-jadi.
Mendadak kakinya gemetaran.
Sebelum semuanya kabur disingkap tangan indah yang baru saja menempel selembar kertas di samping brosur. Selembar kertas dengan rentetan tulisan rapi dan sedikit hiasan kolot.
__________
Jangan membahas luka. Ia adalah asal sebuah jalur bodoh tercipta. Membawa pada pelik. Untuk apa dipadu?
Jangan membahas tangis. Ia adalah muara dari bekas kebodohan. Menukik pertahanan. Menjadikan sengsara sepadan alur tak teguh.
Bahas saja bagaimana cara menyangkal permasalahan. Tanyakan pada takdir. Bagaimana kisah pedih berakhir.
Tanyakan pada diri. Bagaimana menjadikan luka dan tangis adalah dua hal yang tak rumit. Namun, jangan tanya bagaimana seseorang harus mengutarakan rasa sakit.
Oleh D.
__________
Elok menyergah. "Teori bard-cannon."
Cewek itu memutar tubuhnya empat puluh lima derajat untuk melihat siapa pelaku di balik prosais itu.
Si pemilik tas selempang yang tentu menyita perhatiannya. Si tampan dari MIPA delapan, Darin.
Cowok itu berhenti berjalan. Memutar tubuh sepenuhnya ke arah sumber suara.
Berdiri tegak menumpu lantai. Kedua tangannya berhasil dimasukkan ke dalam saku.
Wajah tenang. Sikap tegap. Tinggi tubuh menjulang ke atas.
Untuk pertama kalinya Elok bersitatap dengan cowok itu.
***