"Emosi tak selalu datang dari rangsangan. Karena rangsangan hanya 99% pengantar tanggapan. Satu persennya tidak merasakan apa-apa, tetapi mampu menguarkan emosi."
***
Sepanjang kegiatan kelas dua belas disusun sedemikian detailnya. Di hari ini untuk pertama kali, latihan try out diadakan.
Jika tidak salah tahun lalu segala kepadatan baru akan direalisasikan di semester dua. Namun, tahun ini schedule mendapat isian yang berbeda.
Angkatan tahun ini dituntut untuk menyelesaikan semua materi kelas dua belas diselingi latihan try out yang akan diadakan dua minggu sekali. Belum lagi bimbel pagi hari. Mulai bulan Oktober ini.
Sekolah mendadak menjadi terungku paling menyeramkan dengan bayang-bayang nilai sempurna. Sialnya tidak ada yang bisa berkomentar apa-apa karena alasan jadwal dimajukan sudah disetujui dalam sidang.
Semester depan adalah waktu yang singkat. Sembilan bulan yang dipotong enam bulan semester awal harus merelakan tiga bulannya di semester depan. Yang mana semuanya akan semakin berubah.
Try out, ujian sekolah, dan ujian nasional. Trouble maker yang sesungguhnya adalah keluh kesah itu sendiri. Namun, ya. Yang pasti tak sebecanda itu memainkan otak.
Lobus temporal tidak akan selalu kenal dengan apa yang didengar dan tidak akan selalu menangkap ujaran. Tak bisa dipungkiri bahwa otak akan sering lupa. Bisa jadi jarang memberikan respon.
Sama pula seperti mesin. Otak memiliki kadar kemampuannya sendiri. Bisa saja panas atau bisa jadi rusak karena suatu tekanan.
Sepanjang pintu kelas sunyi. Tidak lagi didekapi cowok-cowok kurang kerjaan dan cewek-cewek pencari sensasi.
Ruangan mendadak sepi. Meski ya, di beberapa sudut masih ada bisik-bisik yang entah persoalan apa.
Mendadak bangku di depan meja guru tidak ditempati. anak-anak sibuk berebut bangku paling belakang.
Bukan dusta. Kursi keramat dengan pemikiran-pemikiran keramat siswanya. Akan selalu horor bila membahas bangku itu.
Terlebih bila gurunya se-killer itu. Dengan kacamata bulat, tatapan tajam ke depan, duduk tegak, tangan melipat menindih buku tebal.
Tampaknya saja dingin. Namun, semenit kemudian ....
"Kami mendidik kalian untuk berhasil. Betul. Kalian harus lebih cerdas dari kami. Makanya kalau dinasehati nurut. Disuruh persentasi langsung maju. Jangan lola lola. Apa kunci sukses? Ikhtiar, tirakat. Apa lagi? Berdoa, tawakal—
Itu ke mana sepatunya? Apa diperbolehkan memakai sepatu berwarna di lingkungan pelajaran?"
***
Tawa tidak berhenti sedari tadi. Bahkan hingga terpingkal nyaris perut terasa perih.
Cerita dari Tian barusan tidak termuat sama sekali dalam rentetan bayang-bayang pikiran Elok. Cewek itu geleng-geleng kepala.
"Terus-terus, Bang Bagas diapain?"
"Gara-gara sepatu, dia disuruh duduk di depan Bu Nurul sih. Bangku depan kan mesti kosong kalo waktunya Bu Nurul."
Elok belum berhenti tertawa hingga nyaris tersandung palangan besi di belakang kantin.
"Heran ya. Sebenernya Bu Nurul guru Sosiologi, guru agama, apa guru BK?"
Tian mengedikkan bahu. "Bodo ah. Punya alter ego kali."
"Ngaco!" bantah Elok sembari menyentil dahi Tian tanpa melupakan tawa kerasnya.
Hari ini menggelap setelah kemarin panas sedemikian terik. Sudah pukul tiga sore dan suasana ramai mendominasi sepanjang koridor sekolah. Banyak yang memutuskan pulang ke rumah dengan dalih lelah belajar seharian. Banyak pula yang masih di kawasan sekolah menunggu jam ekstrakurikuler.
Elok dan Tian tidak menjadi bagian dari dua golongan itu. Namun, keduanya berada di golongan ke tiga. Yang mana masih malas pulang ke rumah meski tahu langit gelap.
"Ke ruang musik aja yuk! Sambil nunggu jam les kamu."
Elok mengangguk setuju. Dengan langkah yakin cewek itu berjalan lebih dulu ke ruang musik.
"Btw, El, tadi pagi udah sarapan?"
Elok mengangkat kedua alis sembari membulatkan mata. Mengangguk mantap. "Udah kok."
"Ya udah. Besok-besok juga jangan sampe nggak. Nanti asam lambung kamu naik."
"Okeh, Bapak."
Tian mempercepat langkah, menyandingi Elok. Dirangkulnya pundak kecil sang pacar sembari tersenyum tipis.
"Tadi berangkat sama Tante?"
Elok mendengus. "Ya sama siapa lagi?"
"Sama kembaran kamu, si Dea."
"Males lagi sama dia. Suka molor anaknya. Bilang on the way taunya masih tiduran di kasur nonton drakor."
Tian tertawa remeh. "Semua cewek kek gitu emang."
Pada kata terakhir yang diucapkan Tian, Elok berhasil melepas rangkulan. Cewek itu melirik tajam.
"Nggak, aku nggak gitu. Kamu juga nggak pernah nunggu aku lama-lama kan? Nah loh, cewek mana yang kamu ajak jalan?"
Meresapi situasi. Tian tercenung.
Cowok itu melengos sekilas sebelum menguasai situasi. Dengan senyuman menggoda dan kembali merangkul sang pacar.
"Sensitifnya mulai keliatan," godanya.
Tak ada respon lagi. Elok hanya tertawa kecil. Tampak bahwa ucapan yang tadi hanya candaan.
Sejoli remaja itu kembali melangkah penuh ke arah ruangan di ujung sana. Di lantai satu yang menerus dengan kolam ikan kecil di bawah tanaman bugenvil.
Tian dan Elok mempercepat langkah untuk memangkas waktu yang mereka punya. Pasalnya setengah jam lagi Elok ada les. Itu artinya mereka punya lima belas menit bermain.
Tian segera melepas rangkulan begitu sampai di depan pintu.
Ruangan berdinding keramik itu segera mengeluarkan atmosfer dingin. Terasa begitu temaram. Meski tak sunyi.
Alunan nada klasik dari dawai halus segera mengusik batin. Tekanan demi tekanan tuts terdengar begitu lihai. Lemas nan anggun. Harmoninya tak pernah luntur. Dari detik ke menit. Satu menit demi dua menit.
Di balik suara ramah, indah, dan menenangkan dari alunan piano terdapat wajah arogan dengan garis membentuk sudut mata tajam. Sialnya Elok tak bisa berpaling.
"Itu si anak baru. Bening parah."
Muka apa tepung kanji?
"Orangnya cool, cuek, kek di novel-novel weh!"
Diem-diem mematikan!
"Dia napas aja bikin gue bego!"
Segala rentetan suara yang keluar dari batinnya. Bersambungan dengan jeritan kaum hawa yang sering memperhatikan cowok bule itu di balik gorden kelas.
Elok meneguk ludah. Sungguh matanya menemukan godaan yang begitu Masya Allah.
Mendadak hawa menjadi panas. Padahal kesan pertama memasuki ruangan ini adalah suasana dingin.
Perasaan tercampur aduk. Itulah yang dirasakan Elok.
Cewek itu meneguk ludah sekali lagi. Masih menatap Darin. Di ujung sana, cowok itu memainkan piano dengan jemari-jemari lentiknya.
Hingga Elok tersandung kursi besi.
"Aw!"
"El?"
Tian mengernyit. "Sawan ya?"
Tian saja sadar!
Dengan gelagapan cewek itu memperbaiki tata berdirinya. Cewek itu menggaruk tengkuk sejenak sebelum menyipitkan mata.
Dia beralasan dengan menoleh ke sepanjang atap ruangan.
"AC-nya mati ya, Kak?"
Yang ditanya heran. "Hm?"
Elok hanya bisa meringis. Tak tahu harus menjawab apa.
Ya, karena memang dia panas sendiri. Gerah sendiri. Ter-Darin-Darin sendiri!
Elok mencoba menetralkan situasi sembari terus bergerak maju. Dia duduki kursi di hadapan Tian secara perlahan.
Sang pacar sudah memegang gitar untuknya. Menggenjreng sebentar sebelum mencari kunci yang tepat untuk memasuki intro.
Senada cinta bersemi di antara kita
Menyandang anggunnya peranan jiwa asmara
Terlanjur untuk terhenti
Elok mencubit lengan Tian sekali sebelum protes.
"Ini lagu jamannya Bunda karaokean tau."
Tian tertawa. "Ganti-ganti."
Elok mengangguk. Kedua tangannya bergerak semangat merampas gitar dari pangkuan Tian.
"Juicy Luicy, Tanpa Tergesa," ucap Elok. Memulai nada dengan instrumennya.
Dua orang itu kompak bernyanyi. Tian mengambil suara satu dan Elok dengan khas suaranya berada di tingkat dua.
Sebelum semuanya pecah.
Senar gitar putus. Wajah dua orang itu menegang.
Hawa panas semakin terasa sekalipun AC menyala. Derit sepatu merambat ke segala penjuru. Dibarengi makian brutal.
"Bego!"
Hanya dua detik dan semuanya tak karuan.
Di ujung sana Darin bangkit, menepis kasar tangan Maya hingga segelas milk shake menumpahi seragam abu-abu cewek itu.
***