"Tak mengapa, kemari saja. Tidak akan kusigar tubuhmu. Aku hanya akan bermain-main denganmu."
***
Hawa dingin tidak dia pedulikan. Siliran angin malam pun tidak membuatnya goyah.
Lampu kamar dimatikan dalam keadaan semua bukunya berceceran. Keadaan kamar mendadak berantakan.
Tidak biasanya.
Karena sekali lagi. Dia yang bergerak sesuai mood. Kini situasinya dia tengah malas mempedulikan sekitar.
Suasana menjadi semakin tak bersahabat. Udara malam menyeruak masuk melalui gorden. Sementara, gorden itu sendiri beterbangan. Belum lagi sunyi.
Cowok yang baru saja mengganti kaus cokelatnya dengan kaus hitam polos berlengan pendek itu beranjak. Dia raih earphone di atas nakas.
Pun kemudian dia melenggang ke balkon kamar.
Di sini dia menghabiskan sisa malamnya. Dengan alunan piano dari earphone yang merasuk ke dalam telinga. Menciptakan diafon. Buntu, bersarang dalam atma.
Dengan rokok.
Dia menyukai situasi tenangnya.
Kepulan asap rokok membangkitkan selera. Asapnya mengudara, yang seolah-olah ikut melepas beban berat dalam dirinya.
Dia mengembuskan napas sekali lagi. Lamat-lamat. Cowok itu memandang kerlip bintang yang disandingi bulan sabit.
Kembali mengembuskan napas.
"Dad ...."
Suaranya tertahan. Seperti tampak gugup. Dia tercekat.
Hingga pada akhirnya cowok itu menggerakkan bibirnya dalam diam. Dia hanya bergumam.
Sembari itu tubuhnya setengah dinaikkan. Dia meraih selembaran kertas di dalam saku dengan pergerakan ragu.
Cowok itu membaca huruf demi hurufnya kembali. Kali ini sungguh dia gemetar.
Surat panggilan orang tua. Cowok itu sudah bolos sekolah tiga kali dan terlambat masuk delapan kali. Itu artinya dia mendapat lebih dari poin separuh untuk kemudian diberi peringatan.
Tanpa sadar jemarinya sudah bergerak. Dia melukai telunjuknya lagi. Dengan digosok sedalam mungkin.
Barangkali akan timbul bercak yang lebih parah dari sebelumnya.
Bagaimana pada akhirnya dia tertawa. Di tengah air matanya.
Tawanya semakin kencang. Alunan piano dari earphone teramat keras. Hingga selintas pandang mengalihkan perhatian. Dia melirik ke bawah sana. Ke jalan raya.
"Bodoh!"
Makinya sekencang mungkin.
Cowok itu bangkit. Dia hampiri dinding pembatas kamarnya dengan ruang olahraga milik keluarga.
Darin memukul dindingnya keras-keras. Mengeras.
"Bodoh! Bego! Nggak guna!"
Cowok itu terus berteriak hingga suaranya nyaris habis. Tak peduli seberapa kuat dia memukul. Tidak juga peduli sekalipun suaranya terdengar keras.
Dia hancur dan hanya itu yang dipedulikan.
Darin tahu dirinya tertutup. Dia tahu semua hal yang dilihat orang lain adalah palsu. Dia tidak benar-benar tenang. Tidak pula benar-benar merasa baik di balik luka lebam atau darah mimisan yang sering dia tunjukkan.
Cowok itu hanya sembunyi. Dia berbenam di balik lorong yang teramat dalam. Kemudian apabila dia mengatakan semua keluh kesahnya pada hidup, menggema.
Lorong itu hancur lebur. Menyisakan dia yang tidak mendapatkan tempat untuk menghibur diri.
"Dad ...."
Tangan kiri yang semula sangat kuat itu rapuh perlahan. Bukan dusta lagi bila tangannya remuk. Gumpalan darah ikut menetes di dinding kamar.
Cowok itu terjatuh dari pertahanannya.
Darin meringkuk. Disentuhnya sepanjang jemari di tangan kiri. Dia gigit. Semakin banyak darah berjatuhan.
Cowok itu semakin meringkuk. Semakin sayu. Pun sedemikian sendu. Dia mendesis.
"Gapapa."
Kedua tangannya memeluk kaki. Tubuhnya disandarkan pada dinding. Darin membiarkan kepalanya menengadah.
Tarikan napas terdengar. Cowok itu memutuskan untuk memejamkan mata.
Terjaga. Dia berusaha hanyut pada situasi tenangnya.
"Jangan, jangan diulangi lagi. Menangis itu salah. Apalagi teriak. Nanti Daddy marah."
Suara dari anak kecil menghantuinya.
Dia merasa gagal. Merasa semuanya berakhir percuma.
Cowok itu memukul puncak kepalanya sendiri. Lagi-lagi dia gagal untuk tidak menangis lagi.
Tetes air matanya terus merembes. Cowok itu semakin merutuk.
"Sial!"
Menyedihkan.
"Sudah dibilang jangan menangis lagi! Nanti ketahuan Daddy!"
Mata hazel itu mengatup perlahan. Dia memutuskan untuk berbenam. Abaikan saja hawa dingin meradang.
Cowok itu memilih tidur lebih awal dari biasanya. Kalaupun tidak ada insomnia yang kapan saja merombak.
***
Pyar!
Suara keras dari pecahan botol kaca mendominasi keadaan.
Malam kian larut. Embusan angin yang menerpa merasuki tubuh, tak bisa ditepis lagi.
Hingga perlahan derap langkah yang dihasilkan dari hentakan sepatu menghantui. Pisau dalam genggaman dilayangkan.
Seseorang di balik jaket hitam menyengir. Dari sorot matanya, sungguh dia terlihat seperti sadisme yang siap membunuh lawan mainnya.
Jaket hitam bergambar burung gagak. Tubuh menjulang tinggi. Dengan satu sisi pundak yang terlihat ringkih, tetapi menyeramkan.
Pisau tajam semakin ditinggikan.
Hingga ....
Lepas sudah!
Tusukan mengenai dada sebelah kiri. Tepat di dada kiri korban. Seseorang di balik jaket hitam lagi-lagi menyengir.
"Rela kalo mata lo gue panggang?"
Desisan terdengar dari si pelaku. Tawa hambar menyelimuti.
Pisau yang baru saja menusuk dada kiri korban mencuatkan darah sedemikian banyaknya.
Namun, cowok itu belum puas. Darah yang mengalir kental ke sepanjang tepian jalan belum membuatnya tenang.
Dia mengaku ingin mandi darah. Seseorang di balik jaket itu ingin minum darah sebanyak mungkin.
Dia haus.
Maka dirinya harus berpesta dengan darah manusia.
"Atau, jantung lo gue jadiin sup?"
Belum ada jawaban.
Si korban. Berkaca mata bulat dengan rambut yang belum sempat dipotong. Kemejanya baru saja dilempar mentah-mentah entah ke mana oleh pelaku.
Si korban tinggal mengenakan pakaian dalam saja. Dengan celana jin yang mulai kusut. Celana jin berwarna pastel.
Dia cowok yang sedari tadi sudah menangis dengan mulut bungkam. Dia tak berani membantah apalagi mengerang perihal rasa sakitnya.
Si pelaku sungguh sudah membabi buta padanya.
Seperti sekarang ini. Si pelaku mendekatkan wajahnya. Dia tersenyum miring.
Tangannya memegang mesra sepanjang puncak kepala korban. Berikut dia usap telinganya. Dengan ditelusuri mesra. Kemudian beralih melepas kacamata bulat itu. Dia mengamati matanya lekat-lekat.
Si pelaku berpindah pandang. Dia telusuri hidung mancung itu. Pun berpindah ke mulut. Orang itu tertawa tipis.
"Menggoda ...."
Ucapnya pelan, tetapi menusuk. Jemarinya mengisap bibir manis itu sembari terus tertawa.
Si pelaku menunjukkan rasa tertarik yang berlebihan. Dengan memoles bibir sendiri dengan lidahnya.
Si pelaku semakin mendekat. Hingga tanpa perhitungan sama sekali. Tanpa aba-aba, si pelaku mencium bibir korbannya. Mereka yang sama-sama laki-laki!
"Atau mulut lo yang kenyel ini gue makan mentah-mentah?"
Si pelaku kembali berbicara. Tawa terdengar semakin kencang.
"Pilih yang mana?"
Belum ada jawaban. Cowok berjaket hitam itu menggertak.
"Kalo lo nggak jawab, gue hancurin lo sekarang juga!"
Belum juga menjawab. Cowok itu mendesis.
"Sial!"
Dia menggeram. Korbannya terlalu penakut!
Pisau yang sudah berlumuran darah dia layangkan ke udara. Pun hingga beberapa saat berlalu, cowok itu menusuk telinga korban secara brutal.
Tembus!
Pelaku tertawa keras.
Dia mengiris telinga korban dengan sayatan perlahan-lahan.
Pisaunya menerus ke pipi. Dilukai. Dengan dipilin kecil. Kemudian pisau dicabut sekasar mungkin.
Darah mencuar deras. Pelaku tertawa keras.
"Mampus!"
Tusukan itu belum berakhir. Si pelaku beralih ke dada korban yang sudah robek.
Dia kembali mengirisnya perlahan-lahan.
Korban hanya bisa diam. Atau ... barangkali dia akan selalu diam. Setelah ini. Dia tidur mengenaskan.
Si pelaku tertawa kencang.
Tawa itu mengudara. Pandangannya beredar. Hingga netra berhasil menemukan keberadaan seseorang di jalanan lengang ini.
Elok Purmaningrum!
"Ng ... nggak! Seriusan nggak liat! Serius nggak liat!"
Cewek itu lari sekencang mungkin menghindari sadisme itu.
Dia tahu pasti pelakunya siapa. Dia sangat tahu. Benar, sangat-sangat tahu.
Tidak mungkin cewek itu membahas apa yang sudah dia lihat ke orang-orang!
***