Wajah manusia di sana kaku haa pegap mengalahkan ke kagetan hingga membuat jemari kaku mendingin, bulir kringat membasahi Unna nampak berfikir keras, dirinya berusaha memahami ini semua.
"Kenapa gak bilang dari awal, kan bisa." Vokalnya terdengar dingin, Jahe menatap datar enggan berdebat hanya melihat cekcok antar mereka.
"Ma—"
"Jangan salahin dia, kalau jadi dia juga bisa berbuat apa. Kita cuman anak SMA biasa." Potong Veronica cepat, Anggita terdiam.
"Kalau begitu mending kita mempir saja ke kantor polisi dulu tapi—" Unna mengetuk jarinya berfikir, "Kita jangan terlalu mencolok, cukup kasih photo lalu kita semua balik, aku gak mau kita berakhir di introgasi, kalau di pikir emang bagus kalau jadikan berita tapi ini gak etis di jadikan berita sekolahaan sudah di luar konteks." Sambung Unna kemudian, semua menganguki setuju engan mendebat ujar ketua mading sekolah.
"Sekarang kita cari solusi jalan memberikan file itu ke kantor polisi ... lewat email?"
"Kau yakin," tawar Jahe bersuara. "Polisi jaman sekarang saja jarang menangapi laporan apa dengan di kirimi file saja mereka bakal bergegas, bakal nampak kita bocah lagi ber khayal."
"Tio, kau punya saran." Yang di anggil namanya tercenung menaikan bahu, tanda tak tau.
"Aku tak mau ikut campur dalam masalah ini, ini bukan hal sepele. Kita bisa dianggap main main, tapi ... kita bantu sebisanya saja." Jahe bersuara lirih, enggan untuk nimbrung mempermasalahkan kasus yang bukan tanggungjawab mereka.
"Serahkan pada orang tua korban, biar mereka sendiri yang menyelesaikan kita amati saja dari jauh bagaimana?" usulan Anggita mengheningkan suasana.
Hari itu ide dari keluarga vedavva mengunguli voting, flashdisc selesai dikirimkan ke keluarga Ayu putri –korban yang hilang, kabar santer terdengar mereka sudah mengurus ke kantor polisi atas bukti baru.
Di lain tempat, ruangan bernuansa kuning menjadi favorit sosok tengah membelakangi anak buahnya, segelat tequela dingin ia tengak habis.
"Siapa yang memfoto perempuan itu! Dari mana orang tuanya mendapatkan bukti itu, hah." Terdengar dingin tapi menususk siapapun yang mendengar, ancaman.
"Seseorang sudah mengirim bukti itu lewat kantor post Tuan," bawahan tersebut menunduk dengan suara tak gentar.
"Apa yang kau lakukan kalau begitu," tekannya berbalik menatap pria berkepala plontos.
"Kepolisian sudah kami bungkam, file yang sudah ada sudah di sabotase."
"Bagus, aku tak mau ada bukti lagi, untuk kepolisian di sana bisa di suap," sahutnya terkekeh.
* * *
Belakangan ini mereka hampir lupa kalau kalau sudah mengirimkan bukti besar kepada keluarga Ayu putri, nihil. Tak ada keberlanjuatannya bak di telan bumi.
Pukul 7 pagi membuat langkah Jahe tergesa gesa, sepedah dengan ban bocor tentu bukan hal yang bagus memilih berlari mengejar ketertingalan adalah opsi terbaik dari pada diantar dengan mobil yang masih berada di bengkel.
Tungkainya mengerem mendadak hampir menubruk sosok pejalan kaki melamun.
"Awass!!!!" hal yang tak di gubris menjadikan tubuhnya tersungkur ke tanah jangan lupakan lecet sana sini hasil kecepatan kaki berbelot mendadak.
"Ibu gak papa kan, kenapa lewat mendadak entar saya tubruk loh, bukannya jadi kopi malah jadi ngelinding, Bu" tegur Jahe membersikan noda sana sini.
"Mamah, mamah gak papa kan? Asataga nak, kamu gak papa kan." Panik seorang pria yang tergopoh gopoh mendatangi keduanya.
"Maafkan istri saya ya—"
Jahe melihat keduanya bingung, ia mengamati Ibu ibu nampak linglung.
"—Putri kami hilang, awalnya kabur atau stres karena pacarnya meninggal tapi Istri saya gak percaya tapi kami di kirimi file kalau putri kami gak kabur sayangnya polisi gak menangapi makannya dia makin linglung, maaf ya." Mohonya sendu, dirangkulnya pundak sempit pasangannya memohon maaf serta undur diri mengajak kembali sang istri, usai ajakan pria itu untuk mengobatinya di tolak secara halus.
Pertemuan singkat serta penjelasan tadi merobek kenyataan, kepolisian bungkam.
Langkanya makin gencar berlari engan peduli rasa nyeri serta perih bukan untuk mengingat bel sekolah berbuyi tapi tindakan mereka telah di sia siakan.
Memasuki kelas dengan kondisi agak berantakan membuat guru tengah mengajar menjadi iba. Veronica mengawasi sobat alay-nya tajam.
"Kau kenapa lama, dan ... kau baik kan?"
Singatnya Jahe mengaguk enggan banyak bercakap. Secari kertas sudah banyak coretan tinta secara sembunyi di todongkan pada Ve, menghasilkan kerutan di dahi.
Mengamati tak ada yang memperhatikan mereka terutama lelaki tengah menerangkan di tengah kelas, berlahan Perempuan dengan habit rambut ikat ekor kudanya membaca isi pesan perempuan dengan julukan Jahe.
Kasus permpuan itu belum selesai
Polisi bungkam dengan buktinya, aku berpapasan dengan orang tuanya.
Tak panjang deret kata perkata itu cukup membuat Veronica meremas gemas kertas tak bersalah.
"Kita urus nanti." Gumam Ve sebagai balasan.
Emosi di tahan semenjak tadi kini sedikit terluapkan menceritakan progres kasus terlupakan sejak Jahe mengisahkan kondisi keluarga Ayu Putri.
"Mau di munculkan dalam koran sekolah ini kasus kriminal bukan bahan yang pas, jadi kita bisa apa." Anggita merasa ingin menangis.
"Kita ungkap saja kasus penculikan, biar kita saja yang mengurus kasus tersebut." Unna menopangkan dagu.
"Aku setuju tapi kita harus buat rencana matang."
"Gimana kalau kita lacak saja?" tio memberi ide. Dengan berlahan ia jelaskan secara rinci apa yang bisa mereka lakukan dan memulai dari mana.
"Bagus, lumayan juga ide mu." Puji Unna membuat Tio mengosok hidung tak gatal, merasa bangga.
"Kalau gitu kita mulai, demi kaum remaja masa kini."
Jahera kerap di sapa Jahe tak begitu antusias akan tindakan mereka, rasa kasihan memang bercongkol dalam benak setelah melihat kondisi ibu dari Ayu, tapi. Ragu juga tak kalah kuat mengelayuti dirinya.
"Mulai dari mana kita dulu buat nyari mereka." Ini suara Anggita, wajah engannya tak se-semangat Veronica ataupun Unna Tio sedikit apatis dari awal namun kini ia yang mempunyai ide maju lebih dekat mengorek.
"Besok kita mulai dari model serta CCTV sekitar."
"Aku bisa Hacking, akan ku usahakan atas itu."
"Aku percayan pada mu," Unna melirik lainnya. "Kita ambil tindakan yang kita bisa aku cuman gak mau kejadian ini berulang sekalian kita selidiki kasus ini bisa jaid berita membantu club kita dari kematian."
Semua seperti adegan film barat tengah perang, perasaan tegang sebagian penasaran membuat mereka ingin mencoba memecahkan kasus di samping rasa kecewa yang cukup pekat kepada kepolisisan, laptop serta semua data angka nampak rumit di pahami mudah oleh Tio, kringatnya tak luput membasahi baju.
Layar menunjukan sebagian CCTV kota telah berhasil mereka rentas.
Berjam jam mereka lalui tak ada kejelasan serta harus mengulik lebih dalam mendapatkan mobil van hitam.
"Kak! A-aku rasa aku menemukannya."