Chereads / DEVIL'S TOWER / Chapter 13 - ruangan merah

Chapter 13 - ruangan merah

Kami di persilakan mandi, jujur cukup segar merasakan air mengalir kulit lagi. Kami bersamaan keluar dengan pakaian, cukup bikin sakit mata. Baru kali ini aku merasa malu serta minder, berkumpul dengan perempuan cantik cantik pernah aku lihat.

Maju kini ku kenakan sangat menempel kulit, membentuk lekuk tubuhku, dengan warna nude. Aku merasa seperti telanjang di sepan orang banyak.

"hai," suara nya renyah. Hampir aku tersentak kaget.

"Oh, hai."

"Untuk tadi terimakasih ya, cuman kamu yang mau menolongku." Senyumnya tipis,, ada bekas memar tercetak samar, makeup tak begitu bagus menutupi memarnya dari jarak sedekat ini.

"Aku tak bisa bantu kamu banyak," ujarku pelan. Ia menunduk memainkan jemari lentik nya. "kita yang sabar untuk cari cara agar bebas dari sini

"Aku Naomi, jika bukan berkatmu mukin aku pasti remuk bahkan nyawaku sudah gak akan tertolong lagi, berkatmu juga anak itu terselamatkan, setidaknya itu yang aku dengar tadi."

"Syukurlah jika semua baik baik saja. Dan anak itu sudah di obati kan, dia selamatkan." Aku memeluk tubuh Naomi, perempuan baru aku kenal sesaat sebelum aku lepas, "Namaku Ayu putri, pangil nama ku Ayu."

"Dan kau tau, aku dengar anak kau tolong umurnya masih di bawah umur."

Mataku membola, tentu aku cukup kaget, "sudah ku duga," lirihku dengan sendu.

"Tempat kita berkenalan sunguh gak enak." Aku menguk, Naomi sepertinya orang baik, tapi aku setuju dengannya, tempat kami sunggung ....

"Kalian yang di sana, cepat kumpul ... hari ini jadwal kalian belajar dari sinior!!" bentak seorang pria kepala plontos, aku agak kikuk, banyak mata memandang kami aga kesal mungkin.

Ruangan dengan nuansa senada, merah marun namun bau menyengat aroma lilin trapi cukup membuat kepalaku pusing, baru kali ini ada orang memakai aroma sememabukan ini, apa gak pusing.

Kami masuk di giring seorang lelaki tiap dari kami masuk dengan tiga orang perempuan, di depanku kini mirip ruang kosong hanya ada meja kursi, tertangkap sebuah tiang besi, entah buat apa dalam ruangan mengunakan benda tersebut.

"Kalian barnag baru sampe ya, tuan. Tolong keluar dulu ya ... biar kami siniornya yang mengajarkan mereka." Akuh dari salah satu dua wanita di sana, mereka duduk dengan anggun kaki bertautan, aku meneguk air liurku sendiri. Mereka lebih mengimidasi.

Sosok lelaki mengantar kami pun bergegas keluar ruangan.

Isi kepalaku rasanya seperti labirim, di buat bertanya tanya apselanjutnya akn terjadi pada kami sekarang.

"Huff ...." kakak cantik dengan gaya elegan rambut tergelung rapi menghela nafas cukup berat, kami bertiga terkesiap, kalau kalau mereka lebih menyeramkan dari sosok Mama.

"Namamu siapa?" tunjuknya dengan putung rokok.

"Naomi, nona."

"Jangan pangil kami Nona, cukup sinior, jika di luar, kalau kita seperti ini, pangil nama saja ... perkenalkan aku Rose dan sebelahku Ericka," katanya memperkenalkan diri. Aku mampu menahan batuk oleh kepulan asap rokok bahkan aroma trapi yang sialnya cukup menyengat bagi ku ini, sayangnya sosok yang duduk di sebelah Naomi nampak ekspresif sekali, ia sama sekali tak suka aroma rokok.

Suara batukan dari perempuan berambut ekor kuda nampak mengalihkan perhatian perempuan berbaju merun bernama Ericka.

"Rose, tolong matikan putung rokokmu, anak itu tak kuat rupanya."

"Astaga maafkan aku, okay," bara api kecil mulai lumat dalam asbak. Wajah mereka tadinya angkuh –menurutku. Kini berubah bersahaja, suara mereka di lirihkan.

"Namamu siapa anak manis, perkenalkan namamu Ririn," jawabnya pelan cukup lirih untuk terdengar jika kami tak berdekatan.

"Oke Ririn, Naomi dan ...."

"Ayu, namaku Ayu kak," balasku seadanya.

"Kalian kalau sudah menginjakan ke mari, kalian tak akan bisa pulang."

Ririn, gadis itu bergumam, "Gak mungkin kan, aku mau pulang ... kalau gak pulang siapa yang jaga Nenek." Sengaunya mulai menangis, baru duduk rasanya aku sudah tau kisah pilunya.

"Tangismu tak akan membuahkan apapun!" Tegas kak Rose.

"Kalau kalian berharap lepas dari sini kalian salah besar, kami jauh lebih dulu di sini. sama seperti kalian, korban penculikan. Nyatanya tak ada yang peduli dengan kami di sini." pandnagan mata kucing kak Ericka nampak berair.

"Jangan harap kalian hidup enak di sini, di sini harus kerja keras. Kalau kalian tanya apa kami bangga duduk di sini tentu jawabannya sangat menjijikan untuk sekedar berdiri tak mampu. Kalian tau pelacur, itu kalian di waktu mendatang."

Naomi nampak tak terima mengigit pipirnya erat, tangannya pun mencengkram ujung kain baju.

"Aku tak mau kalian terjebak realita palsu, hanya mau kalian tau dan membiasakan diri. Bersukur kalian itu masih hidup, karena setauku Mr, orang yang menyuruh orang menculik kalian adalah orang yang cukup bringas. Kalau gak mati ya oranggan nya di jual kalau ngak," Matanya berlarian meamndangi kami dari ujung kepala dan kaki, "Di jual."

"Tapi Mama, setidaknya masih terbilang baik untuk ukuran germo, dia memberikan jam istirahat dan makan, serta kebutuhan lainnya, terkadang untuk umur seperti kalian hanya akan menjadi host, menemani orang minum alkohol." Terangnya meinum cairan kekuningan.

"Sudah gak ada jalan mundur." Tandas kak Rose membuang muka.

"Ka-kak, apa gak ada ynag mencoba kabur?" suara Naomi bergetar.

"Sudah, tapi hasilnya nihil. Sekarang tak kada yang berani melarikan diri lagi, karena dulu ada yang mecoba melarikan diri, Rere namanya. Sampai tiga atau empat kali nyatanya tertangkap lagi, dan hari itu dimana dia tertangkap terakhir kalinya...."

"Gagal lagi kak."

Rose mengeleng pelan, "Bukan gagal lagi, tapi pengawal Mama mengumpulkan kami, sembari menenteng kepala Rere, saat itu aku dan Rose gak bisa berbuat banyak, yang kami semua sadari ini adalah tempat kematian kami, satu sama lain saling menguatkan."

Ririn terngaga, bahkan isakannya mulai surut, "Kita akna mati ... kita akn mati." Ulang Ririn ketakutan, Rose berdiri menghampirinya, tak terduga bagi kami semua. Suara tamaparan keras menyapa pipir Ririn, Rose menatap dingin.

"Guankan telingamu untuk memperhatikan ceritaku, kita tak akan mati jika menuruti Mama, tapi nyawa kalian serta nyawaku tak ubahnya rokok. Kalau sudah tak berguna tinggal buang atau tak sesuai selera tinggal beli lagi, bahkan bisa di berikan ke siapapun. Mirip benda publik ... jika kau mati di sini, nenekmu jug atak akan tau, tapi jika kau hidup dan suatu hari kau bisa lolos setidaknya kau tau, kau masih bisa datang ke tempat nenekmua!!!" bentak Rose memilih berlengng ke luar.

"Mau kemana?"

"Ngeroko, kau urusin anak itu sendirian."

"Aku tak akan meminta maaf mewakili Rose, sama sekali ngak. Aku dan Rose sama seperti kalian dulu, naif ... kalau kau berfikir kau hidup untuk nenekmu, Rose sejak dulu sudah tak punya siapapun bahkan ketika pamannya sakit dia sendiri yang menawarkan untuk bekerja, sayangnya itu Cuma itu daya pria brengsek ... Rose di bawa ke sini bukan untuk bekerja tapi di jual, pamannya sudah gila judi memanfaatkan ponakannya yang bodoh. Jangan pernah berfikir dunia ini seindah yang kau kira."

Duniaku rasanya kacau. Tangisku rasanya tak ku bendung, andai aku lebih mementingkan keluargaku, bagaimana nasih Ayah dan ibuku.