Matanya sembab, habis menangis. Ayu merasa dirinya telah kotor malam makin larut tamu makin ramai dia dipaksa melayani para pria berduit, sekedar duduk mendengar ocehan menjijikan membuat dia muak hampir hampir ia mendapatkan plecehan lebih.
"Sudah, kau tenang ... selama umurmu masih bocah dan mereka belum se-kaya itu untuk mengambil hartamu kau masih aman."
Rosie bertopang dagu, asik akan nikotin disela jemari.
"Kak, kapan kita bisa pergi dari sini," tanyanya dalam sela tangisan.
"Jangan mimpi." Rosie bangkit meningalkan Ayu dalam tengah hiruk pikuk.
* * *
"Apa kau tak merasa curiga, belakangan ini kasus orang hilang seperti diabaikan?" Irene memandang tajam, pria didepannya nampak masih sibuk dengan berbagai laporan.
"S-Shht, jangan ngomongin ini." Jemarinya tegak lurus menutup bibir Rio, memaksa Irene menjaga ucapannya.
Irene, perempuan dengangan rambut coklat mencolok menganguk malas, matanya menelisik pegawai yang lainnya nampak sibuk.
"Ayo, bilang sini." ulang Irene, banyak kasus yang masuk namun bagian ditektiv belum mendapatkan limpahan berkas akurat untuk penyelidikan.
"Dasar pemakasa," gerutu Rio. "Yaudah, iya." Balasnya mulai terhasut.
"Kudengar kasusnya ditutup, diduga anak yang menghilang anak yang memang dalam rumah tak nyaman dan melarikan diri, jadi kasus nya akan ditutup."
"Kasus apa yang akan di tutup?!"
Amara, ketua mereka melipat tangan. Menuntut penjelasan.
"Ke ruangan saya segera."
"Rio, ketua?"
"Kalian berdua, segera." Amara berjalan lebih dahulu.
Ruangan bernuansa kuning nampak ceria, tidak dengan suasana dua orang tengah di sidang dadakan."
"Jadi bagaimana, hasil gosip kalian membuahkan apa sekarang?"
Perempuan nampak tangguh, menusuk kedua bawahannya dengan tatapan dingin. Mata sekelam arang memicing menagkap kegugupan kedua bawahan.
"Maaf ketua, kami salah." Sahut mereka serempak, pandangan mereka menatap lurus kedepan tak ada yang berniat menatap raut wajah tegas ketua mereka.
"Jangan merasa bersalah, aku tak berniat memarahi kalian." Mara menutup jendela rapat.
"Kalau kalian penasaran akan hilangnya orang yang sama sekali belum di proses." Suaranya memelan, "Segera kalian selidiki, aku curiga kasus ini diabaikan karena kesengajaan," tandasnya melanjutkan. Irene serta Rio, wajah mereka menegang.
"Apa kalian siap menerimanya? Tapi aku pinta kalian rahasiakan ini dari atasan."
"Baik, kami siap." Hormat mereka, Mara memberi kode untuk segera pergi dari hadapannya.
"Pilihanku sudah tepat begini." Suara desahan kasar lolos begitu saja dari celah bibirnya.
Suara gebrakan pintu cukup mengagetkan Mara, ia terlonjak dari kursi, matanya nyalang melihat lawan bicaranya.
"Apa apaan kau ini, ini kantor."
Ben, lelaki itu. Mengambil kursi kosong mengabaikan ketidaksukaan si pemilik ruangan terhadapnya.
"Mar, kau sama sekali tidak membantuku."
"Jangan bahas soal itu ... aku juga berusaha," tegas Mara.
Ben selaku teman sejawat memiliki jawabatan lebih tinggi sama halnya Mara, mengusap wajahnya kasar.
"Sudah lama aku gak liat dia ... ." perkataan Ben mulai bersahabat, lingkaran mata mulai menghitam membuat Mara kasihan.
"Jangan minum kopi lagi, tugas mu terlalu banyak untuk satu kasus mengunung."
Mara mengambil sekaleng susu dari lemari kecilnya, Ben membalas dengan samar.
"Aku ingin ditugaskan dalam kasus penculikan dan kriminal, kenapa tugasku makin kemana mana, sudah bobrok tempat kita."
"Memang kau mau berharap apa? Gak akan membuahkan hasil kalau kita tetap diam saja kan? Berharap ada petunjuk tentak adikmu, Ben! Aku sudah bilang jangan terlalu patuh menjadi anjing." Sarkas Mara hanya melirik.
"Aku cuman mau ketemu dia, aku yakin dia masih hidup Mar."
"aku benci mendnegar kau mengeluh Ben, kita cari sama sama, kau juga jangan bergantung dan menungu perintah, kau harus mencari sendiri."
"Kita bagian dari kepolisian bukan brandal."
"Setidaknya sesama brandal bisa menemukan brandal lain, jangan harap kau di tugaskan seperti apa yang kau harapkan, Ben."
"Kau tau kasus penculikan yang kini marak? Bukankah itu sama dengan kasusmu?"
Ben menatap pungung Mara, menganguk samar sebagai jawaban.
"Ku dengar karena keluarga yang kehilangan kebanyakan bukan orang berada atau yang memilik masalah keluarga bukankah itu aneh? Mereka terlalu rapi dan lama mengawasi para korban untuk memastikan resiko mereka kecil, di lihat motif nya ini bukan soal uang untuk memeras tapi memang perdagangan manusia," Mara terdiam hening sesaat, kemudian kembali berbicara.
"Mungkin ini legal kalau kita menyelidiki tanpa surat tapi bagaimana kalau atasan kini tangannya kotor untuk sekedar membantu, terlalu aneh untuk kasus seperti ini di hiraukan, kisar ... empat, lima?" Mara nampak menimang nimang. " kisar dua tahun sudah hampir ada sepuluh kasus orang hilang dengan ciri serupa, masih muda, perempuan, dan jelas mereka punya masalah keluarga atau financial."
Kaleng putih hampir remuk ditangan Ben, nampaknya ia memang harus mengikuti sara Mara.
"Aku tak yakin akan melangar kepolosian untuk mencari adikku."
"Tapi kepolisian yang ada kau didalamnya juga tak membantumu."
Ben menganguk membenarkan, dia hampir beberapa hari belakangan mencari kasus penculikan, adrenalin milik lelaki itu terpacu seolah ia akan menuntaskan kasus hilangnya para siswi sayangnya selalu buntu.
"Jadilah brengsek sekali kali, aku terlalu heran denganmu bisa kau terlalu lurus namun buta." Mara memijat pangkal hidungnya, pagi ini dia sudah disuguhkan perdebatan.
"Akan kupikirkan lagi." Ben hampir memutar kenop sebelum mendengar ucapan Mara.
"Seberapa lama kau kuat mandi dengan rasa bersalah, kau juga harus seinci bumi tak akan luput dari dosa orang serakah."
Kalimat Mara membuat Ben tak nyenyak dalam duduk, bingkai photo anak kecil dan remaja begitu hangat, Ben menatap nanar kenangan indahnya.
"Kurasa kali ini mengambil kesempatan dengan sedikit pelangaran tak terlalu buruk." Monlog Ben.
Dentingan ponsel menyadarkannya.
[ Janga terlalu lama bersedih, nanti malam kita makan bersama biar aku yang teraktir
Kau sudah melakukan kerja yang bagus]
Ben tampak tak minat, ajakan dari seorang atasan, berpesta. Konyol sekali membuat acara saat Ben malah tak berhasil menuntaskan tugasnya sebagai polisi, dulu ia berfikir ini semua adalah kasih sayang atasan pada bawahan sekedar penyemangat saat gagal tapi makin lama Ben merasa tak nyaman seolah bukan prestasinya namun 'kekalahan' atau 'membantu' sang atasan merasakan posisi aman lebih lama.
'Benar kau Mara, aku makin lama muak ... mungkin mereka tak terlalu bersih untuk dekat denagnku."
Selanjutnya Ben menolak secara halus ajakan sang atasan, beralasan dia ada acara mendadak soal keluarga di luar kota.
"Kau kenapa?"
"Tidak, tak biasanya bocah itu menolak ajakanku untuk acara makan makan." Pria dengan kriput nampak terlihat mengacuhkan pean Ben, kembali menegak Beer kaleng diiringi senyum tipis.
"Kalau tikus berani berulah, akan aku injak." Gumamnya tak disari sang teman bicara.