"Kau, pelan pelan."
"Kakiku kau injak begok ... sana," Jahe mengusir Anggi agar berjalan lebih cepat.
"Ayok, jalan ke samping." Ve mengarahkan jalan memasuki belakang rumah.
Kepergian mereka dari rumah paling ujung dari lainnya hanyalah sementara, sepeninggal pemilik rumah mereka nekat memasuki pekarangan rumah usai merasa aman. Langkah mereka tak putus saling beriringan dengan Veronica berdiri paling depan.
Dari luar kaca sudah cukup gelap sulit untuk memprediki apa yang ada di dalam sana.
"Kita di sini bukan maling, kenapa malah kayak gini sih," dumel Anggita mengikuti langkah Veronica, mereka memang bak maling sekarang.
"Eh, ada pintu yang kebuka!" sambung Jahe setengah berteriak girang.
"Siapa yang masuk duuan kesana?" Anggita berujar. Mta mereka saling berpandandnag.
"Jahe aja deh." Ve bersembunyi dibalik punggung si pendek.
"Terus antar ajadi maling entar aku mau dibunuh, gak ada pilihan bagus apa," gerutu Jahe akhirnya melengos masuk lewat pintu belakang.
"Terus kita ngapain."
"Nungguin disini aja."
* * *
Mereka tidur dengan empat orang teman sekamar, terdiri dari dua ranjang susun sudah berkarat.
"Kamu inget kenapa bisa masuk kesini?"
Gadis yang paling muda tersebut menganguk lemah, Naomi cukup kasihan melihatnya.
"Bisa kamu cerita?" perempuan dengan ekor kuda begitu penasaran.
"Aku dijual, bibiku yang bilang kalau nanti aku ditukar dengan uang." Jelasnya tenang.
Ayu baru tau nama anak perempuan itu, "Kiki."
"Iya kak," sahutnya tenang. "Kamu gak niat kabur?"
"Udah aku cobat ..., gagal."
Wajah mereka semua nampak sudah lelah dan tak begitu bersemangat, mereka mulai besok pasti akan di pinta untuk melayani orang asing takk mereka kenal, mengerikan.
* * *
Teriakan berasal dari dalam rumah menarik perhatian keduanya bergegas menyusul Jahera, sosok anak kecil tergeletak lemas terkapar begitu saja menari perhatian mereka.
"Ma-mayat."
Ve segera mengecek nadi anak kecil berpakaian lusuh, "Masih hidup."
"Kita bawa aja sebelum orang nya balik."
"kalau dikira penculikan bagaimana?"
"Gak mereka yang lebih mirip penculik, ini mah. KDRT," seloroh Anggita.
Veronica mempunyai fisik paling memungkinkan bergegas mengangkat tubuh ringgih si anak perempuan asing, "Ringan banget, gak di kasih makan apa?"
"Udah ayok."
"Chatku, kok belum di bales sih!"
"Kenapa kak?"
Unna merasa tak nyaman sudah cukup lama ketiganya sama sekali tak ada balasan, Tio meletakan laptop mendekati si anak pintar. "Udah ditelepone?"
"Udah, tapi belom bal—"
Suara deringan telepone menghentikan kalimat Unna, dilihat pesan dari Jahe.
"Mereka ada dirumah sakit!"
"Kenapa bisa, apa ada yang cidera!" Tio ikut panik. Tanpa ba-bi-bu mereka berangkat menuju tempat sudah dikirim lokasi keberadaan mereka.
"Kalian mengagetkanku, ku kira kalian kenapa kenapa." Anggita menyuruh Unna terdiam sebentar selagi menunggu hasil pemeriksaan dokter.
"Pasien sepertinya mengalami gizi buruk, serta kekurangan cairan bersyukur kalian cepat mengantar adik tersebut kemari sebelum tubuhnya sudah tak bisa mentolerir," jelas sang dokter. Dokter dengan kepala setengah botak disusul suster pergi meninggalkan ruangan.
"Dia siapa kak?"
"Mana kami tau, tadi setelah ngikutin intruksimu yang setengah setengah, ada rumah yang cukup mencurigakan, bener ada mobil hitam juga, dan disana kami ketemu anak itu."
"Aa dia salah satu anak korban penculikan."
"Kita tunggu dia sadar dulu gimana, besok kita balik ke sini sekalian."
Semuanya menyetujui ajakan Unna, tubuh mereka cukup penat hati itu, berjanji akan kembali kemari menengok si anak.
Melihat kondisi anak yang belum dia ketahui namnya membuat jahe terdiam sepanjang jalan, tak banyak berbicara. Jahe hanya mengamati tingkah teman karibnya, ikut terdiam.
"Apa aku cari tau sendiri ya?" gumam Ve sesampainya dirumah, "aku coba masuk ke tempat itu lagi kalau gitu." Dia beru ingat Tio pertama kali melihat kejadian tersebut saat dirumah kosong.
Berbekal senter, makanan, serta sudah berganti pakaian Veronica menuju lokasi mengoes sepeda gunung milik Ve.
Nafas naik turun mengejar tujuan sebelum lagit makin gelap, keberanian Ve pantas diacungi jempol. Ruangan gelap pertama kalinya dia liat setelah memasuki tempat asing di sana.
"Apaan itu." Sebuah gelang ronce warna pink tertinggal disana, "Seingetku gak ada dalam photo sekalipun Si korban pakek ini, apa ini punya dia ya?" segera Ve memasukan gelan dalam saku celana.
Cahaya keluar dari benda tabung cukup membantu penglihatan Ve, ruangan bercabang dengan dinding berlumut cukup pantas menjadi tempat wisata horor. Alis gadis blesteran korea itu bertautan membentuk garis lurus.
Sobekan baju? Warna kain hitam bebahan jeans tentu bukan bagian seragam seperti Tio lihat, "Jadi korbanya lebih dari satu orang?" monolog Ve, meremas kain tak bersalah menyalurkan rasa kesalnya.
Derapan langkah membuat Ve sadar dirinya harus bersembunyi secepatnya.
Samar Ve mendengar percakapan via telepone tengah mereka lakukan secara bersama, sosok disebrang Ve duga adalah boss mereka.
"Boss minta kita cari ke temoat lain lagi, biar gak curiga."
"Padahal disini itu lebih mudah korbannya." Keluh yang lain sambil menghisap putung rokok.
"Ya, disini memang gampang tapi kalau keseringan boss polisi juga curiga."
"Bukannya udah disuap."
"Memang tapi kalau sering bisa bisa sudha gak bisa di tutupi, mending nurut aja."
Selanjutnya Ve bisa mendengar mereka menjauh usai mengobrol sambil asik merokok.
Tubuh Ve melemas dari balik tembok, semuanya terdengar jelas olehnya, percuma memang kemari kemarin mereka meminta bantuan dari polisi korup.
"Aku harus cepat kabari yang lainnya." Ve merain sepedah mengoes secepatnya dirinya benar benar harus membantu mereka, setidaknya ini bukan hanya satu orang korban, semuanya dalam bahaya. Ve cukup kalit aapa yang mereka lakukan kepada anak dibawah umur serta pada perempuan muda.
Kita semua harus benar-benar menyelesaikan kasus ini.
Pesan yang masuk dalam whatsap grup memacu rasa panik Unna, tak biasanya Ve menjadi cukup serius untuk mennagapi hal ini, dalam hati Unna sudah was was, penemuan pada anak tadi sudah membuat Unna urung maju.
"Kamu kenapa dek." Kembarannya nampak heran sikap Unna gelisah sedari menerima pesan temannya.
"Gak papa kak," cepatnya.
Sama sekali tak mau ambil pusing orang yang berwajah sama dengan Unna memilih pergi, mencuci piring makannya. "Kalau ada maslaah cepat diselesaikan."
"Iya tau."
"Jangan di tunda tunda, gak baik."
"Tapi kalau ini berbahaya giamana."
"Kalau sepadan dengan hasilnya, kurasa pantas diperjuangkan tidak? Balik ke kamunya sih."
Unna merenung sesaat, enggan menangapi perempuan yang lahir 10 menit lebih dulu darinya. Ragu masih membuat Unna maju mundur untuk melakukan hal cukup gila, tapi ini semua juga idenya, serba salah kalau begini.
"Bisa gila akuu!"
Ronna, kaget dibuat sikembar, adiknay mengusak rambut hingga acak acakan samai bertinggak ajaib.