Chereads / DEVIL'S TOWER / Chapter 10 - Mencari 010

Chapter 10 - Mencari 010

Semuanya sepakat untuk mencoba menyelidiki kasus ini, Tio serta Unna sibuk mengecek segala sistem CCTV tengah di rentas sedang ke tiga gadis remaja sudah berganti pakean casual berjalan di bawah terik matahari melangah dalam jalan setapak.

"Mana lagi nih?"

"Tio belum ngasih kabar, terakhir gampar terekam ada di sekitar sini, mana di suruh nyari sendiri pula." Anggita mengeser terus layar ponselnya, kesal.

"Kau mau menghancurkan HP mu ya?" ucap Jahe melirik tingkah Anggita.

Anggita memanyunkan bibirnya secepat kilat memasukan ponsel bergambar Doraemon dalam saku jeans.

"Kita di suruh muter muter mulu apa gak capek, lama lama bisa loyo aku nya ... teman mu juga kenapa jalannya cepat bukannya bareng kita."

Jahe mengangkat bahu tanda tak tahu temannya tadi pergi kemana dengan terburu buru.

"Jae, nama mu jahe beneran?" celetuk Anggita berjalan beriringan dengan gadis bob di sisi kanan.

"Jahera, tapi garena anak anak suka usil jadilah Jahe temannya lengkuas jadi julukan ku," jelas Jahe sesekali mengamati jalanan. Anggita menganguk pelan walau orang berada di sebalhnya tak akan mengamati al tersebut

"Soal kau dengan, hem ... dia, kalian memang seperti itu?"

Jahe tersenyum tipis melihat Anggita seolah nampak tanda tanya di atas kepalanya mengelilingi.

"Kelihatan bar bar 'kan? Aku terlalu banyak harus terimakasih pada dia dan anak club kita lainnya, walaupun terlihat urakan Ve anak yang baik. Anggita, itu namamu kan sering bergau lah dengan kami kau akan tau anak itu tak seburuk tampang nya." Melihat kemunculan permpuan bertubuh jangkung Ia terkekeh mengingat kekocakan Ve dari ujung jalan melambaikan tangan dengan semangat.

"Kau harus mencoba dekat dengan kami, ku dengar dari Unna kau juga agak gugup dekat krumunan orang 'kan, ayo saling mengenal," ungkap Jahe membungkam anggita persekian detik sebelum menyusull keduanya.

"Aku menemukan sebuah cafe, kita bakan dulu disana—"

Anggita ingin melengos sangking tak percayanya, kenapa dia berfikiran makan dengan cantik sedang di tengah misi.

"—Aku dengar cafe itu memilik CCTV di lewati mobil penculik lumaya kita bisa istirahat sambil nanya pemilik Tio jangan terlalu diandalkan kalau sisanya kita bisa cari sendiri, ngurai beban kuota," kelakarnya memimpin jalan setengah melompat kegirangan, mirip anak TK di jemput orang tuanya.

"Persis anak anjing," gumam Anggita dengan bibir terpatri senyum tipis.

Manik indah ketiganya mendapatkan sembutan pemandnagan toko sederhanan, nuansa pastel dengan balutan pecinan membuat tempat tersebut nyeleneh bukan dalam artian buruk mengingat mereka masuk bukan jalanan raya menyajikan nuansa tersendiri.

"Gimana, baguskan."

"Yakkk!!" pukulan langsung di hadiahi ke lengan Veronica gadis blesteran tersebut meringis ngeri, pukulan Anggita cukup kuat walaupun tak mematikan.

"kau kenapa berbisik dekat telingaku mau bikin aku merinding," cecar Anggita mengelus daun telingannya ia yakin pasti memerah.

"Dasar kang usil harusnya marga mu bukan Lee, Gitt. Cuekin setan ini yuk," ajak Jahe meraih pergelangan Anggita menuntun sudut ruangan dengan meja warna kayu muda.

"Kalian mau pesan apa nih, aku traktir ya."

"Bagus sadar diri, aku samaain dengan punnya mu aja, kalau Anggita mau pesan apa?" yang di tanyai masih kebingungan memilih menu cukup nyentrik dalam benaknya.

"Ice lemon dengan mie basah aja."

Ve menganguk menghafal tiap pesanan keduanya apalagi Jahera bukan tipe pemilih.

"Kenapa kau meliahatku begitu," ketus Anggita mengeluarkan ponsel melihat kapan terakhir chatnya dilihat sang ketua club dari sebrang.

"Kamu cantik."

"Random banget sih." Anggita memeluk dirinya sendiri.

"Tapi sayang temennya dikit." Wajah Anggita mulai sebal di recoki oleh perempuan random sebrangnya kali ini.

"Tau ngak wajahmu kalau gak suka sama orang gak kelihatan tapi tatapanmu sama kami agak ... dingin." Kalimat terakhirnya sedikit mengambang.

"Tentu, aku kan baru beberapa bulan masuk club kalian kalau tidak bobrok itu mana mungkin aku mau gabung, lalu. Jangan mengartikan tatapan orang se-enaknya." Masa bodoh dengan ponsel pintarnya akan lecet usai berhantaman dengan meja.

"Makanan datang, eh. Apa nih aku ketingalan sesuatu?" Ve meletakan menu pada mereka, wajah keduanya nampak bermusuhan, hanya anggita lebih tepatnya.

"Makan dulu, aku tadi ngobrol dengan karyawan disini kata mereka nga bisa ngasih vidio CCTV mereka...."

Ve mengamati mereka merasa tak enak, menelan ludah rasanya sulit.

"....jadi CCTV mereka pada saat kejadian dalam kondisi konslet tapi ada informasi bagus, pemilik mobil Van hitam sempat mampir di sini katanya waktu si karyawan basa basi mereka memang tinggal di sekitas sini, nah. Masalahnya aku gak tau di mana kalau kata mbaknya rumah kontrakan sekitar sini."

"Ini desa bukan kota leliput, masa kita nanyain satu satu mana rumah yang di kontrakan." Anggita ingin menengelamkan diri ke dasar laut.

"Nah, itu masalahnya," jawab Ve dengan polos.

Telapak tangan Anggita menghalangi padangannya memijat pelipis sekedar mengurangi tekanan urat.

"Kalau begitu kita cari angen properti di sekitar sini, biasanya mereka menyimpan data rumah sewa ataupun apartemen untuk di jual."

"Kalu di luar negri mungkin ada jasa seperti itu sayangnya kalau disini secara personal orang bisa menyewakan rumah mereka." Mengingat fakta jarang orang mengunakan jasa angen properti mencubit kesadaran mereka, ide Anggita sia sia jika bukan kota besar, ibu kota misal.

"YA sudah kalau begitu apa ide kalian, nanya satu satu tetangga orang yang perna ngontrakin rumahnya?" sungut Anggita mendumal dengan mie dalam mulut.

Sosok manusia dekatnya saling memandnag intens, mereka kenapa sih, sehat gak. Ngeri Anggita.

Seperti kiasan ucapan adalah Do'a maka Anggita menyesali celetukan asalnya membuat mereka benar benar menanyai para pemilik rumah.

"Ini sudah yang keberapa, pinggangku mau copot rasanya." Keluh Anggita.

"baru yang ke lima belas," sahut Jahe kini berjalan bungkuk mirip orang kena encok.

"Aku dapat info bagus," jerit Ve setengah tertahan.

"Info apa? Yang bagus bagus aja infonya."

"Aku baru minta tolong sama Tio, dia bilang memang di sekita sini ada rumah yang sudha di huni baru beberapa bulan dan indititasnya gak jelas."

"kau chating dengan mereka," kaget Ve, chat nya saja tak di balas adik kelasnya tersebut.

"Kau jangan kaget kalau dia di balas cepat oleh Tio, orang anaknya sendiri takut sama huluk satu ini." Perkataan Jahe menyadarkan kalau wajahnya tadi mirip orang serangan jantung.

"Yang sabar ya, aku antara bersukur apa takabur atau tersungkur, di takutin adek kelas yang mukanya mirip member boiben." Canda Ve kembali menjelaskan isi chating Tio.

Ternyata tak butuh waktu lama mencari rumah dalam pernjelasan Tio, bangunan cukup besar rapih namun nampak kosong, tak sia sia mengandalkan ahli IT di sana.

"Hwaaching ...."

"Kau kenapa? Flu, mau aku ambilkan obat."

"Tidak kak, kaykanya ada yang lagi ngomongin aku," jawab Tio kembali menelisik data dari desa setempat baru chat dari Ve dia balas secepatnya sebelum diamuk kembali oleh sabuk ban hitam