Unna sesekali mengamati rumah sederhana cukup minimalis milik adik tingkatnya, mereka kini tengah membantu ketiga makhluk dari jejaring sosial, lebih tepatnya Tio tengah membakar isi otak demi hasil memuaskan sedang Unna sedang memilah hal apa saja sekiranya dapat menjadi bukti kuat.
"Kamu tinggal sendirian di sini, bener bener sendirian?" ungkap Unna menglarifikasi pada yang bersangkutan, Tio mengiyakan pernyataan barusan.
"Aku tinggal sendiri, ayahku sudah lama meninggal dan ... ibuku menghilang." Secangkir teh dalam jangkauan Unna, Tio kembali memfokuskan diri dalam laptop.
"Ngak capek sen—sendirian maksudku, tinggal sendirian pasti gak ada temen ngobrol ya kan." Biasanya kalau orang lain terlalu mengorek dirinya bahkan, Brian sekalipun ia rasa akan mendiami, sayangnya ini Unna sosok orang di kaguminya. Dengan kepintaran seperti itu bagaimana Tio tak menaruh ke kaguman pada sang kakak kelas bahkan melihat kesehatiannya ternyata cukup random bahkan jarang membuka buku menjadi rasa penasaran, dulu apa yang di makan ibu dari Unna selama mengandung.
"Ku rasa itu privasi kan kak, aku belum bisa jelaskan sekarang tapi semoga nanti aku bisa jelaskan ke kak Unna." Jika aku masih bareng kalian. Lanjut dalam hati.
Unna menganguk kikuk, batas privasi, harusnya ia mengingat itu walaupun Tio manut tapi hal di sebut privasi adalah batasan paling besar antara mereka tak boleh di langgar.
"Maaf—"
"Gak masalh kak, cuman aku belum siap ngomong aja sekarang." Unna mengiyakan maklum.
"Bagiamana kamu udah tau belum soal 'mereka'." Unna berujar mengalihkan perhatian.
"Aku bukan dukun kak, tapi kak Ve sama yang lainnya udah ketemu rumah mencurigakan kok, semoga aja bener aku juga nanyain tetanggaku yang ternyata gak jauh dari sana, memang ada rumah yang di sewa gak lama semoga bener."
"Kau banyak kenalan juga ya ternyata, aku kira kutu buku, ternyata suhu." Kelakar Unna, "Terus aku lihat kau mengabaikan pesan dari Anggita, kenapa." Pertanyaan retoris. Memang tadi ia mengintip layar berisikan notif dari teman sekelasnya yang cantik dengan kulit eksotis.
"Gak niat ngak bals kak, cuman aku agak merinding dibuatnya, kayak apa ya? Terlalu tertutup dan protes ku rasa, takut aku buat salah." Jujurnya mengawang sosok manis.
"Kalau Ve kau takut pernah di buatnya kalah pas separing, kalau Anggita karena dia jutek?" tanpa sadar Tio mengiyakan.
"Mereka punya karekter berbeda, Jahe dulu dia pemalu tapi baru banyak ngomong karena Ve suka ngusilin dia, kalau Ve sendiri dia memang orangnya agak, gimana ya mendeskripsikannya? Keras tapi konyol, satu frekuensi dengan Jahera sedang Anggita memang anak baru aku tak begitu kenal dia tapi jika di lihat, dia ornag yang cukup ketakutan dan selalu waspada dengan orang lain, sednag kau ... sosok misterius." Jelas Unna mendeskripsikan tiap orang dalam club mereka.
"kalau kakak sendiri, motifasinya apa sampai bela belain mau mendirikan club ini, kenapa gak gabung club ataupun ekskul cerdas cermat atau olimpiade."
Tawa Unna terdengar hambar kalau Tio boleh jujur.
"Jawabannya karena aku suka, aku takdi izinkan mempunya cita cita sebagai reporter orang tuaku ingin aku menjadi seorang kerja di hukum biar bonafit kata mereka dan terjamin, jadi. Cuman club dalam sekolah kita ini jadi tumpuan sebelum aku lulus."
Tio tercenung, ternyata menjadi orang pintar dan cantik gak sebahagia itu.
"Keluarga kaka kaku?"
"Seperti itu, ah. Kenapa kita malah bicara hal ini sih ... aku jadi malu, aku juga harusnya minta maaf pada mu 'kan? Veronica memang serampangan samai memaksamu masuk club ini, sekarang malah sok jadi detektif, apa aku terlalu memaksa ya."
"Ngak!"sangah Tio semangat, Unna terjingkat dari duduknya.
"Ah—aku gak pernah ngerasa terbebani sejak tau kak Unna ada dalam komunita ini, aku kaget ada perempuan sepintar kakak, ku kira orang sepintar seluruh sekolah adalah anak manja juga menyogok, nyatanya ka Unna juga bobrok sama seperti ka Jahe."
Unna tertawa lepas kali ini Tio hanya kikuk tertawa lirih, bingung. Apa dia salah bicara.
"Kalua di pikir lagi lucu juga ya, image ku terlalu kaku tapi tak senyeremin gosip ataupun rumor kok."
* * *
"Kau yakin ini rumahnya?"
"Katanya sih begitu kan."
"Kalu begitu kenapa kalian gak masuk dan nanya sekalian."
Sontak Ve dan Jahe, teman sekomplotanya akan melangkah tanpa pikir anjang masuk ke pekarangan bangunan, seperti Dejavu Anggita menark kerah keduannya.
"Ide bagus tuh."
"Gak ada ide bagus, kita amati aja dulu."
"Giamna caranya, kita ngak bawa teropong, tapi bisa ding pake hengpong di zoom." Cetuus Jahe polos nan begok menurut Anggita.
"Idemu barusan bagus juga tapi ini wilayah asing kita bisa dikira penguntit tau, tolong jaga kondisi aja, kita lihat apa ada kendaraan persis dalam photo nya Tio. Paham!" titah Anggita mendapatkan anggukan dari keduanya secara kompak.
"Baik / baik."
Sebisa mereka akhirnya mengambil posisi Jahe mengambil rekaman sedang Anggita bergaya seolah tengah promosi adegan, alibi sebagai anak remaja mencari angel tempat estetik.
Butuh beberapa waktu hingga mereka di ampiri sosok pria berbadan tinggi tak begitu berisi dengan sorot tatapan tajam.
"Kalian mau apa kesini."
"Bapak yang punya rumah ini, maaf pak saya sedang ada tuga sekolah saya mau buat persentase tentang rumah dan menjelasan ... mohon maaf kalau mengangu." Anggita merunduk dengn wajah sedih di buat buat.
Ve bergumam samar, hanya gerak bibirnya dapat di baca oleh Jahe, "gadis gila."
"Begitu ya."
"Maaf sekali ya pak kalau mengangu, saya akan segera pergi dari sini kok pak, cuamn butuh satu take ini aja." Pria itu nampak menimang permintaan bocah ingusan depannya kini.
"Boleh, asal jangan lama lama, saya mau keluar soalnya, gak mau kan saya anggap aklaian maling." Tegasnya mengusir. "Bapak mau pergi ya? Apa bapak punya Van hitam." Pernyataan Anggita mendpatkan tatapan sinis serta selidik.
"Maksud saya kalau ada mobil apapun warna hitam sekalipun Van malah tambah bagus, buat aksesoris tugas saya, kalau menyinggung bapak, saya minta maaf." Sesal Anggita penuh binar.
"segera kalian pergi saya gak mau terusik, sekarang." Pernyataan penuh penekanan.
"Gitt, pergi yuk ... pulang aja, om nya serem," seru Ve mengajak anggita, dia sama seklai tak takut mengingat ia sering di gembleng gurunya menjadi seorang atlet sejati tapi si sini dirinya membawa dua nyawa yang jelas itu akan cukup menyusahkan jika yang lain tak bisa beladiri.
"yaudah ayuk, maaf ya pak sekali lagi." Pungkas Anggita bergegas pergi.
Langkah mereka berbalik berjalan berlawanan dengan pria judes tersebut.