08
"Kalian ngapain di sana? Ve kamu jadi pulang bareng gak, dicariin gak nongol."
Kemunculan sosok tak asing membuat suasana dua manusia di sana menjadi canggung, "Aku susul sekarang!" seru Ve meraih tas-nya berlari kecil mengeret Jahe keluar.
"Kalian tadi mau ngapain? Ciuman?"
Langkah Ve tersendat berbalik memandang tajam, yang benar saja. Dia sedang bercanda dengan wajah sok polos menurut Ve.
"Mau bikin film bokep."
"Wih, gak kabar kabar, mau aku bantu bagian light?" usai berucap seperti itu Jahe berteriak mengaduh, Ve memiting lehernya memaksa mengikuti langkah panjang perempuan bersabuh hitam tersebut keluar gerbang.
Sedangkan di tempat tadi Tio, termangu.
"Ah! Sial," umpatnya. "I-itu tadi deket banget loh." Tio menangkup wajahnya tengah memerah, belum pernah dia sedekat itu dengan seorang perempuan.
Semua barang ia bereskan bergegas berlari keluar ruang lingkup sekolahnya segera menyongsong ke pergian dari ruangaan pengap seorang diri.
Langkahnya menjadi bunyi pengiring tiap jalanan sepi, tatapan Tio di manjakan oleh anak desa tengah bermain bola dari atas jembatan gambaran anak lelaki di sana nampak menghayati permainan mereka bak pemain profesional.
"Kapan ya terakhir kali bisa main seperti itu," lirih Tio memalingkan muka melangkah jauh lebih cepat sampai rumah kontrakan. Suasana rumah sederhana minimalis daun pintu terbuka langsung menampakan ruang tamu kecil hanya dapat menampung empat ornag tamu serta pojok ruangan terisi kamar miliknya seorang serta kamar mandi dalam.
Tio tak perlu kawatir hanya diri nya lah penghuni di sini, keluarga? Tio memilih tinggal seornag diri tanpa bantuan orang lain sejak SMP.
"Nyamannya." Tubuhnya sudah bergumul dengan kasur ber-cover pikachu.
Belum juga Tio menutup kelopak matanya kilasan wajah perempuan asing mengagu acaranya untuk terlelap, suara jeritan minta tolong seolah nyata masuk pendengarannya.
"Aku berhalu rasanya." Tio mengusak tak beraturan helaian.
Tio kembali menegakkan punggungnya menyandarkan bahuu kokohnya, jemarinya berlarian membuka benda persegi lihai berlarian mencari sebuah gambar pernah ia bidik, sosok perempuan itu dengan pacar korban adalah orang yang sama.
Pikirannya berkecamuk perasaan bersalah kerap menghampiri.
"Ah!! ANJ—"
Umpatannya terrhenti, bukan karena kelu atau suara denting ponsel. Siapa manusia yang mengirim pesanlah membuat dia tercekat, Veronica.
[ balas pesanku segera, aku akan menelpone mu sekarang!]
Benar saja, pesan tersebut tak bisa di abaikan Veronica di sebrang sana dengan brutal menelpone Tio, desahan lemah. Terpaksa Tio mendekatkan ke dekat telinga.
Desahan serta gerutu menyapa pendengaran Tio.
"Maaf kak, baru sampai ke rumah," alibinya menangkan orang dari sebrang.
[ Sebenarnya, kau tau kan siapa perempuan yang hilang itu? Apa kau pernah melihat atau mengenalnya. ]
"jujur aku memang tak kenal siapa dia, dan menghilang kan bukan urusanku," lirihnya menangapi setegah apatis.
Suara di sebrang nampah sekali hembusan nafas kecewa.
[ Aku ngerasa ada yang kamu sembunyikan dari kami, gak maksa ... tapi, kau seperti gak mau berurusan dengan semua wanita, jadi kalau kau tau sebuah info sekecil saja tolong ya, jangan lari. Minimal bicaraiin dengan kami baik baik. ]
Seperti sihir Tio mengaguk, ia tau Veronica pun tak akan tau tindakannya demikian.
"Iya kak, aku usahakan, kak ....."
[ Iya? ]
"Soal yang mau aku omongin, aku rasa tau perempuan itu kemana, tapi aku memang gak ada kaitannya," jujur Tio mengigit bibir bawahnya, photo terpamampang di layar mengabadikan model mobil.
"Bisa kita ketemu?".
Suasana pengunjung legang menjelang malam hari cukup lengang, mereka nampak lebih asik dengan makanan agak mendingin dari pada janji untuk mengobrol seperti apa yang tio janjikan,Ve. Menatap dari sudut pandangan menyelami tindakanan kaku dari pria muda depannya.
"Mengobrol atau makan." Pertanyaan retoris mencuat dari kebosanan hampir setengah jam, embun gelas mulai membasahi meja.
"Makan dulu aja kak—" Tiom terkesiap, makanan milik Ve sudah tandas hanya menyisakan latte setengah gelas.
"Kenapa? Kau makan dulu gih." Sedotan kembali nagkring untuk di sesapi perempuan ahli beladiri tersebut, cuek.
"Ba—baik." Patuh Tio menyuap pasta. Cukup beberapa menit semuanya sudah bersih dari gambaran cantik makanan, tersisa piring kotor.
Jari jemari di bawah meja mengusap celana kain hingga nampak lecek.
"Kaka, aku minta tolong jangan hakimi aku ya." Dafas Tio sedikit tersendat, "Kakak liat ini dulu deh." Ponsel warna hitam mentalik di sodorkan padanya, beberapa tangkapan layar menampilkan, mirip. Adegan pemaksaan.
"Ini apa Tio?" tanya Veronica butuh penjelasan.
"Aku rasa dia orang yang sama pacarnya di culik, korban cowok ... aku punya kesimpulan berbeda dari polisi," Tio mengamati lamat ekspresi menunggu Veronica.
"Kalau versi polisi yang cowok bunuh diri dan pacarnya hilang karena frustasi atau ngerasa bersalah kalu mereka putus, kesimpulan ku. Beda, bagaimana korban pria ini di garap seolah dia bunuh diri padahal dia bisa saja ngebela pacarnya saat ada situasi yang buruk menimpa mereka, gambar itu." Alisnya naik menkode pada ponsel masih dalam gengaman si rambut coklat.
"Bisa jadi dia di culik."
"Di culik?" ulang Ve nampak gamang, "Kenapa gak bilang sedari awal, kita—maksudku bisa membantu keluarga dari mereka, setidaknya bisa jadi bahan berita loh."
"Andai segampang itu kak," Tio melanjutkan. "Polisi aja kayak engan nangapi hal ini serius, mobil yang mereka gunakan juga bukan barang murah, setidaknya ini bukan kasus pertama ngeliat mereka profesional, tapi. Ini baru asumsi ku aja."
Ve tak menangapi secara emosional atas tindakan lambat Tio, padahal kalau lebih awal pasti ada tindakan bisa mereka lakukan, misal ; lapor polisi, bilang ke keluarganya? Mungkin.
Tapi apa yang dia omongin juga masuk akal, bisa berbahaya jika memang ornag berpengaruh.
"Kita diskusikan ya, sama teman yang lain."
"Kak, gak marah?"
"apa yang kamu bilang juga udah rasional kok, cuman kita bicaraiin sama sama ya. Makasih infonya," ungkap Ve menenangkan, ia berdiri mengusap helaian rambut adik kelasnya, wajahnya polos—iner Ve.
Aku kira akan di maki atau di tegur, gak semenakutkan yang aku kira perempuan ini ... tapi bagaimana yang lainnya? Aku pasti di cap pengecut.
"Yok pulang, udah malem adik kecl gak boleh tidir malam malam ya."
* * *
Seperti di katakan oleh kakak kelasnya semalam, semuanya berkumpul dalam satu lingkaran meja reyot.
Wajah tiga orang dari mereka penuh tanda tanya uai bel pulang sekolah mereka langsung di teror segera berkumpul ke ruangan usang tempat mereka berkumpul di kala membuat berita ataupun tugas club, sayangnya ini bukan jadwal mereka berkumpul secara mendadak bukan.
"Jadi apa yang kau mau sampaikan?" ini suaara Unna, matanya menatap lekat ke pembuat onar –Veronica—