Chereads / DEVIL'S TOWER / Chapter 5 - Nyali

Chapter 5 - Nyali

Suasana bandara Soekarno-Hatta sama sekali jauh dari kata lenggang, hiruk pikuk orang berseliweran entah itu pergi berlibur, kerja baru keluar negri maupun baru pulang ke dalam negeri seperti sosok perempuan dengan wajah khas asia tenggara; kuning langsat, rambut hitam nampak lembut.

Dari balik kacamata hitam keluaran gucci, bola matanya nampak berlarian, ia melirik ke sana kemari mencari sosok orang yang menjemput nya. Senyum simpul terlihat usai matanya menangkap sosok pria paruh baya memegang kertas bertuliskan nama perempuan dengan balitan hoodie kuning.

Koper hitam terseret bersamaan dengan langkahnya mendekati pria dengan setelan necis.

"Paman, wah. Aku kangen sekali paman...." kedua orang terpaut beda umur cukup jauh berpelukan dengan erat, si muda tersenyum dengan wajah sumringah.

"Nona muda, mau segera pulang ke rumah?"

"Paman, kan sudah ku bilang...." katanya pura-pura marah.

"Lama tak jumpa ya nak, dan kalau boleh tahu bagaimana kondisimu sekarang ini?" ujar pria dengan rambut klimis warna memudar putih penuh perhatian.

Helaan nafas terdengar lega dari si perempuan muda, "sekarang tubuhku sudah lumayan puli Paman, makannya aku akhirnya bisa pulang ke indonesia."

"Maaf ya, keluarga besar belum ada yang berkunjung menemani mu di sana, paman juga gak bisa jenguk jika tidak di ajak."

"Udah, yang penting Anggita udah sehat." Suasana ramai bandara setidaknya tak membuat pria berusia matang tersebut peka akan perubahan suara dari Anggita terdengar sendu. "Bisa antar pulang sekarang saja Paman? Aku ingin segera istirahat."

"Baik, nak Anggita."

Anggita mengangguk pelan ia menolak bantuan dari pria yang sudah menjadi supir pribadi neneknya semenjak ia SD. Harusnya pria berusia lima puluhan itu pensiun namun ia enggan untuk pensiun walaupun hidupnya akan terjamin oleh keluarga Anggita, maklum Pak Andara. Nama pria itu, sudah dianggap keluarga sendiri dan diperlakukan layaknya bagian dari keluarga Vedavaa.

Suasana ruang guru nampak lengang, jam istirahatlah yang membuat sebagian guru lainnya ikut mengganjal perut mereka, hanya menyisakan sosok Unna dengan seragam jas berwarna krem berdiri menghadap guru bernama Budi tersebut.

"Kalian sudah saya beri waktu untuk mendapatkan anggota baru, lihatlah. Ini sudah lebih dari waktu dijanjikan...kalau begini lima hari kedepan club kalian akan resmi bapak tutup."

"Tapi saya sudah dapat anggota baru Pak," Unna mencebik kesal.

"Satu orang? Itupun adik kelas kalian kan, kalau kamu bukan anak emas sekolah ini mana mungkin bapak mau ijinkan kamu menunda lebih lama dengan alasan ini- itu."

Unna sudah pasrah mendengar masukan dari guru pengurus keanggotaan sekolah, klubnya memang tak punya harapan untuk berkembang lagi, Unna segera berbalik badan usai pamit dengan suara yang hampir habis. Pak budi mengalihkan pandangannya sebel sebelum ia memanggil gadis muda terlihat berjalan tanpa punya tenaga.

"Unna, kemari...."

"—saya akan beritahu teman lainnya pak, agar bersiap untuk pembubaran club." Pasrahnya menyambar pria dengan gaya nyentriknya.

"Buk—"

"—Tak perlu repot-repot pak, memang club kami tak punya harapan hidup, tapi jangan kasihani kami, saya jadi malu."

"Hey?! Dengarkan bapak bicara dulu...saya mau ngasih kamu kesempatan."

"Hah, yang benar pak?" sentaknya dengan wajah tak percaya.

"Iya, ini kamu baca dulu." Pak budi menyodorkan sebuah map berwarna biru muda pada Unna.

Para anak-anak yang telah menjadi bagian Club pewarta tengah sibuk beberes, tentu atas suruhan Unna—dengan mengamuk—akhirnya mereka tak punya pilihan lain, Tio pun dengan pasrah ikut dua kakak kelasnya untuk memperbaiki kondisi ruangan yang memang bekas gudang tak begitu terurus oleh sekolahan.

Tio, yang paling muda di sana hanya menggeleng pelan, kedua perempuan berbeda tinggi badan tengah asik main kejar-kejaran.

"Kenapa aku bisa terjebak dengan mereka ya tuhan."

"Hey aku masih bisa mendengarmu anak muda...."

"Kak, bisa diam dulu gak? Ayolah kita bisa bersih-bersih dulu."

Ve terdiam begitupun Jahe saling adu pandang tak butuh bermenit-menit, omongan dari satu-satunya pria di sana seperti angin lalu Ve nampak kegirangan mengejar Jahe guna mengusili yang lebih pendek, kertas beberapa berhamburan akibat langkah kaki mereka berantakan

"Selamat pagi... sudah selesai beberes nya?"

Sontak semuanya terdiam, secepat kilat dua tom and jerry di sana langsung memegang sapu ataupun lap seperti orang tengah sibuk.

"Kalian sudah beberes?"

"—it." Belum sempat Tio melanjutkan ucapan, Ve sudah memberi tatapan tajam membungkam Tio sebelum bicara lebih lanjut.

"Aku lebih percaya Tio yang membereskan ini semua, dari pada percaya kalian yang menjadi rajin...ada anak baru bukan berarti akan menjadi budak kalian, paham."

Tio terperangah kagum melihat hanya beberapa argumen dari Unna dapat membuat dua manusia tadinya mirip cacing kepanasan sontak terdiam patu, wah. Memang sesuatu sekali perempuan peraih gelar Juara satu provinsi ini. Tapi ia meremang seketika setelah beberapa kali menghabiskan waktu di club menurunya akan gusur, Unna perempuan cantik itu sudah pasti tapi galak, dan mulutnya cukup membuat orang mundur untuk memancing argumen.

"Kau nampak bahagia, memang ada apa." Celetuk Jahe mengalihkan pembicaraan sebelum kena sembur berkelanjutan.

"Ya, memang." Timpal Unna abai pada tingkah Jahe.

Suasana jam pertama hari itu seperti biasanya, tenang. Tapi kali ini ada yang berbeda pada pagi hari ini, kepala sekolah mampir ke ruang kelas A termasuk ada Unna salah satunya, berada di barisan tiga dekat jendela dengan tangan bertopang dagu melirik keluar jendela. Kepala sekolah dengan tubuh pendeknya datang tak sendiri di sebelah pria dengan jenggot putih kini berdiri sosok perempuan dengan seragam Khas SMA Budi Utama pada hari itu, kulit kuning langsatnya cukup kontras dengan Kemeja putih lengan pendek pada saat itu dikenakannya.

Sebuah suara berasal dari bibir perempuan itu usai kepala sekolah berpamitan pergi membuyarkan kembali lamunan Unna, suaranya cukup lembut terdengar manis.

"Anggita Vedavaa, salam kenal. Semoga kita bisa bisa akrab."

Si guru mempersilahkan sosok murid baru yang cukup menyita perhatian anak sekolah untuk duduk di bangku sebelah Unna berada, Unna sedari tadi mengamati Anggita dengan lamat, memperhatikan ia tampak ramah melempar senyum dengan aneh menurut Unna. Dirinya peka akan ketidak nyamanan perempuan itu –Anggita—dari jemari di bawah meja saling bertautan nampak tak nyaman berbanding terbalik wajahnya tersenyum menyapa anak sekelas.

Dua jam di isi mata pelajaran sejarah cukup membuat Unna sedikit bosan tapi tidak dengan sosok di seberang mejanya, tampak antusias jemarinya menari lincah di atas kertas mencatat begitu detail, entahlah...Unna juga tak tau apa sebenarnya di tulisnya.

Seperti hal yang baru, para anak perempuan di kelas itu riuh ingin berteman dengan murid baru yang nampak anggun nan cantik apalagi ia terlihat ramah dan sopan menarik orang sekelilingnya secara alami ingin lebih dekat dengannya.

"Permisi, aku mau mengajak teman ku ini berkeliling sekolah." Paksa Unna menarik bahu Anggita tiba-tiba.

"Unna, jangan begitu. Kalian kan tidak saling kenal dan jangan mengganggunya."

"Kata siapa tak kenal, Anggita ini teman ku dari lama dan dia baru datang dari luar negri tentunya akan kangen dengan indonesia. Anggita yang mendengar hal tersebut terdiam ia merasa sama sekali tak menyebutkan dirinya datang dari luar negri.

"Benar itu Anggita?!"

"Eh, umm...."

"Kamu itu tetap saja seperti dulu, sini ikut aku." Ia menarik Anggita hingga berdiri secara paksa, "maaf aku mau reuni dulu ya." Singkirnya memecah kumpulan perempuan, Unna mengernyitkan dahi mencium parfum menyengat.

"Kau mau membawaku kemana?" tanya nya memecah keheningan, sedari tadi Anggita mengekor sosok perempuan asing yang menjadi teman sekelasnya tersebut, perempuan dengan kepang nya nampak menghentikan langkah nya dengan spontan Anggita di belakangnya langsung menubruk perempuan di depannya.

"Aduh...."

"Maaf soal lenganmu kau pasti sakit aku tarik seperti tadi."

Anggita mengelus lengan sebelah kirinya terasa nyeri walaupun tak sesakit itu untuk memohon maaf.

"Hemm, tak masalah... soal—"

"—Kau heran kenapa aku bisa tau aku mengetahui kau baru kembali dari luar negeri bukan? Aku mengetahuinya dari guru, tenang aku bukan stalker. Perkenalkan aku Unna ketua club pewarta, club ku akan dibubarkan jika anggota kami belum genap lima orang dan aku diberitahu guru kalau akan ada murid baru di sekolah kami, aku bisa mengajakmu kalau kamu mau, dan keuntungan masuk club sepi peminatnya kau tak akan bertemu dengan banyak orang, kau tadi terlihat tak nyaman dikerubungi oleh orang asing sebanyak itu." Unna menunjuk ujung lorong yang sepi

"Di sana tinggal belok kanan, kau akan menemukan ruangan club ku, kau bisa kesana jika kau mau bergabung...sungguh satu orang untuk klub kami sangatlah berharga."

Anggita terdiam kaget menanggapi informasi secara mendadak. Raut wajahnya sangat ketara dengan keraguan, tentu tak banyak diketahui di sini di tambah ada orang yang cukup nekat menyeretmu keluar kelas secara tiba-tiba.

"Maaf kurasa aku...." Anggita menghela nafas berat.