BAB 3
Sekolah dengan dengan sentuhan moderen membuat SMA Budi utama sangatlah banyak di minati oleh banyak kalangan karena di sinilah banyak anak dengan prestasi yang melambung tinggi, fasilitas nya sangat lengkap dan yang jelas uang nya sangatlah mahal, memang hanya kaum elit orang kaya yang bisa masuk di sini. Sayang nya kalangan orang kaya juga harus bersaing dengan orang kaya lainnya dengan anak mereka harus murni punya kepandaian atau keahlian jika tidak kau akan tersingkir dengan mudah tak peduli kau anak siapa.
"Kalau gak ada beasiswa mana bisa aku bisa masuk kemari." Monologku, menatap pelataran megah sekolah ternama ini, berjalan dengan percaya diri. Dengan keuangan diriku yang jauh jika harus bersaing lewat jalur biasa tentu kalah, tapi. Kebanggaan diriku dengan nilai sempurna semenjak Sekolah dasar bisa sedikit ku sombongkan.
Melihat keramaian anak di kelas ku membuat aku sedikit tak fokus mengerjakan tuga di lembaran soal, bukan hal wajib tapi ini sudah jadi hobbyku jika tak mau tersaingi.
"Kau dengar berita Kak Unna dari kelas A, dia meraih rangking 1 dari sekolah seluruh kota ini."
"Agak bersyukur dia itu kakak kelas, jika tidak aku akan di paksa untuk bersaing dengannya." Perempuan dengan poni mendengus.
"Kau benar, aku merinding melihat tatapan dinginnya, seperti orang yang ambisius." Sahut teman lainnya menimpali
Samar ku mendengar bisikan para gadis tadi berkerumun di belakang meja ku, Unna? Aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya seperti apa. Apa dia lebih terlihat culun dari Bobby teman sekelas ku. Mataku melirik ke pojok meja ujung kelas, terlihat pria tambun dengan beberapa jerawat di wajahnya ia bahkan sudah punya kumis tipis di atas bibir tebalnya. Nampak tak terawat, aku menghembuskan nafasku melihat naasnya penampilan anak itu.
"Tio!"
Aku mendongak melihat pria yang ku ketahui bernama Brian—teman sekelasku—tengah menghampiri mejaku dengan senyum tengilnya.
"Kau belum masuk club manapun kan?"
Aku menganguk dengan malas membalas Brian, anak itu langsung menduduki bangku kosong di depanku.
"Ayo ikut aku masuk club taekwondo...kau tak maukan nilai mu berkurang karena tak ikut serta satupun ekstrakulikuler ataupun club di sini." Suaranya berkobar-kobar seperti sedang berpidato, kapan anak ini tak punya tenaga sih? Heranku.
"Aku sedang mencari club yang cocok denganku."
Brian menganguk tapi nampak acuh terhadap ucapanku barusan.
"Tapi belum adakan?" cibirnya, "Makanya ikut aku saja masuk club taekwondo, di sana ada kakak kelas cantik."
"Mana ada perempuan cantik mau ikut taekwondo, heh." Aku melempar pandanganku ke arah kumpulan para gadis asik bergosip tadi, Brian pun juga mengikuti arah pandanganku.
"Kalau yang di maksud cantik, kayak begitu ciri-cirinya, cantik karena makeup tebal dan hobby skincare." Sahutku menambahkan.
Dahi Brian berkerut dengan mata memincing, ia seperti tak setuju dengan pendapatku barusan.
"kau kan belum lihat seperti apa bentukan kakak itu." Gumam Brian.
"memang kau pernah lihat?"
Ia menganguk antusias.
"Dia cantik kayak model korea, perempuan yang di sana...." ia menaikan alis mengarah ke kumpulan para gadis, "Tak bisa dibandingkan dengan kakak kelas itu."
"Ayolahhh.... lagian kau belum tau seperkasanya dia." Aku mengaguk lemah.
Akhirnya Brian pemenang perdebatan kami kali ini, aku beranjak dengan malas mengikuti keinginan anak itu.
Siapa mengira ajakan Brian kala itu kini membuat kami menjadi anggota taekwondo dari semenjak 3 bulan lalu, peluh sudah membasahi pelipis kami para anak baru. Pluit keras dari si pelatih membuat kami berhamburan mendekati pria berbadan tinggi tersebut, dahinya berkerut dengan mata setengah menyipit sepertinya dia tengah mengamati wajah para anak baru yang lainnya. Ini pertamakalinya orang itu muncul, biasanya para kakak kelas atau senior kami bersabuk hitamlah yang melatih kami, juniornya.
"Perkenalkan nama saya Mr. Jhonny, dan saya adalah pelatih kalian, pangil dengan sebutan Sabeum atau yang artinya Instruktur selama kita berlatih dan akan saya jelaskan secara singkat tentang apa itu tae kwon-do. Tae berarti "menendang atau menghancurkan dengan kaki"; Kwon berarti "tinju"; dan Do berarti "jalan" atau "seni". Jadi, Taekwondo dapat diterjemahkan dengan bebas sebagai "seni tangan dan kaki" atau "jalan" atau "cara kaki dan kepalan". Popularitas taekwondo telah menyebabkan seni ini berkembang dalam berbagai bentuk. Seperti banyak seni bela diri lainnya, taekwondo adalah gabungan dari teknik perkelahian, bela diri, olahraga, olah tubuh, hiburan, dan filsafat." Jelas pria bergelar Sabeum, beberapa kali ia memperagakan gerakan tendangan di atas kepala sembari menerangkan, sebagian calon murid baru terperangah kagum, terkecuali Tio yang memang tak minat.
Aku terdiam sedari tadi memandangi sosok Sabeum tengah menerangkan prihal kilas balik asal usul Taekwondo.
"Maaf Saebum, saya terlambat." Sosok perempuan dengan ikatan tinggi memperlihatkan leher jenjangnya baru saja menunduk hormat pada Mr. Jhonny.
"Hey... hey, Tio. Itu tuh kakak kelas yang aku maksud." Brian berbisik heboh di sebelahku, Hah? Dia. Pikirku seketika, benar pendapat Brian mengakui sosok perempuan itu cantik, ia memiliki tinggi badan semampai bak model, wajahnya pun tak kalah dengan perempuan cantik di majalah korea. Lucunya dengan tampang seperti itu apa benar dia menyandang sabuk hitam? Ayolah, bukan aku merehkan tapi ia seperti perempuan pada umumnya suka perawatan.
Tatapan tajam gadis itu melirik ke arahku sempat aku berjingit kaget di perhatikannya.
Lingkaran manusia tengah mengelilingi matras berwarna merah serta biru sebagai bentuk persiapan untuk 'berkelahi'
"Tio, silakan maju!" dengan wajah bingungku, aku maju di garis kanan Mr. Jhony.
"Siapa yang belum mendapatkan bagian untuk bertanding?" tanya Mr. Jhon menanyai semua murid, banyak yang sudah kecuali aku yang belum mendapatkan pasangan.
"Tio, siapa yang mau kau pilih untuk bertanding."
Pandanganku mengedar ke seluruh peserta, banyak ku lihat sudah menyelesaikan pertandingan singkat mereka serta tak ada yang mempunyai bobot sama sepertiku. Kulihat seorang dengan porposi bobot tak jauh beda dengan tubuhku dengan yakin aku meminta dia menjadi teman bertandingku
"Ah? Apa boleh saya memilih kakak perempuan itu?" banyak senior terdiam karena pilihanku entah kenapa hawanya dingin karena aku memilih seornag perempuan seperti dia? Apa yang salah.
Veronica Kim. Aku akhirnya tau nama perempuan tersebut sesaat sebelum kami memulai pertandingan.
Tak begitu paham sebenarnya apa yang akan terjadi tapi aku mengikuti arahan untuk saling adu jotos dengan perempuan yang memiliki marga kim tersebut.
* * *
"Kau baik-baik sajakan Tio?" sisi mana yang membuat diriku terlihat baik.
"Auhh! Pelan-pelan, Bri." Ia meminta maaf dengan wajah menyesal, kapas dengan obat merah kembali menyapa kulit mukaku agak membiru, beberapa memar aku dapatkan usai beradu tenaga dengan kakak kelas tadi. Siapa menyangka ia cukup lincah dengan beberapa jurus ia sudah menumbangkan diriku tapi mau bagaimana tingkatan kami juga sangat jauh jika di bandingkan diriku yang masih baru saja masuk, aku ulangi masih baru masuk!
"Kau kenapa juga sih pakai acara menyepelekan Kak Veronica sih?"
Brian nampak kesal memang dengan tingkah laku ku saat di arena pertandingan.
"Aku merasa dia menyepelekan aku karena aku ini baru, Yah. Begitulah, lalu aku memancing emosinya untuk melawan ku, mana aku tau dia benar-benar serius padaku." Aku mendesau lelah.
Kesalahan fatal yang membuat aku kini kena imbasnya adalah mengatakan kalimat tak enak di dengar olehnya, kak. Kau itu cantik. Apa kau yakin sabuk hitam mu itu karena kau benar-benar bisa? Aku masih ingat kalimat itu kugunakan untuk menegurnya pertama kali mata kami beradu pandang, dan... ia sekejap menjadi monster yang tak ku kira tenaganya sangat kuat, bersukur 10 menit aku belum remuk... soal dia, kak Veronica mendapatkan hukuman usai menghajar anak sabuk putih sepertiku.
"Aku kapok. Bri." Brian acuh tak acuh kembali mengembalikan peralatan obat ke tempatnya.
"Makannya jangan bikin orang emosi, kenapa sih kamu selalu gak mau berbaur dengan orang lain? Heh. Aku tau kamu itu anak baik Tio, tapi memancing emosi ataupun mengatakan sesuatu yang membuat orang lain tak nyaman itu sama dengan membunuh mu."
Aku menganguk lemah, menyetujui kuliah singkatnya. Jujur karena kejadian hari ini aku makin takut bertemu lagi dengan Kakak kelas itu, membanyangkan namanya membuat bulukuduk ku meremang tak karuan.
"Kayaknya aku gak mau ikutan lagi deh, taekwondo gak cocok sama aku."
"Emang, kau benerin dulu sarkasmu. Gak semua orang bisa kamu ajak becanda kayak begitu."