BAB 2
"Semoga filing burukku pada mereka tidak benar-benar kejadian." Unna mengelus dadanya. Ia was-was jika duo trobel maker tersebut membuat masalah di luar sana, dengan mulut mendumel ia kembali menyapu ruang club berdebu mirip gudang uji nyali.
"Yakk! Kenapa ini banyak sampahnya, sebenarnya kerjaan Jahe busuk itu dan si bau kringat itu nongkrong disini apa hah!" Unna mengerutu. Banyaknya sampah menumpuk di bawah kolong sofa dari bekas plastik minuman hingga camilan bahkan permen.
Sedangkan ditempat lain penuh jajanan kedua makluk yang sedang di kutuk oleh Unna nampak terdiam mentap makanan terhidang di meja mereka.
"Kok perasaan ku gak enak ya?" Jahe mengelus belakang lehernya. Ve melirik sebentar ke arah Jahe memandangi sesaat perempuan yang lebih pendek darinya.
"Perasaan kayak sedang membuat tujuh dosa besar." Timpal Ve kini menatap mangkuk mi ayam mereka kurang minat.
"Masa bodoh, mungkin ini perasaan berdosa Mi belum kita makan sekarang," seru Jahe di susul anggukan semangat dari Ve. Menepis perasaan tak enak barusan.
"Mi nya udah abis, tapi perasaanku tetap gak enak. kayak ada yang sedang memaki kita." Keduannya nampak lesu memandang mangkuk kini tandas dengan kilat.
"Eh, kitakan di suruh cari anggot baru buat club kita." Ve menepuk dahinya cukup keras. Jahe menghela nafas cukup keras.
"Matih aku, terus bagaimana ini. Pake acara kelaparan lagi... yaudah cepetan bayar."
"Loh, kok aku sih," Jahe menunjuk dirinya.
"Ngutang dulu." Jahe memilih segera pergi membayar pesanan mereka.
Kali ini keduanya kompak menyebarkan brosur club ke anak kelas satu, menyebarkan selebaran formulir sedemikian rupa untuk menarik perhatian mereka, sayangnya kebanyakan mereka menolak untuk bergabung ke club pewarta.
"Ya ampun! Ve, kenapa susah sekali ngajak mereka gabung sih." Jahe menyikut pelan perempuan berdarah blesteran tersebut.
"Kau dengar kan. alasan mereka, pekerjaan kita kuno."
Ve berkomat kamit berdoa pada tuhan, Jahe mengorek telinganya terasa gatal.
"Jangan berdo'a, do'a mu tak manjur tau."
"Enak saja kalau bacot...." Ve melengos sejenak, "Eh, Jahe... Jahee...." heboh Ve mendadak mengoyangkan bahu sempit perempuan mungil itu.
"Wooy... pelan-pelan kali," Jahe merdecih kesal. Namanya kian hari jadi mirip bumbu dapur.
"Aku punya ide, kau lihat pria berkacamata di sana?" Jahe berjinjit untuk memudahkan pandangan dimana sosok di maksud Veronica.
Pria dengan postur badan ramping dengan kulit tan di tambah aksesoris kacamata mengantung di batang hidung bangirnya, penampilannya seperti contoh teladan pikir Jahe.
"Hey! Hey...kau mau kemana," Vee memilih bungkam ia melaju meningalkan Jahe.
"Apa kabar." Sapa Ve tepat di depan pria itu. Laptop sedari tadi terbuka langsung di matikan oleh si pemilik.
"Ya, ada apa kak." Sahut pria dengan almamater sama dengan Vee. Baju blazer coklat muda dengan pin warna hijau di dekat namanya, menjelaskan ia anak kelas satu.
"Kau sudah ikut organisasi atau club di sekolah ini?"
"B-belum—"
"—Bagus! Besok kau masuk clubku dan jangan lupa bawa nyawa dan persiapan mental." Selembar kertas formulir di terima dengan tangan gemetar, pria ini adalah adik kelas yang sempat mengikuti club taekwondo hanya saja ia langsung K.O selesai sparing dengan perempuan di depannya ini.
"Kau sudah keluar club taekwondo secara mendadak lalu kau mau menolak clubku, kau memang mau mati muda wahai adik kelas." Wajah putih Ve mendekat bebera centi membisikan kalimat bak ajakan kematian di telinga pemuda tersebut.
"B-baik...baik kak, saya akan ikut club ini, besok saya akan kesana." Anguknya cepat, kacamata sedari tadi bertenger hampir copot.
"Bagus, aku tinggu ya T-I-O." Lanjut Ve dengan senyum tanpa dosa, perempuan itu segera menghampiri teman pendek sejawatnya untuk kembali ke kelas sebelum bel berbunyi.
"Heh, kau tadi ngomong apa sama adik kelas itu. Pucat sekali wajahnya tadi."
Jahe memundurkan tubuhnya, suaranya berdesis berbisik menanyai Ve yang duduk tepat di bangku belakangnya.
"Biasa."
"Kau mengancam anak orang lagi?" refleks Jahe menoleh ke belakang. Wajahnya tak bisa diartikan dari ekspresi datarnya.
"Bagus, kau hebat." Dua jempol teracung dengan senyum sumringah, perempuan dengan ikatan di rambut coklatnya mengelus dada. Veronica pikir ia akan diamuk.
"Kalian...yang di belakang, sekarang maju ke depan!"
Mereka berdua terkesiap menyadari guru mereka berdiri dengan wajah garang, habislah sudah batin kedua siswi itu nelangsa.
Angin berhembus dengan terik matahari menyengat kulit mereka, kedua anak perempuan tersebut tengah menikmati hukuman untuk berjemur di tengah lapangan dengan posisi siap tangan keduanya terlipat di belakang pungung.
"Aussh."
"Udah jangan ngerengek, kita sabar saja dulu."
Jahe melirik Veronica dengan ekor matanya, anak itu tengah mengipasi dirinya dengan kipas lipat bergambar sincan, dari mana dia mendapatkan benda itu. Sungut Jahe kini merasa makin panas.
"Kalian buat ulah lagi?"
Unna muncul melewati mereka dengan kantung kresek ia goyangkan di depan wajahnya, Ve dan jahe saling melempar pandang dengan senyum konyol.
"Terimakasih udah ngasih kita minum...ahh, lega nya." Ve mengelus tegorokan putihnya dengan wajah lega.
"Kau kenapa bisa tau kami di hukum?"
"Oh, itu. Aku lihat dari jendela kelas ku, kalian di hukum. Aku jadinya beralasan ke kamar mandi untuk membelikan kalian minuman."
Jahe mengangukan kepalanya engan berkomentar lebih lanjut, Unna anak kelas A. Satu-satunya paling pintar dari keduannya dan peraih rangking satu sekolah mereka jadi tak masalah jika ia keluar selama ia mau, toh. ia kesayangan para guru.
"Ya sudah kalian jangan cari gara-gara...dan, bagaimana soal murid baru untuk club kita?" celetuk Unna
"Sudah," sambung Jahe
Unna memincingkan matanya hingga meningalkan segaris, dahinya berkerut melihat keduanya penuh selidik.
"Seriuskan ini? Kalian tidak sedang berdalih agar terhindar amukanku kan."
"Ngakk...." kompak ke duannya menimpali.
"Okay, besok pagi sebelum masuk kelas ajak dia ke ruang club."
* * *
Seperti kata Unna tempo hari, Tio. Adik kelas sempat mendapat ancaman dari kakak kelasnya dengan terpaksa berjalan ke ujung lorong terpencil di bagian sekolah ini, ia mengingat kejadian beberapa minggu lalu dimana ia ingin baru saja menjadi salah satu anggota club taekwondo, tapi siapa kira di hari dirinya bertemu Veronica ia harus melawan perempuan yang kekuatannya tak main-main.
Ia kontan mendapatkan hajaran maut karena sempat meremehkannya. Kini disinilah Tio bagaskara berdiri.
"Club pewarta?" beo nya memandang pintu kusam tepat di depannya.
Berlahan ia membuka pintu yang ternyata engselnya rusak, debuman keras tak terelakan lagi membuat Tio dapat melihat pemandangan dalam ruangan, Ia terbatuk-batuk dengan telapak tangan menghalau aroma tak enak dari dalam. Siapa juga yang tahan dengan bau lembab serta debu di sana sini,
"Waahhh!... laba-laba." Kagetnya menyoroti hewan berkaki enam menjuntai di depannya.
"Apa ini layak menjadi tempat club."
Wajah tercengang memandang penjuru ruangan tak percaya.
"Makannya kami cari anggota untuk mendapatkan kucuran dana dari guru pengurus."
Tio melihat seorang perempuan dengan bandana coklat nan manis berdiri di ambang pintu, terdapat pin warna kuning menandakan ia seorang kakak kelasnya, Tio segera memberi hormat pada gadis berambut panjang tersebut.
"Perkenalkan aku Unna, salah satu penggurus di club bobrok ini, semoga kau betah...aku tak menyangka kedua iblis kecil itu benar bisa mengaet anggota untuk mau masuk club kami." Unna terdengar mendesah lirih melihat daun pintu kini melawan gravitasi.
Tio menggaruk belakang lehernya dengan sesekali menunduk melirik ke arah unna yang membenarkan kerusakan di lakukannya.
"Tak usah merasa bersalah, pintu kami memang begini."
Tio menganguk lemah dengan raut sedikit lega mendengarkannya.
"Nama ku Tio, anak kelas satu. Salam kenal." Unna menganguk, "Nama kakak itu Unna kan? Unna peraih juara satu."
Angukan kecil sebagai jawaban singkat darinya.
Tio terdiam tak bisa menutupi ke kagetannya, bari pertama kali ini ia benar-benar melihat sosok Unna, si juara.