BAB 1
Namanya Veronica Kim, perempuan dengan pakaian putih, baju kebesaran miliknya sebagai anggota judo di sana. Matanya memincing tajam menjatuhkan mental lawannya yang kini adalah seorang pria sebagai lawan mainnya kali ini. Seperkian detik pria berambut cepak mengayuhkan tendangan ke udara sayangnya kali ini pria itu salah menilai dengan cekatan perempuan dengan sabuk hitam terlilit apik merendahkan tubuhnya menghindari tendangan sejurus kemudian si perempuan menarik kerah si musuh serta menjegalnya hingga tubuh pria berbadan tinggi kini sudah berada di lantai,
Bruak..., suara debuman membuat angota lain yang memang kini tengah membentuk lingkaran di pinggir arena meringis ngeri memandang tubuh pria berambut cepak tadi dengan mudah terbanting.
"Berhenti," seru pelatih memberi kode untuk keduanya saling memberi hormat. "Silakan kembali ke barisan masing-masing." Anjuran sang pelatih mulai menyuruh murit lain untuk separing . teman duduk di sebelah pria berambut cepak mencondongkan tubuhnya.
"Gila, kau bisa kalah sama perempuan itu? Dill," pria berambut cepak memasang wajah masam memberitahu temannya yang baru dua minggu bergabung di club taekwondo.
"Kau masih junior disini Bil... dia itu monsternya anak Taekwondo namnya Veronica Kim, waktu kelas awal dia sudah hampir memecahan tempurung kaki kaka kelas waktu itu." Billi meneguk ludahnya kasar pandangannya jatuh pada wajah ayu dari Veronica, perempuan dengan kulit bersih tubuh jenjang bisa dibilang ia termasuk wakita cantik dilihat oleh billi namun ketidak tahuannya hampir membuat dirinya menyepelekan kemampuan menegerikan wanita tersebut.
Sepatu adidas hitam terlihat membalut langkah seseorang kini berjalan tengah tergesa sebuah ruangan dengan pintu abu-abu besar tertulis ruangan guru, ia mengehela nafas panjang sebelum masuk ke dalam, nampak terlihat terdapat bilik ruangan tiap guru di sana, ruang kantor para guru pengajar. Perempuan dengan kepang kiri mendekati sosok pria dengan rambut agak nyentrik berwarna coklat kemerah-merahan.
"Ada urusan apa ya pak saya di pangil kemari." Unna to the poin tanpa basa-basi lagi untuk sekedar berbaik hati menyapa guru pembina.
"Kau tau club mu cuman di isi tiga orang, kalau begini terus bapak rasa akan menutup club milikmu dan meniadakan nya." Jemari berurat milik guru pria itu asik membenarkan helaian rambutnya tak bermasalah, tapi ia terus mengulanginya.
"Kalau begitu apa kami bisa punya solusinya untuk masalah ini Pak." Suara Unna melemas seketika meminta sepucuk keringanan dari pria kini tengah duduk bersandar.
"Bisa saja," pria itu kini mengerutkan dahinya memikirkan sesuatu untuk menimang permintaan siswi terbaik di sekolah ini.
"Kurasa keputusanku sudah bulat, bisa saja untuk kini bapak bertimbangkan jikalau, pertama. Kalian harus aktif seperti yang lain punya kegiatan...kulihat di stastitik kegiatan clubmu lah yang paling tak punya kontribusi seperti club lainnya dan tambahlah anggotamu minimal lima orang. Tapi, kalian hanya berisi tiga orang saja, jika dalam waktu tiga bulan kelompokmu sama sekali tak menunjukan progres memuaskan. Club pewarta milikmu akan benar-benar bapak hapus dari kegiatan ekstarakulikuler untuk tahun depan dan seterusnya."
Lima belas menit setelah mendengar ultimatum dari pak Budi pada Unna, sapaan gadis remaja bernama lengkap Nessa Aunna tersebut kini terdiam sembari melirik ke arah. seorang perempuan lainnya berambut pendek yang mirip Dora tengah berjongkok membuat pakaiannya kian kusut, seperti mencari sesuatu di kolong meja dengan bantuan gagang sapu, sedangkan Unna masih setia mematung.
"Dapat!" sebuah potongan lego berwarna kuning kini sudah berada di tangan, Lea jahera kerap di sapa Jahe, entah dahulu orang taunya mendapatkan motivasi dari mana hingga menamai anaknya seperti itu yang ia tahu dulu ibunya pecinta film luar. Kini ia tersenyum bak orang bodoh memberikan potongan terakhir membentuk rumah dari susunan lego
"Kalau begini terus club kita bisa di tutup deh."
terlihat dari air mukanya Unna sudah sangat pesimis dengan club mereka kian hari tak ada kabar yang bisa di beritakan. Daripada mengikuti club mereka anak zaman sekarang lebih menaruh minat pada kegiatan yang di angap nya keren.
Dorongan daun pintu yang terdengar di paksa terbuka membuat kedua kepala di sana menatap kedatangan Veronica dengan kengerian, pintu yang dasarnya sudah reyeot kini makin rusak kehilangan engselnya.
"Yahhh...," Jahe melihat naas susunan lego berantakan di atas meja karena kemunculan sosok tinggi di sana, "L-lego ku." Bibirnya maju beberapa centi.
"Mampir dulu Ya, capek." Tubuhnya sudah di rebahkan di atas sofa reyeot entah kapan si pengurus sekolah mau mengantinya seperti club sains yang jauh lebih mewah prabotan club mereka, Jahe mengendus aroma menyengat dari tubuh perempuan berambut coklat.
"Iuuh, abis separing mandi sono di club mu kan ada kamar mandi jangan bawa aroma kebusukan mu kemari wahai manusia...," Jahe mengeluh dengan gaya berlebihan.
"Di sana pria semua, kalian ikhlas demi pokemon Go! temen kalian ini di godain." Timpal Ve nampak ikut hiperbola
Kali ini kedua temannya yang lain kompak merotasikan matanya jengah.
Unna berdiri mendekati kedua temannya dengan jemari mengacung ke wajah kedua perempuan di sana
"Kau... kau," Tunjuknya satu satu ke ujung hidung temanya dengan kesal, Unna mengomel menceritakan kesulitan club mereka terancam tutup karena kurangnya angota selain mereka bertiga serta dana bantuan dari guru untuk tiap club sama sekali tak mengucur dengan deras seperti club lainnya.
Unna mengambil potongan lego warna-warni membanting nya hingga makin bercerai berai.
"Dan kalian santai-santai saja!! Apa-apaan ini, kau jahe main lego dengan santai, dan kau." Veronica terkesiap dengan wajah tegang merangkul Jahe yang duduk di sebalhnya, "Masih kiringatan datang ke sini cuman numpang rehat, kalian mau mati hah! Katakan," Unna melempar potongan lego ke arah keduanya dengan wajah memerah.
Wajah kedua korban nampak memelas usai mendapatkan khotbah indah dari Unna si mulut iblis, astaga rasanya sudah banyak korban di kalahkan telak tanpa berkutik hanya dengan kalimat sakartis darinya, Veronica bahkan hanya bisa pasrah merasakan kupingnya panas, jangan di tanya masalah sakit hati kedua temannya sudah cukup kebal atau memang tak punya hati yang bisa bikin orang keheranan bisa betah dengan Unna jika marah.
"Mau cari di mana kita." Sudah hampir lima belas menit mereka keluar dari ruangan club mereka, hanya ada Vee serta Jahe keduannya kompak duduk di pingiran lapangan.
"Mana ekikah tau," sahutnya bernada bak banci di perempatan jalan lampu merah, Jahe mendengus sebelum memukul lengan perempuan bertubuh jangkung.
"lengan ku masih sakit loh."
"Makannya jangan bikin panas dingin, gak bakal aku ajak kuliner lagi." Ancam Jahe cukup efektif membuat Ve terdiam dengan bibir cemberut.
Sejenak keduanya terdiam mendengar bunyi perut mereka kini terdengar nyaring, bola mata mereka saling bersibobrok. Seperti sudah tau apa isi otak mereka keduannya tersenyum lebar.