Chereads / CINTA UNTUK MAIRA / Chapter 2 - Rasa Trauma

Chapter 2 - Rasa Trauma

Setelah mengantarkan Intan pulang, Maira lalu melanjutkan perjalanan pulangnya. Jarak rumah Intan dan juga Maira tidak terlalu jauh, sehingga tidak memakan banyak waktu untuk sampai dirumah Maira.

"Assalamualaikum, Maira pulang!" Ucapnya sembari melepas alas kakinya dan kemudian masuk ke dalam rumahnya. "Ra, kamu sudah pulang?", tanya Tina. "Sudah, Bu. Apakah ibu sudah makan?", tanya Maira. "Nanti saja nak. Ibu belum lapar," jawab Tina.

Semenjak menerima surat dari pengadilan agama, ibu selalu saja terlihat murung. Sepertinya, beliau belum bisa melupakan sosok Effendi Arta Negara, ayah kandung Maira. Meskipun Tina sudah dilupakan mentah-mentah oleh Effendi, tetapi ia tetap saja bersikeras untuk mempertahankan rumah tangganya itu.

"Sudahlah bu. Untuk apa ibu terus-terusan memikirkan ayah?", tanya Maira. "Sebenarnya ibu sangat kecewa sekali dengan ayahmu, Ra." Kata Tina kepada anak semata wayang ya itu. "Iya Bu, Maira tau itu. Tetapi nasi sudah menjadi bubur bu, ayah sudah benar-benar melupakan kita. Lalu untuk apa kita masih memikirkannya?", tanya Maira. Tina pun terdiam. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Effendi akan lebih memilih wanita lain dibandingkan istrinya sendiri.

"Lebih baik kita makan saja, Bu. Ibu mau apa? Biar Maira saja yang memasak untuk ibu," tanyanya kepada Tina. "Tidak usah lah nak," jawab Tina. Sedari tadi Tina hanya sibuk menatap surat tersebut. Maira sangat takut sekali, kalau nanti ibunya stress hanya karena surat gugatan cerai tersebut. Maira tau betul bahwa ibunya adalah wanita yang tangguh. Jadi untuk apa beliau menangisi surat itu? Maira pun berfikir, bahwa sebenarnya bukan surat itu yang ditangisi ibunya. Melainkan ada hal lainnya lagi yang membuat ibunya seperti ini.

"Kalau begitu, May keluar sebentar ya bu. May nggak akan lama kok," kata Maira. "Baiklah nak. Hati-hati, jaga dirimu. Dunia diluaran sana begitu kejam nak." Pesan ibunya. Maira pun tertegun melihat raut wajah ibunya yang seketika berubah semu kemerahan karena marah. Maira sama sekali tidak tau harus berbuat apa lagi.

Ia pun keluar dari rumah. Berjalan menyusuri jalanan disekitar rumahnya. Berharap menemukan celah dari pokok permasalahan ibunya ini.

"Maira!" Terdengar suara seseorang memanggilnya. Maira pun menoleh, mencari dari mana asal suara tersebut. "Maira!" Panggil seorang wanita paruh baya yang tengah berdiri di depan rumahnya. Ia pun melambaikan tangannya dan meminta Maira untuk mendekatinya.

Iya Bu, ada apa ya?", tanya Maira. "Bagaimana keadaan ibumu?", tanya wanita itu. "Ibu baik-baik saja kok Bu," jawab Maira. "Syukurlah kalau begitu. Kemarin selepas ayahmu pergi, ibumu terlihat sangat terpukul sekali nak." Kata wanita itu membeberkan kejadian yang menimpa ibu Maira. "Ayah kemari Bu?", tanya Maira. "Iya. Ayahmu kemari dengan seorang wanita cantik berkulit kuning langsat. Sepertinya dia seorang model. Lalu, tak lama setelah itu saya mendengar mereka bertengkar hebat didalam rumah." Jelas wanita berambut ikal itu. "Lalu, setelah itu apa yang terjadi Bu?," tanya Maira. "Mereka keluar. Ayahmu mendorong ibumu sampai ia tersungkur ke tanah. Kami minta maaf, karna kami tidak bisa berbuat apa-apa pada ibumu." Ucap wanita itu mengungkapkan penyesalannya. "Tidak apa kok Bu. Terima kasih karna sudah mau menceritakan semuanya pada saya. Kalau begitu saya permisi dulu," kata Maira. Ia lalu kembali pulang.

"Bu, ibu!" Panggil Maira. Ia mencari ibunya ke seluruh penjuru ruangan. "Ibu dibelakang nak," sahut Tina. Maira lalu berlari menghampiri ibunya dihalaman belakang. Dengan nafas yang masih ngos-ngosan, Maira pun bertanya kepada ibunya. "Apakah kemarin ayah datang, bu?", tanyanya. "Kamu tahu dari mana?", tanya Tina. "Dari tetangga. Apa benar bu?", tanya Maira. "Yah, benar. Ayahmu memang datang kemari," jawab Tina. "Apa yang ayah perbuat pada ibu?", tanya Maira. Tina hanya terdiam. Ia tidak berani menatap mata Maira. "Katakan saja bu," kata Maira. "Berjanjilah sekali lagi pada ibu, untuk tidak membenci ayahmu," ucap Tina. "Iya bu, aku berjanji." Jawab Maira. Matanya pun menatap Tina dengan penuh tanda tanya.

Tina pun mulai bercerita kepada anaknya itu. "Jadi sebenarnya, kemarin ayahmu memang kemari nak. Kami bertengkar dengan hebat. Ayahmu membawa seorang wanita," kata Tina. Ia pun berhenti sejenak. Menata kembali nafasnya dengan tenang. "Lalu?," tanya Maira.

"Ayahmu berkata, bahwa ia lebih memilih wanita itu dibandingkan kita." Jelas Tina, ia tak sanggup lagi menahan air matanya itu. Kedua pipinya pun basah. Maira berusaha menenangkan ibunya. "Sudahlah, bu. Biarkan saja, mungkin saat ini memang harus seperti ini dulu," kata Maira. Ia lalu memeluk ibunya dengan erat. "Tumpahkan segala kesedihan ibu," ucapnya lirih. Tina pun menangis diperlukan anaknya itu.

Tak lama kemudian, Maira pun melepaskan pelukannya. Ia lalu berkata, "Saat ini cukuplah kita berdua saja, bu. Dengan atau tidak adanya ayah, tidak akan berpengaruh apa-apa pada kehidupan kita. Ibu tenang saja, aku adalah orang pertama yang akan melindungi ibu." Maira begitu sangat menyayangi ibunya. Ia sama sekali tidak ingi kalau ibunya terluka maupun disakiti oleh siapapun juga.

Kejadian yang menimpa ibunya ini, mengingatkannya pada cerita masa lalunya dulu. Dimana saat itu Maira tengah menjalin hubungan dengan anak seorang guru disekolahnya. Sebut saja, Riko. Pada saat itu, Maira ditinggalkan Riko begitu saja. Karna Riko lebih memilih bersama sahabatnya sendiri semasa itu. Maira sangat terluka, bahkan ia sampai depresi karna hal ini. Maka dari itulah, Maira tidak mau lagi menjalin hubungan dengan siapa pun hingga saat ini. Rasa traumanya itu terus saja menghantuinya hingga saat ini.

"Ibu istirahat dikamar saja ya," kata Maira. "Iya nak. Tolong bantu ibu ke kamar ya," ujar Tina. Maira lalu membantu ibunya untuk berjalan ke kamar. Sesampainya di kamar, Maira lalu membaringkan ibunya diatas tempat tidur. "May masak dulu ya bu. Untuk makan malam nanti, ibu istirahat saja," kata Maira. "Baiklah nak. Semua sayuran ada didalam kulkas. Terserah kamu mau masak apa," kata Tina. "Telur sama ayam juga ada", imbuh Tina lagi. "Iya bu," jawab Maira.

Tak lama kemudian, Maira pun beranjak pergi meninggalkan ibunya sendirian di kamar. Maira pun berjalan kedapur. Ia lalu membuka kulkasnya. Didalam kulkas ada sawi putih, buncis wortel, dan masih banyak lagi.

"Masak apa ya?", pikirnya. Setelah berfikir cukup lama, akhirnya Maira pun memutuskan untuk memasak tumis buncis campur sawi dan ayam goreng tepung. Maira pun memasak.

Setelah 30 menit kemudian, semua masakan Maira pun sudah matang. Ia lalu menyiapkannya di meja makan. Kemudian Maira pun kembali ke kamar ibunya. Dan mengajak ibunya untuk makan malam bersama.

"Bu, ayo makan malam dulu. May sudah masak enak banget lo," kata Maira. "Kamu duluan saja nak," jawab Tina. "Ayolah bu, kita makan sama-sama ya," ajak Maira. "Baiklah kalau begitu." Akhirnya ibunya pun mau untuk makan malam bersamanya.