Chereads / CINTA UNTUK MAIRA / Chapter 6 - Resmi Bercerai

Chapter 6 - Resmi Bercerai

Dua hari pun berlalu. Kaki Maira pun sudah jauh lebih baik. Sepertinya luka di lututnya pun sudah membaik. Walaupun jalannya yang masih sedikit pincang, tapi Maira tetap saja membantu ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah.

"May! Maira!" Panggil Tina dari arah kejauhan.

Maira yang tengah sibuk mencuci piring dan membereskan dapur pun segera berjalan menghampiri ibunya.

"Iya, Bu. Sebentar! Mau masih cuci piring, selesai nyuci piring May akan ke ruang tamu, Bu." Sahut Maira seraya meletakkan piring-piring di rak.

Setelah selesai meletakkan semua piring dan gelas, Maira pun lalu berjalan menghampiri ibunya yang tengah duduk di kursi ruang tamu.

"Ibu manggil May? Ada apa, Bu?" Tanyanya seraya membenarkan posisi duduknya tepat di kursi sebelah Tina.

"Ternyata hari ini adalah hari persidangan ibu dengan ayahmu. Ibu harus datang ke pengadilan hari ini, May." Ujar Tina sembari memperlihatkan surat panggilan yang tengah dibawanya.

"Apakah ibu akan datang?" Tanya Maira. Tatapannya pun mengarah tajam pada ibunya. Jujur saja, Maira masih sangat kecewa sekali dengan perlakuan ayahnya tempo hari pada ibunya itu.

"Ibu akan datang, May." Sahut Tina dengan menampakkan wajah muramnya itu. "It's okey, Bu. May akan temani ibu," kata Maira dengan memegangi pundak ibu yang sangat ia sayangi itu. "Lalu, bagaimana dengan kakimu, May? Dan pekerjaanmu?", tanya Tina. Dengan senyum manis yang tersirat di wajahnya, Maira pun berkata, " Ibu tenang saja. Maira akan ijin libur kerja hari ini. Kalau masalah kaki, InsyaAllah May nggak apa-apa kok, Bu."

Satu jam kemudian, Maira dan ibunya pun berangkat menuju ke pengadilan. Sesampainya disana, dengan langkah kaki tegap, Maira pun menggandeng tangan ibunya dan berjalan menuju ke ruang persidangan. Disaat yang bersamaan, ayah Maira pun juga datang bersama dengan seorang wanita seksi yang mengenakan baju formal berwarna merah. Wanita itu menggandeng tangan ayah Maira dengan sangat erat. Sepertinya ia adalah orang yang menyebabkan kedua orang tua Maira berpisah.

"Oh, jadi karna wanita ini ayah tega sekali meninggalkan aku dan juga ibu? Dasar pelakor!" Batin Maira. Amarahnya pun seketika muncul begitu saja. Sebenarnya Maira tidak ingin hal ini terjadi. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur, dan jarum jam tidak akan mungkin bisa diputar kembali. Beberapa saat kemudian, sidang pun dimulai secara tertutup.

Satu jam kemudian, hakim pun memutuskan bahwa kedua orang tua Maira pun sudah resmi bercerai.

"Dengan ini, kami putuskan bahwa sudara Effendi Arta Negara dan saudari Tina Althalisa Nasution resmi bercerai." Ucap Hakim diiringi dengan suara ketukan palu. Suara pun menggema di seluruh penjuru ruangan. Effendi, ayah Maira dan selaku penggugat pun tersenyum sinis menatap kearah Maira dan juga ibunya yang tengah berpelukan disisi ruang sidang sebelah kiri.

"Tidak apa, Bu. Menangis lah. Kalau hanya dengan menangis bisa mengurangi beban dipundak ibu. May siap kapanpun ibu siap untuk meninggalkan ruang sidang ini." Tukas Maira seraya memeluk sang ibu yang tengah menangis sesenggukan didadanya.

Sementara itu, Effendi dan kekasihnya pun pergi meninggalkan ruang sidang dengan senyum dan tertawa bahagia. "Akhirnya, aku bisa terbebas dari wanita itu!" Ujar Effendi dengan tawa bahagianya. "Iya, Mas. Selamat ya," ujar kekasihnya itu. Keduanya lantas berjalan meninggalkan ruang sidang.

"Bisa-bisanya ayah berkata seperti itu," kata Maira. Raut wajahnya pun semakin terlihat marah. Tak lama kemudian, Maira dan ibunya pun pergi meninggalkan ruang sidang. Dan segera bergegas pulang. Sungguh, hari ini adalah hari yang paling melelahkan untuk Maira dan juga ibunya.

Sesampainya dirumah, Maira langsung saja mengantarkan ibunya untuk beristirahat di kamar.

"Ibu tidur saja dulu, istirahat yang cukup ya Bu. Nanti May saja yang masak untuk makan siang," ujar Maira sambil menyelimuti tubuh ibunya yang renta.

"Kriiinngggg--kriinngg--kriinngg" Ponsel milik Maira pun berdering dengan sangat keras. Ada sebuah panggilan masuk dari bosnya, Pak Angga.

"Waah, pak bos killer telfon. Ada apa ya?" Gumam Maira. Sesaat kemudian, ia pun mengangkat telfonnya.

"Iya, halo Pak. Selamat siang." Kata Maira mengawali pembicaraannya dengan bosnya itu.

"Kemana saja kamu! Kenapa nggak masuk kantor?" Suara Pak Anggak pun terdengar sangat tegas sekali.

"Saya sudah ijin sama HRD kok, Pak. Hari ini saya ijin nggak masuk kantor karna mau menemani ibu saya sidang perceraian di pengadilan." Jawab Maira sedikit gugup. Ia hafal betul bagaimana raut wajah atasannya itu saat ini. Yang pasti kesal dan juga sangat marah padanya. Pasalnya, hari ini ada beberapa file yang harus ia kerjakan. Tapi, malah Maira ijin tidak masuk kantor.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu? File-file penting yang saya minta? Apa sudah siap?" Pak Angga pun langsung saja mencecarnya dengan berbagai macam pertanyaan.

"Su-sudah Pak. Semua file sudah saya kirimkan via email. Semua hasil rekapan bulan lalu juga sudah saya siapkan. Besok akan saya bawa ke kantor. Sekali lagi saya minta maaf ya, Pak." Ujar Maira dengan oenuh rasa bersalah.

"Baiklah kalau begitu. Lain kali jangan seperti ini. Dan saya minta, besok kamu langsung menghadap saya diruangan saya. Mengerti!" Kata Pak Angga seraya mematikan telfonnya.

"Mengerti, Pak. Halo? Pak?" Maira pun tidak sadar kalau telfon tersebut sudah dimatikan. "Halo? Aah, sial. Udah dimatiin aja, dasar killer." Gerutu Maira.

Ia terus saja bergumam. Besok adalah hari yang sangat buruk untuknya. "Pasti besok kena sanksi lagi. Atau malah dihukum? Atau dipecat? Aah.. tau lah. Biarkan saja." Ujar Maira.

Setelah itu, Maira pun menuju ke dapur untuk membuat makanan untuk makan siang nanti. Yah, beginilah. Semenjak sang ibu digugat cerai beberapa hari yang lalu, dan resmi bercerai hari ini, semua pekerjaan rumah Maira yang menghandle nya. Ia tidak ingin membuat ibunya kecapekan lagi. Ditambah lagi, masalah yang menimpa ibunya pun sudah sangat berat sekali. Maira hanya berharap, semoga saja akan ada hikmah yang baik untuk semua masalah keluarganya saat ini.

Setelah sekitar 30 menit menyiapkan makan siang, Maira pun lantas berjalan menuju ke kamar ibunya.

"Ibu, Maira buatkan makan siang untuk ibu. Kita makan sama-sama ya, Bu." Kata Maira sambil memegangi pundak ibunya yang masih berbaring diatas tempat tidur.

"Tidak, May. Ibu tidak lapar. Kamu saja yang makan," jawab Tina. Sementara itu, Maira lalu memeluk ibunya dari belakang dan berkata, "Bu, jangan pernah merasa sendirian ya. Maira akan selalu ada untuk ibu. Kita makan sama-sama ya, Bu." Mendengar perkataan Maira, Tina pun langsung berbalik badan dan memeluk tubuh Maira.

"Terima kasih banyak ya, May." Ujar Tina seraya mengusap rambut Maira. "Sama-sama, Bu. Sudah ya sedih-sedih nya, kita makan yuk! May sudah siapkan makanan yang spesial untuk ibu." Kata Maira. Tina pun tersenyum, keduanya lalu berjalan menuju dapur untuk makan siang bersama di meja makan.

"Ibu harus kuat ya, Bu." Batin Maira sambil menatap ke arah ibunya yang sedang menikmati makan siang nya.