"Maira berangkat ke kantor dulu ya, Bu." Ujar Maira seraya memakai sepatu pantofel berwarna hitam miliknya. Ia lantas mencium tangan ibunya dan beranjak pergi meninggalkan rumah dan menuju ke kantor.
Pagi ini ia sangat terburu-buru sekali. Bagaimana tidak? Suara baliton atasannya semalam, selalu saja terngiang di kepalanya. Sesampainya di kantor, Maira langsung bergegas menuju ke ruangan Pak Angga, atasannya yang super killer itu.
"Permisi! Ini Maira, Pak. Boleh saya masuk?" Tanyanya diiringi dengan ketukan pintu. "Silahkan masuk!" Jawab Pak Angga dengan lantang dan juga tegas. Setelah Maira masuk, ia pun dihadapkan dengan wajah galak atasannya itu.
"Duduk!" Ujar Pak Angga. Matanya pun melotot kearah Maira, menatap Maira dengan sangat tajam. "Apakah kamu tau apa kesalahanmu?" Satu pertanyaan yang keluar begitu saja dari mulut atasan killer nya itu.
"Pertama, saya minta maaf Pak. Semalam saya sudah menjelaskan bahwa, kemarin saya ijin tidak masuk kantor untuk menemani ibu saya sidang perceraian di pengadilan. Sebelumnya saya juga sudah meminta ijin pada pihak HRD, dan mereka pun memberikan saya ijin." Jelas Maira. Pandangannya pun tertunduk lesu dihadapan atasannya itu. Ia hanya bisa pasrah akan apa yang akan terjadi kepadanya hari ini. Baginya, yang terpenting tetaplah ibunya.
"Kamu saya pecat! Silahkan keluar dari ruangan saya dan kemasi semua barang-barang kamu!" Kata Pak Angga dengan tegas.
Mendengar perkataan Pak Angga, Maira pun hanya bisa pasrah atas keputusan yang diambil oleh atasannya itu. "Baiklah, Pak. Kalau begitu saya permisi." Jawab Maira sembari beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan atasannya itu.
Meskipun keadaan Maira saat ini sangat tidak baik, ia masih bisa tersenyum. Ia paun berharap akan ada perusahaan lain diluar sana yang mau menerimanya untuk bekerja. "Sudahlah. Nanti juga ada gantinya. Lebih baik aku segera pulang dan mengurus ibu," ujarnya. Setelah semua barang-barang miliknya sudah ia kemasi, Maira pun keluar dari kantor tersebut.
"Bruukk!!"
Di lobby kantor, Maira pun tidak sengaja berpapasan dan menabrak Andika.
"Maaf-maaf. Saya tidak sengaja," ujar Maira. Ia lalu memungut beberapa barang-barangnya yang jatuh.
"Maira?" Sapa Andika membantunya memunguti buku-bukunya yang jatuh. Sepertinya Maira mengenal suara itu, ia lalu mendongakkan kepalanya dan menatap ke arah Andika yang tengah jongkok didepannya sembari memungut buku-bukunya yang jatuh.
"Iyah," jawabnya lirih. Maira terus saja menunduk. Padahal semua buku-bukunya sudah ia ambil.
"Kamu resign?" Tanya Andika, tatapannya pun menatap tajam ke arah Maira.
"Aku dipecat, Dik. Aah sudahlah, aku pulang dulu ya. Permisi," jawab Maira seraya pergi meninggalkan Andika seorang diri di lobby kantor.
Dalam hati, Andika pun bergeming, "Maira dipecat? Tapi kenapa? Setahuku dia adalah salah satu karyawan teladan di kantor ini. Apa yang membuatnya dipecat?" Andika pun terus saja bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Sementara itu, Maira pun pulang dengan perasaan yang bimbang dan berkecamuk. Ia bingung, apa yang harus ia katakan nanti jika ibunya bertanya perihal ini. Setibanya dirumah, Maira langsung masuk ke kamarnya. Melihat langit-langit kamarnya, saat ini ibunya masih tertidur dikamar. Beberapa saat kemudian, Maira pun tertidur.
"Tokk--tokk--tokk"
"Assalamualaikum" Sepertinya ada yang datang. Dari suaranya terdengar sangat tidak asing sekali. Ibu Maira yang tengah duduk bersantai diruang tamu pun langsung berjalan dan membukakan pintu.
"Intan?" Sapa Tina. Ternyata Intan yang datang. "Loh, kamu sendirian? Maira mana?" Tanya Tina. Hal itu langsung saja membuat Intan terkejut.
"Bukankah Maira sudah pulang sedari tadi, Tante? Intan sama sekali tidak bertemu dengan Maira di kantor hari ini," jawab Intan.
Mendengar perkataan Intan, Tina lantas mempersilahkan Intan untuk masuk. Kemudian ia pun beranjak pergi untuk melihat Maira di kamarnya. Dan ternyata benar, Maira tengah tertidur pulas dikamarnya.
"May, bangun sayang. Ada Intan loh didepan, dia nyariin kamu." Kata Tina seraya membangunkan Maira secara perlahan.
Maira pun membuka kedua matanya dengan pelan, sesekali mengucek matanya dan menguap. "Intan? Untuk apa dia kemari Bu?" Tanya Maira dengan masih memeluk erat guling kesayangannya itu.
"Entahlah. Ibu tidak tau, lebih baik kamu segera bangun dan temui dia." Jawab Tina. Setelah itu, Tina pun keluar dari kamar Maira. Tak lama kemudian, Maira pun berjalan sempoyongan untuk keluar dari kamarnya, lalu menemui Intan diruang tamu.
"Ada apa Tan? Ngapain kamu kesini?" Tanya Maira. Sementara itu, Tina malah lebih memilih untuk pergi dan meninggalkan keduanya diruang tamu.
"Kemana saja kamu, Ra. Aku seharian ini tidak melihatmu di kantor." Tanya Intan dengan rasa penasarannya.
"Tadi aku ke kantor, setelah itu pulang." Jawab Maira dengan santai. Sesekali ia pun menguap karena masih mengantuk.
"Kenapa pulang?" Tanya Intan lagi. "Pak Angga memecatku. Jadi aku pulang." Jawab Maira datar.
"Apa? Pak Angga memecatmu? Alasannya apa? Kenapa kami dipecat?" Intan pun terus saja mencecarnya dengan berbagai macam pertanyaan yang menyudutkannya. Maira pun akhirnya menjelaskan semuanya pada Intan.
"Yah, Pak Angga, atasan kita yang super killer itu memang memecatku tadi pagi. Alasannya karna kemarin aku tidak masuk kantor. Dan padahal aku sudah meminta ijin pada pihak HRD untuk tidak masuk kerja. Dengan alasan aku akan mengantarkan ibuku sidang perceraian di pengadilan. Pihak HRD pun memberikan ijin. Yang bikin aku bingung, kenapa Pak Angga malah memecatku dengan alasan yang sama sekali tidak masuk akal? Padahal selama ini kinerjaku sudah maksimal. Aku juga selalu melakukan pekerjaanku dnegan sangat baik." Jelas Maira pada Intan. Matanya pun mulai berkaca-kaca, menatap Intan dengan dalam. Dan perlahan, buliran bening itu pun jatuh membasahi kedua pipinya itu.
Mendengar penjelasan dari Maira, akhirnya Intan pun baru mengerti. Bahwa Maira melakukan hal itu hanya demi ibunya. Lalu kenapa Pak Angga malah tidak bisa mentolerir alasannya itu? Dengan sigap, Intan lalu memeluk Maira. Berusaha menenangkannya dan memberinya semangat.
"It's okey, Ra. Masih banyak perusahaan yang lainnya diluar sana. Jangan khawatir, kamu sangat pintar dalam segala hal. Tentu saja akan ada banyak perusahaan lain yang membutuhkan tenagamu." Ujar Intan seraya mengusap punggung sahabat karibnya itu. Maira pun menanngis sesenggukan di dada Intan.
"Menangis lah, Ra. Mungkin dengan menangis bebanmu akan sedikit berkurang," kata Intan lagi. Keduanya pun berpelukan cukup lama.
"Kalian makan dulu ya, ini ibu sudah buatkan nasi goreng untuk kalian." Kata Tina, seraya meletakkan dua piring nasi goreng yang masih mengepulkan asap panasnya. Intan dan Maira pun langsung melepaskan pelukan hangat keduanya.
"Waah, tante ini tau saja kalau Intan lapar. Terima kasih ya tante." Ujar Intan, sesekali memberikan kode pada Maira agar ia menghapus air matanya.
"Terima kasih ya, Bu. Apakah ibu sudah makan?" Tanya Maira menatap kearah ibunya. Tina hanya menganggukkan kepalanya saja sambil tersenyum tipis kearah keduanya. "Kalian makan saja." Sahut Tina.
Tak lama kemudian, Tina pun meninggalkan keduanya dan kembali masuk ke kamarnya. Intan dan Maira pun menarik nafas lega. "Syukurlah, ibumu tidak curiga." Ujar Intan. "Iya Tan. Aku tidak ingin kalau ibu sampai tau bahwa aku sudah dipecat dari kantor. Besok kamu bantu aku cari kerjaan diluar ya? Mau kan?" Tanya Maira sedikit memohon dengan wajah memelas dihadapan Intan. "Baiklah." Jawab Intan. Keduanya lalu saling tersenyum dan mulai menikmati nasi goreng yang sudah tersedia dihadapan keduanya.