"Jadi sekarang aku temanmu, ya? Baguslah, ternyata posisiku naik sekarang," gurau Devan yang tak berhasil membuat Raya tertawa. "Orang tuaku bukan tipe manusia yang suka memaksakan keinginan pada anaknya. Jadi kami bebas memilih pasangan. Jika Clay sudah memilihmu, itu artinya kedua orang tua kami pasti akan menerimamu dengan baik," akunya berusaha menenangkan Raya.
Raya tersenyum. "Syukurlah. Aku pikir orang tuamu akan sama dengan yang ada di sinetron." Karena kelaparan, tak terasa dia menghabiskan hampir setengah bento pemberian Devan.
"Kamu mau aku belikan bento lagi?" Devan senang sekali melihat Raya cukup tegar menghadapi tantangan percintaannya.
"Tidak, ini saja sudah cukup. Nanti siang aku harus menyelesaikan laporan bulanan. Kamu pulang duluan saja, ya. Tak perlu menungguku."
"Iya," balas Devan singkat yang malah membuat Raya heran. Tak seperti biasanya pria itu menuruti begitu saja permintaan dari Raya. Kenapa hari ini dia berbeda sekali?
Bel sekolah berbunyi. Jam pertama, Raya akan mengajar di kelas Devan.
"Ray, aku tunggu di kelas. Semangat!" Devan berlari kecil dan hampir menabrak guru lainnya yang baru datang.
Raya tersenyum. Bocah itu sudah berusaha menghiburnya hari ini. Terkadang Devan bisa bersikap manis juga padanya. Aneh.
***
Raya merasa kesepian di ruang guru. Hampir semua guru sudah pulang setelah jam sekolah berakhir. Sedangkan dia harus berkutat dengan laporan akhir bulan. Entah kenapa Pak Danu menambahkan tugas untuk menjadi sekretarisnya? Mencatat dan memeriksa semua pengeluaran sekolah. Harusnya ini tugas bendahara! Apalah daya sebagai orang baru, Raya wajib patuh pada atasan.
Sejenak Raya berdiri merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. Melihat keluar jendela dengan pemandangan hujan deras. Dia berdoa semoga tak ada petir. Raya selalu takut pada petir.
Tak berselang lama kilatan cahaya dari langit terlihat menyilaukan mata disertai suara gemuruh yang berdentum keras sekali mengagetkannya. "Aa," pekik Raya seraya menutup telinganya. Untuk kedua kalinya kilatan petir muncul lagi. Raya panik setengah mati sambil memejamkan matanya. Dia sangat trauma melihat petir.
Tiba-tiba saja seseorang merengkuh tubuhnya untuk bersandar di dada bidang itu. Raya mendongak ke atas. Dan terkejut mendapati dirinya berada dalam pelukan Devan. "Tenang, Raya. Aku di sini sekarang," bisiknya.
Seolah tak berdaya, Raya membiarkan momen itu mengalir begitu saja. Tanpa adanya perlawanan, tanpa banyak pertimbangan dan pemikiran.
Devan merangkul Raya dan membawanya menjauhi jendela. Mereka duduk di bangku panjang dekat pintu masuk. Devan hendak pergi mengambilkan segelas air putih untuk gurunya. Namun, Raya dengan cepat menyambar lengan Devan. "Mau ke mana? Di sini saja!" Ups, sejak kapan Raya menjadi sangat posesif pada bocah ini. Begitu tersadar ada sesuatu yang salah dalam dirinya, Raya langsung melepaskan genggaman tangan itu.
"Aku hanya mau mengambilkan kamu minum. Tunggu di sini sebentar." Devan mengambil cangkir dan mengisinya dengan air mineral. "Ini minumlah."
Buru-buru Raya mengambil air itu dan meminumnya untuk mengalihkan perhatian dari hal-hal tidak senonoh yang tiba-tiba muncul di benaknya.
Lagi-lagi langit seolah mempermainkan Raya. Seketika kilatan cahaya petir muncul mengagetkannya. Dia refleks menghambur memeluk Devan di sampingnya. "Maaf, aku-"
Devan memeluk Raya lebih erat lagi. "Huus, tak perlu meminta maaf. Raya, aku akan ada di sini untukmu."
Raya berdoa dalam hati semoga hujan cepat mereda agar batinnya tak lagi tersiksa. Malu sekali setelah menyadari bahwa dia perlahan mulai tergantung pada sosok Devan. Jujur saja, kini dalam dirinya tak ada lagi penolakan bahkan dengan gamblang menyambut perhatian muridnya itu.
Raya sedikit menjauh. Sebaiknya dia segera menyelesaikan pekerjaannya. "Aku ngerjain tugas dulu, ya." Dia fokus lagi dengan layar laptopnya. Sedangkan Devan duduk santai di samping Raya sembari membaca buku komik Naruto.
Suara gemuruh di luar kian mengganggu fokus Raya. Dan mendadak Devan memasangkan headset di telinga kanannya. "Ayo kita dengarkan lagu ini bersama-sama," ucapnya seraya merapatkan kursi ke arah Raya.
Lagu barat romantis tahun 2000 mengalun dengan indahnya. Raya heran, mengapa anak seusianya suka mendengarkan tembang lawas seperti ini.
Tak terasa Raya ikut bersenandung saat lagu favoritnya dari penyanyi Alicia Keys yang berjudul if i ain't got you, terdengar di telinga.
Devan melirik Raya. "Suka banget ya sama lagu ini?"
Raya mengangguk. "Suka arti liriknya. Dalam banget."
Suara senandung Raya masih terdengar merdu menyapa indra pendengaran Devan, hingga masuk ke dalam hatinya. Sekarang dia merasakan kebahagiaan luar biasa karena bisa sedekat ini dengan Raya. Rasanya dia memang perlu untuk berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirimkan hujan padanya. Biarlah hujan menjadi saksi, bahwa mereka mulai saling membutuhkan satu sama lain. Raya butuh Devan untuk mengenyahkan rasa takut akan petir. Sedangkan Devan memerlukan Raya sebagai tempat untuk meletakkan hatinya yang sudah lama dingin dan membeku. Es itu perlahan mencair sejak dekat dengan gurunya yang cantik itu.
Dua jam berlalu. Raya akhirnya bisa bernapas lega. "Ah, selesai juga pekerjaanku."
"Ayo, aku antar kamu pulang." Devan memasukkan komik-komik ke dalam tasnya.
"Sebelum kita pulang ke kontrakan, bagaimana kalau aku traktir kamu makan bakso di tempat langgananku?" ajak Raya. "Hmm, tapi jangan GR ya. Ini hanya sebagai rasa terima kasih karena kamu sudah mau menemaniku."
"Wah, mantap. Kebetulan aku lapar sekali. Sepertinya satu mangkok saja tak akan cukup."
"Terserah kamu. Mau pesan segerobak plus Abang yang jualan juga nggak apa-apa."
"Idih, aku nggak suka Abang-abang."
Raya tertawa lalu melenggang mengikuti Devan yang berjalan di depannya.
***
Devan melongok ke atas membaca papan spanduk di dalam warung bakso. "Serem amat namanya. Bakso Psikopat. Aku jadi curiga, jangan-jangan pakai daging manusia."
"Huss, sembarangan. Ini bakso halal tahu. Aku sering ketemu istrinya si Abang di pasar. Dia beli daging sapi yang masih segar."
"Kamu suka pergi ke pasar juga?"
"Ya kalau nggak bangun kesiangan seperti tadi pagi. Biasanya beli makanan dan buah-buahan untuk stok di kamar."
"Ray, seumur hidup aku belum pernah menginjakkan kaki di pasar. Mau dong ajak aku berkeliling ke pasar."
"Boleh. Besok pagi jam tujuh kamu harus stand by di depan kontrakan. Besok 'kan hari Minggu, jadi kita santai saja."
"Asyik, kita belanja apa?" Devan tampak sangat antusias sekali ingin merasakan belanja di pasar seperti yang dikerjakan para pembantunya di rumah.
"Aku paling beli makanan. Jajan tradisional di pasar enak banget. Ada kerak telur, ketan hitam, cendol, pokoknya pasar pagi itu surganya makanan deh. Bisa kalap mata."
"Aku juga mau coba makanan tradisional. Selama ini hanya makanan fast food saja yang jadi andalan saat ingin ngemil. Padahal nggak sehat banget."
Akhirnya bakso yang mereka pesan datang juga. Aromanya sungguh menggugah selera. Ditambah lagi Raya tak sendirian sekarang, ada Devan yang dengan senang hati menemaninya.