Chereads / Jodohku Bocah Resek / Chapter 10 - MAKAN SIANG YANG MENCEKAM

Chapter 10 - MAKAN SIANG YANG MENCEKAM

Tepat pukul 1 siang, mereka tiba di halaman sebuah rumah mewah bergaya Eropa modern. Raya menapaki halaman yang dipenuhi tanaman hias berharga fantastis.

"Ayo kita masuk ke dalam," ajak Devan yang seketika membuat Raya panik.

Berulang kali dia mengatur napas untuk meredakan detak jantungnya. Kapan lagi jika tidak sekarang? Bukankah sedari dulu, dia mendambakan hal ini terjadi. Harusnya Claytone yang menggandeng tangannya untuk masuk dalam rumah, tapi nyatanya hanya ada Devan.

"Ray, kok malah bengong. Ayo, kita masuk."

Devan membuka pintu kayu ukir itu dengan cepat. Seketika Raya melongo melihat pemandangan di dalamnya. Ini bisa dibilang lebih mirip istana, ornamen serba emas hampir memenuhi seisi ruangan.

Terlihat di sana, seorang wanita paruh baya sedang menyiapkan makanan. Wanita itu sangat cantik dan awet muda diusianya yang sekarang. Itu menunjukkan betapa banyak uang yang dihabiskannya untuk perawatan muka.

"Ma, aku pulang. Kenalkan dia Raya, guru matematika di sekolahku."

Wanita itu tersenyum. "Hai, Sayang. Salam kenal, ya. Panggil aku Tante Wina. Ternyata pacar Claytone cantik juga, ya. Ish, kenapa dari dulu dia tak mau mengajakmu ke sini?"

"Ah, bisa saja, Tan," ucap Raya tak sanggup menyembunyikan rasa canggungnya. "Tante juga glowing dan awet muda sekali. Kita berasa seumuran," pujinya lagi membuat Tante Wina senang.

"Dev, coba lihat kami. Seperti adik dan kakak 'kan?"

"Iya, Ma. Cocok. Kak Clay ada di rumah nggak?"

Raya menoleh ke Devan. Bocah itu seolah tahu isi hatinya.

"Kakakmu keluar dengan Cindy sedari pagi. Oh, pasti Raya juga ingin bertemu dengan Clay, ya?"

Raya hanya mengulas senyum sebagai jawaban.

"Dia akan membantuku mengerjakan tugas sekolah, Ma. Kami ke kamar dulu, ya." Devan mempersilakan Raya untuk mengikutinya.

Kamar Devan berada tepat di depan kolam renang. Raya sampai melongo melihat dekorasi ruangan yang didominasi warna ivory itu. Terlihat peralatan game, komputer, dan dilengkapi dengan home theater sendiri di dalamnya.

"Ray, mingkem. Nanti ada lalat masuk ke mulutmu," gurau Devan.

"Ini benar-benar gila. Fasilitas rumahmu bikin jiwa rampokku meningkat. Pengen aku bawa pulang ke kontrakan." Raya tertawa.

"Hmm, ini hanya pekerjaan di luar sekolah, Ray. Dari sini aku bisa menghasilkan uang dan sudah membeli sedikit aset untuk masa depan."

Lagi-lagi Raya dibuat terkejut mendengar pengakuan dari Devandra. "Jadi maksudmu, semua ini bisa menghasilkan uang? Aku kira hanya untuk bersenang-senang saja."

Devan tersenyum simpul. "Aku menggunakannya sebagai alat bersenang-senang juga. Tidak ada salahnya jika hobi terus ditekuni dan dikembangkan maka akan menghasilkan cuan. Aku seorang programmer game dan gamer profesional. Makanya dulu memilih belajar di Singapura."

"Keren, aku tak menyangka dari sifatmu yang slengean ternyata sudah bisa menghasilkan uang dari hasil kerja keras sendiri."

Devan menatap mata Raya tajam. "Jadi aku bisa menafkahimu kelak jika nanti kita hidup bersama."

Deg.

Perasaan macam apa ini yang mendadak memberondong diri Raya. Ada bahagia yang menyusup di hatinya. Tapi sistem otak terus memperingati bahwa Raya sedang berada di jalur yang salah. Buru-buru dia mengalihkan pembicaraan.

"Dev, ini fotomu waktu masih bayi, ya? Lucu sekali. Coba saja sekarang kamu pakai baju kuning, pasti imut seperti ini."

"Jika aku memakai baju kuning, apakah akan lebih tampan dari kakakku?" tanya Devan iseng saja.

"Kalian sama-sama tampan jadi aku tak bisa membedakannya."

"Ray, mau aku putarkan musik atau film?" Devan mengambil USB koleksi filmnya.

"Tidak perlu, aku ingin duduk saja di sini. Menikmati kedamaian." Raya membaringkan tubuhnya di atas sofa empuk milik Devan. Rasanya lebih empuk dari tempat tidur Raya dikontrakkan. Begitu tenang suasana di sini, jauh berbeda dengan situasi di kontrakan.

Klek.

"Ray, ayo kita makan bersama. Tak perlu menunggu Claytone. Pasti mereka sudah makan di luar." Tante Wina masuk menginterupsi keduanya.

"Wah, terima kasih, Tante. Sebentar lagi kami akan turun."

"Oke aku tunggu di bawah."

Raya melirik Devan yang masih berkutat dengan gantungan USB. "Dev, apa Cindy sering datang ke sini? Mereka sering jalan bareng, ya?"

"Iya, hampir tiap hari," jawab Devan santai.

Raya mendengus kesal. "Oh, begitu. Sekarang aku mulai sedikit tahu seberapa dekat hubungan mereka."

"Kamu jangan salah paham. Cindy itu teman masa kecil kami. Jadi wajar saja jika dia dekat dengan Kak Clay," sergah Devan tak ingin Raya salah paham. Meskipun Devan sendiri tak yakin kakaknya akan setia. "Jangan dipikirkan. Ayo, kita makan. Mama sudah menunggu."

Raya mengangguk lalu mengikuti Devan berjalan di depannya. Dengan wajah sedikit tertunduk lesu.

"Sini Raya. Tante siapkan piringnya. Hari ini ada menu seafood. Kamu nggak alergi seafood 'kan?" Tante Wina mengambilkan piring untuk Raya.

"Tidak, Tante. Saya suka sekali udang dan cumi-cumi." Raya sedikit tergoda dengan penampilan menu yang warna-warni di depannya.

"Makan yang banyak kalau begitu."

Suara khas Clay sedang tertawa terdengar dari arah ruang tamu. "Mama, kami pulang." Betapa kagetnya saat melihat Raya ada di sana. "Raya, kenapa kamu di sini?"

Devan yang tak suka dengan pertanyaan kakaknya langsung bereaksi. "Kenapa memangnya kalau dia ada di rumah ini? Siapa yang melarang? Dia akan membantuku mengerjakan tugas sekolah," katanya sinis.

Raya terdiam melihat gadis yang datang bersama Claytone. Cindy ternyata sangat cantik seperti boneka Barbie, jauh melebihi bayangan Raya.

"Hei, Cindy. Kita makan sama-sama. Ini aku buatkan menu spesial untukmu," sapa Tante Wina ramah bahkan sangat ramah seperti berbicara dengan anaknya sendiri.

"Wah, pasti enak. Terima kasih, Mama. Aku mau coba udangnya." Cindy duduk di samping Tante Wina. Mereka akrab sekali. Sungguh membuat iri.

Acara makan siang berjalan dengan dingin. Hanya sesekali terdengar obrolan Cindy dan Tante Wina saja.

"Bagaimana dengan bisnis fashionmu di sini, Cin?"

"Lancar, Ma. Lebih cepat berkembang daripada saat aku merintisnya di Singapura," balas Cindy sembari menikmati udang goreng tepung.

"Wah, bagus dong. Kamu bisa seterusnya di Jakarta."

"Rencananya seperti itu, Ma. Soalnya di Singapura aku kesepian. Berbeda dari sini, aku bisa main sepuasnya dengan kalian." Cindy menoleh ke arah Raya. "Oya, aku dengar kamu adalah guru di sekolah Devandra, ya? Pasti susah sekali punya murid terlalu resek macam dia."

"Eh, jangan sok tahu. Gini-gini aku idola baru di sekolah," tandas Devan yang tak terima jika dirinya dibilang resek. "Aku murid yang baik 'kan, Bu Raya?"

"Sedikit baik, tapi lebih banyak kesurupan reog," ujar Raya ngasal.

Cindy tertawa mendengar kalimat Raya. "Memang Devan itu titisan jin."

Semua orang tertawa bahagia. Tapi beda dengan Raya. Dia bahkan tak bersemangat memakan hidangan yang tadinya tampak menggoda. Dia muak, rasanya ingin berlari dari sini saja. Pembicaraan Tante Wina dan Cindy, membuatnya merasakan sakit di dada. Sungguh Raya tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan wanita cantik itu. Cindy punya segalanya yang tak dimiliki Raya. Karier cemerlang, kekayaan, dan pesona yang memikat pandangan pria.