Chereads / Jodohku Bocah Resek / Chapter 13 - INSIDEN DI SEKOLAH

Chapter 13 - INSIDEN DI SEKOLAH

"Eh, lihat itu Devandra Sanjaya anak IPS 3B 'kan? Ya ampun ganteng banget. Gue rela jadi budaknya seumur bumi, kalau dia mau jadi cowok gue," decak salah seorang murid wanita.

"Duh, gue rela jual ginjal buat ngasih dia Iphone asal mau jadi ayang."

"Eh, kalau gue rela operasi plastik ke Korea biar pas bersanding dengan Devan."

Raya tak sengaja mendengarkan pembicaraan konyol muridnya saat menonton para tim basket pria sedang berlatih.

"Hei, kalian tidak masuk ke kelas? Ini sudah waktunya jam pelajaran dimulai. Ayo, sana balik ke habitat masing-masing," seru Raya memerintah anak didiknya.

"Ah, Ibu mengganggu kesenangan kami saja."

"Bubar, bubar!"

Raya tercenung menatap jauh ke depan. Tempat di mana dia bisa menikmati pemandangan tereksotis. Devan sedang serius bermain basket dengan bertelanjang dada menampakkan otot kekarnya. Dan rambut sedikit basah akibat keringat yang mengucur dari kening. Untuk pertama kalinya Raya mengagumi Devan yang dianugerahi bentuk fisik di atas rata-rata.

"Ah, pantas saja para wanita langsung bisa terpikat padanya. Dia memang sesempurna itu," puji Raya dalam batinnya.

Mendadak Devan mengarahkan matanya pada Raya dan dia menyeringai.

Astaga! Apa yang Raya lakukan? Bocah itu pasti akan GR mengira Raya terpesona dengannya. Raya buru-buru melanjutkan kegiatannya mengajar di kelas.

***

"Bu, cepat ke lapangan. Muridmu sedang berkelahi."

Raya berlari menuju lapangan dan betapa terkejutnya ketika melihat dua muridnya saling memukul dan berguling-guling di tanah. "Hei, hentikan! Kalian jangan bertengkar. Sudah cukup."

Devan melepaskan cengkeraman baju Roni, si ketua kelas. Raya frustrasi melihat keadaan dua orang itu. Bajunya kotor dengan tanah dan ada luka lebam di wajah.

"Kalian sebenarnya ada masalah apa, ha?" tanya Raya memelototi keduanya.

"Dia yang memukul wajah saya duluan, Bu," ujar Roni membela diri.

"Eh, kalau bukan karena mulut busuk lo itu, gue nggak bakal bereaksi semarah ini."

"Memangnya gua bilang apa? Dasar freak!" Roni memaki dengan suara keras, lalu dia pergi begitu saja.

Raya memegang keningnya. Menahan kepala yang tiba-tiba berdenyut keras. "Dev, kenapa kalian berkelahi di sekolah? Ini bukan ring tinju. Harusnya kamu bisa sedikit meredam emosi."

"Bu, Anda tak mengerti permasalahan yang sebenarnya 'kan? Jika Anda mengetahui pasti akan mendukung saya untuk menghajarnya."

"Diam! Sudahlah, ayo pergi ke UKS. Aku akan membersihkan lukamu."

Raya bergegas menuju ruang UKS yang ternyata di sana juga ada Roni. Dia segera menyiapkan obat-obatan. Pertama Raya mengobati Roni terlebih dahulu. Devan yang melihat itu, seketika terjadi topan dalam dirinya. Tak tahan melihat Raya malah memperhatikan pria lainnya. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar ruangan.

"Mau ke mana kamu, Dev?" tanya Raya heran. "Sini aku obati juga lukamu."

"Nggak perlu, Bu. Saya bisa mengurus diri sendiri."

Devan berlari entah ke mana, meninggalkan tanda tanya dalam pikiran Raya. Kenapa dengan anak itu?

***

Raya menunggu bis yang membawanya pulang dengan resah. Sesekali dia menendang batu kerikil di bawah kakinya. Otak seolah menyeretnya kembali ke kejadian siang tadi.

"Bu, Anda tak mengerti permasalahan yang sebenarnya 'kan? Jika Anda mengetahui pasti akan mendukung saya untuk menghajarnya."

Dan perkataan Devan terngiang dalam benaknya. Dia tak pernah melihat Devandra semarah itu sebelumnya. Raya mencoba mencerna lagi apa maksud perkataan Devan, tapi hasilnya nihil.

Dia mengambil ponselnya untuk mengirimkan pesan.

'Dev, kamu baik-baik saja 'kan? Jangan ragu untuk menghubungi jika kamu butuh bantuanku.'

Kenapa hatinya sesedih ini, ya? Ya Tuhan, apakah mungkin hati Raya sudah terbawa terlalu jauh mengikuti perasaan Devan. "Ah, tidak mungkin. Aku mencintai Claytone. Ya, hanya pria itu yang mampu membuatku jatuh cinta," batin Raya meyakinkan.

***

"Kenapa lama sekali pulangnya? Aku sudah lapar." Devan memegangi perutnya mengagetkan Raya yang melongo melihat bocah itu sudah sampai di depan kontrakan kecil.

"Dev, aku kira kamu—"

"Huus, sudah jangan bicara lagi. Aku bawakan gado-gado. Jadi kita bisa makan bersama," potong Devan. Dia nyelonong begitu saja, duduk manis di ruang tamu umum yang kebetulan sepi.

Raya masuk ke kamar dan kembali lagi membawakan peralatan makan. "Kamu tidak melihat ponselmu, ya?"

"Nggak. Bagaimana bisa aku pegang HP? Buat beli gado-gado legend ini saja harus berdesak-desakan dengan emak-emak. Belum lagi antre lama banget. Tapi perjuangan tak sia-sia. Enak sekali rasanya." Devan lahap menyuapkan makanan ke mulutnya.

Raya melihat luka-luka di tangan muridnya itu. "Jadi kamu belum mengobati lukamu?"

"Cukup dibasuh dengan air saja, sudah cukup bagiku."

Raya berlari mengambil kotak obatnya di kamar. "Setelah makan aku akan mengobatimu."

Devan tersenyum penuh beban. Tapi Raya tahu bocah itu sedang berusaha keras menyembunyikan masalahnya. Tapi apa? Itulah yang menjadi ganjalan dalam hati Raya.

"Au," pekik Devan saat Raya mengoleskan alkohol.

"Tahan sedikit. Masak begitu saja sakit. Cemen."

"Ray, kamu mau tahu sebuah rahasia tentang diriku tidak?" Devan mendadak melempar pertanyaan dan berhasil membuat Raya tertarik.

"Rahasia apa?"

"Aku fobia dengan darah. Melihatnya saja bisa mual."

Raya tertegun. "Serius?"

Devan mengangguk cepat. "Aku mencuci luka ini saja, dengan mata tertutup." Seketika dera tawa darinya memenuhi ruangan.

"Kenapa bisa begitu?"

Devan menerawang. "Aku pernah melihat kakak perempuanku kecelakaan di jalan saat menyeberang hendak menjemputku dari sekolah. Saat itu aku masih kecil. Yang bisa kulakukan hanya menangis. Panik melihat banyak darah keluar dari kepalanya."

Raya sungguh tak mengetahui bahwa keluarga Sanjaya memiliki anak perempuan juga. Bahkan Clay tak pernah menceritakan tentang hal itu.

"Kamu pasti tak menyangka aku punya kakak perempuan 'kan? Kak Clay juga tidak akan memberitahumu tentang Kak Sheila."

Raya tenggelam dalam tatapan mata Devan yang dipenuhi kesedihan. "Kamu menyayangi Kak Sheila?"

"Sangat. Bahkan aku rela menukar nyawaku, agar dia bisa hidup kembali."

"Sssttt, jangan bilang seperti itu, Dev. Semuanya adalah takdir Tuhan. Kamu harus ikhlas menerimanya."

"Ray, apa kamu takut kehilanganku?"

Raya membisu. Bergulat dengan pikirannya sendiri. Tak dapat dipungkiri, kehadiran Devan membawa banyak kebahagiaan dalam hidupnya. Dia tak akan rela jika harus kehilangannya.

"Jawab, Ray," desak Devan. "Apa kamu takut kehilanganku?" Dia mengulang pertanyaannya.

Bingung. Bagaimana caranya mengatakan sesuatu tanpa melibatkan perasaan. Jika salah bicara bisa fatal nantinya. Ada dua hati yang harus Raya jaga saat ini dan berusaha untuk menyeimbangkan keduanya adalah hal yang tak mudah.

"Tentu saja aku takut kehilanganmu. Nanti siapa yang suka rela antar jemput aku ke sekolah. Nanti tak akan ada lagi orang yang tiba-tiba membawakan makanan seperti ini. Dan yang paling penting, aku pasti sedih karena lawan bicaraku yang menyebalkan akan berkurang."

Huuft, Raya merasa lega setelah memikirkan pilihan kalimat yang terbaik untuk diucapkan.