Raya berjalan tertunduk menuju kontrakannya setelah tadi diantar Claytone. Kakinya menyusuri jalanan yang basah akibat sisa air hujan. Pikirannya melayang jauh pada kejadian tadi saat Clay menyanggupi permintaan Raya untuk menjauhi Cindy. Apakah semudah itu bilang 'iya'? Mendadak Raya diliputi keraguan. Apakah mungkin Clay akan memenuhi janjinya? Entah ... otak Raya kini seperti benang kusut.
"Raya," sapa seseorang di depan sana yang berlari menghampirinya.
"Devan? Kapan kamu datang ke sini?" Raya sudah terbiasa dengan kelakuan Devan yang selalu penuh dengan kejutan.
"Aku menghubungi ponselmu tapi tidak tersambung. Tidak biasanya kamu mematikan HP membuatku khawatir saja. Kamu baik-baik saja 'kan? Habis dari mana? Nadia bilang kamu pergi keluar," keluh Devan memberondong Raya yang lelah.
Wanita itu menyadari ternyata dia sekacau ini dengan hanya memakai sandal jepit dan daster hitam favoritnya. Semua karena panik memikirkan keadaan Claytone. Beruntung Nadia tak bilang sesuatu apa pun tentang Clay pada Devan.
"Aku ke rumah teman di kompleks seberang. Tadi kami mengobrol sampai lupa waktu."
"Oh, ya sudah. Mandi dan ganti pakaian basahmu itu. Aku akan menunggu di depan."
"Baik," jawab Raya singkat.
Dia pun segera membersihkan tubuhnya dan berdandan rapi. Tapi saat melihat dirinya di cermin seketika Raya panik melihat tanda cupang bekas ciuman Claytone di lehernya. Dia membubuhkan sedikit foundation agar tersamar. Kenapa Claytone begitu ganas tadi? Ah, cukup membayangkannya saja membuat buku kuduk Raya berdiri karena takut. Dan anehnya yang menyelamatkannya justru bayangan Devan. Senyumannya yang selalu ada di pikiran Raya.
"Maaf menunggu lama. Minumlah teh ini selagi hangat."
Devan melepaskan jaketnya untuk menyelimuti Raya. Sesak dada Raya, tanpa dia sadari ternyata hatinya juga telah merengkuh pria di depannya. Apa yang harus dia lakukan? Setelah tadi dia marah-marah karena Clay dekat dengan Cindy, nyatanya dirinya pun tak jauh berbeda.
"Udara di sini dingin sekali. Aku tak mau kamu sakit."
Harusnya Raya yang memperhatikan keadaan muridnya, tapi ini justru sebaliknya. "Pakai saja untukmu. Aku akan mengambil jaketku sendiri."
Devan menarik Raya yang hendak pergi. "Sudahlah. Begini saja aku tak akan kedinginan jika ada di dekatmu." Dia menyeruput teh hangat. "Ray, kamu tak tahu betapa takutnya aku tadi. Tak biasanya kamu mematikan ponsel."
"Baterai low. Jadi HP-ku mati sendiri." Raya tertunduk tak berani memandang mata Devan.
"Serius kamu baik-baik saja?"
Raya mengangguk lesu. "Aku baik-baik saja, Dev. Hanya sedikit lelah saja." Rasanya Raya ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk meluapkan emosi di dada. Namun dia hanya terdiam, berusaha mengabaikan tatapan pria itu.
Tangan Devan mengusap lembut pipi Raya yang halus. "Katakan padaku. Sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Raya menggeleng pelan. Kali ini dia banyak menggunakan bahasa tubuh. Tanpa bicara sepatah kata pun.
"Ya sudah, jika tak mau bicara. Aku tak bisa memaksa. Istirahatlah. Aku pamit pulang, ya." Devan berdiri dari sofa.
"Tunggu. Tetaplah di sini," pinta Raya seraya menggenggam jemari Devan yang menatapnya tajam.
Raya merasa kacau sekarang. Tubuhnya seolah bergerak mengikuti kata hati. Namun otaknya menghendaki agar dia tak lagi bermain api dengan bocah itu. Dia tak mau sendiri di saat seperti ini.
Devan duduk kembali di samping Raya. Dia meletakkan kepala wanita itu di bahunya. "Bahuku akan selalu ada untuk menenangkanmu."
Air mata Raya menetes jatuh di lengan Devan hingga membuatnya tak lagi bisa menahan diri memeluk Raya erat. "Ray, kenapa menangis? Apa karena Claytone? Kamu tahu, aku datang ke sini hanya karena mencemaskanmu saja. Cindy menelepon menanyakan tentang keberadaan Clay dan dirimu. Jadi kamu tadi bertemu dengannya ya?"
Tangis Raya pecah seketika dalam pelukan Devan. Entah akan berapa mereka di posisi itu. Yang jelas Raya merasakan kenyamanan berada di dekat Devan hingga dia siap untuk bercerita. Devan menunggu dengan sabar. Dia berusaha sebaik mungkin menjadi tempat sandaran yang tepat untuk gurunya itu.
Raya memikirkan kata-kata yang tepat agar tak memancing emosi Devan kepada kakaknya. "Dev, berjanjilah satu hal padaku. Setelah aku bercerita, kamu tidak boleh marah dengan Clay."
Devan mengangguk pasrah.
"Janji dulu," kata Raya mempertegas. Dia menjulurkan jari kelingking.
"Janji." Mereka menyilangkan jari.
"Aku tak tahu kenapa hari ini Claytone begitu aneh. Dia menyuruhku menemuinya dan aku pun menyanggupi. Walaupun derasnya hujan tak bisa menyurutkan niatku bertemu dengan Clay." Raya menatap Devan, menyelidiki ekspresi wajah tampan itu. Datar. Tanpa emosi tersirat. "Dia berulang kali menanyakan apa aku mencintainya. Sudah kupertegas bahwa jawabanku ... iya. Lalu Cindy menelepon. Akhirnya membuatku sadar ternyata karena Cindy, Clay bersikap aneh seperti orang yang linglung. Aku meminta putus darinya," ungkap Raya jujur. Tetapi tentu saja menghilangkan bagian di mana mereka berciuman. Raya tak mau membuat Devan terluka lebih dalam.
"Putus? Jadi kalian sudah putus?" Wajah Devan yang semula murung berubah ceria lagi. Memang itu yang dia harapkan, bisa melihat Raya dan Clay berpisah. Jahat? Bahkan sikap Clay lebih jahat darinya. Berani mempermainkan perasaan Raya.
"Clay memohon-mohon agar kami tidak berpisah. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali padanya karena mengingat hubungan kami yang sudah berjalan tiga tahun."
Devan mendengus kesal. "Ray, kamu sudah ada kesempatan untuk bisa lepas dari Claytone. Kenapa tak kamu ambil saja." Jujur saja dia sangat kecewa pada Raya. Antara bodoh atau memang benar-benar murni cinta, Devan tak habis pikir. Tak tahu lagi bagaimana jalan pikiran wanita itu.
"Dev, aku tak bisa begitu saja melupakan semua kenangan yang sudah tiga tahun terbentuk. Perasaan ini masih sama seperti dulu," sergah Raya yang ingin Devan memahami posisinya.
"Kamu berpikiran terlalu naif. Claytone belum tentu masih mencintaimu, Ray. Maaf, jika aku harus berkata seperti ini. Apakah kamu tak melihat perubahan sikapnya?" Devan sedikit mengguncang tubuh mungil Raya. "Bangun, Ray. Bangun dari mimpimu. Jangan terbuai janji manis Claytone. Sewaktu-waktu dia bisa saja menghancurkanmu."
"Aku masih mencintainya, Dev. Tolong mengerti perasaanku." Raya tak berani melihat Devan. Dia tak berdaya.
"Ray, apa selama ini dia pernah berjuang untuk kebahagiaanmu? Apakah dia pernah tahu betapa menderitanya dirimu menjadi bahan gosip di sekolah karena ulahnya? Coba pikirkan, Ray." Devan membuang muka, menahan amarah yang meledakkan kepala.
Raya tahu semua itu tak pernah dilakukan Claytone padanya. Dan memang benar, hanya dia yang berjuang sepenuh hati untuk mempertahankan hubungan ini. Tapi beginilah cinta mengikatnya.
Melihat Raya hanya terdiam, Devan pun beranjak pergi. "Aku pulang." Dua patah kata itu yang bisa terucap darinya. Kemudian berlalu meninggalkan Raya sendiri bergumul dengan pikirannya.