Devandra POV
"Eh, kalian tahu tidak. Bu Raya, itu sekarang ditinggal pacarnya lo. Haduh kasian amat ya. Lama-lama dia jadi perawan tua," ucap Roni si ketua kelas membuka obrolan di lapangan.
"Wah, gagal jadi miliarder dong," timpal murid lainnya.
"Iya dong. Bu Raya pasti mengharapkan kekayaan keluarga Sanjaya."
Devan tak tahan mendengar pembicaraan itu. "Tutup mulutmu. Kamu tak tahu apa-apa soal Bu Raya. Jangan menyebar gosip murahan. Dasar bodoh," makinya penuh emosi.
Roni menyeringai. "Oh, aku lupa kalau di sini ada salah satu putra kesayangan keluarga Sanjaya. Kamu mau membela calon kakak ipar?"
"Tentu aku akan melindunginya dari mulut busuk kalian." Devan mengepalkan tangannya.
"Bu Raya merasa gagal mendapatkan cinta sang kakak, sekarang beralih mendekati si adik. Keren ya."
Devan melayangkan pukulan telak ke Roni hingga membuatnya terjatuh ke tanah. Mereka pun bergelut, berusaha saling memukul satu sama lain. Roni tak mau kalah dari Devan, dia menangkis dan membalas pukulan lawannya.
Tiba-tiba Raya datang untuk memisahkan dan membawa mereka ke UKS. Devan yang tak suka bau obat-obatan terpaksa menuruti Raya. Di sana sudah ada Roni yang sedang mengobati luka juga.
Entah kenapa dada Devan seperti terbakar saat melihat Raya memperlakukan pria lain dengan lembutnya, meski itu Roni, muridnya sendiri. Bagaimana bisa dia tetap di sana melihat pemandangan menyakitkan itu? Devan melangkah pergi.
Di dalam toilet, dia berjuang keras mengenyahkan fobia pada darah untuk membasuh luka itu. "Ah, merepotkan sekali," gerutunya.
Otaknya terus saja mengingat Raya hingga pelajaran sekolah berakhir, bayangan wanita itu tak juga mau pergi. Sebenarnya dia sudah berniat pergi langsung pulang saja ke rumah dan main video game seharian. Tapi apalah daya. Saat melihat sebuah warung gado-gado yang sedang ramai pengunjung, Devan tergoda membawakan Raya makanan.
Setelah satu jam perjalanan akhirnya dia bisa balik ke kontrakan Raya. Menunggu di sana dengan perut keroncongan. Awalnya dia berencana makan duluan tanpa menunggu Raya, tapi segera saja dibatalkan. Lebih baik dia kelaparan daripada kehilangan momen makan berdua bersama wanita yang sejak dulu berhasil mengacaukan otaknya.
Dia mengambil ponselnya dan melihat sebuah pesan masuk dari Raya. Ternyata Raya juga mengkhawatirkan keadaan Devan. Tangannya gatal ingin membalas pesan itu, tapi sekuat tenaga ditahan. Biarlah dia menunggu wanitanya di sini.
***
"Jadi hanya karena itu kamu takut kehilangan aku? Baguslah, berarti posisiku sudah naik pangkat. Dari hanya murid resek sekarang malah mirip Abang Grab. Siap antar jemput, siap ngirim paket makanan." Devan yang cemberut malah membuat Raya tertawa gemas.
"Ya, tidaklah. Kamu selapis lebih tinggi dari Abang Grab."
"Sama aja dong."
"Dev, boleh aku tanya? Kenapa tadi kamu berkelahi dengan Roni? Ada masalah apa dengan kalian berdua?" Raya mendadak menanyakan masalah yang tak ingin dia ingat lagi.
Devan terdiam, lebih pada malas bicara, malas menjelaskan. Tapi melihat tatapan Raya penuh rasa penasaran dan ingin meminta jawaban, akhirnya Devan mau angkat bicara. "Aku tak suka perkataan Roni. Dia menghinamu karena ditinggal Kak Clay."
"Oh, hanya karena itu."
Gila ini cewek. Devan sudah setengah mati berusaha melindunginya dari gosip murahan murid-murid sekolah, tapi malah ditanggapi enteng saja. "Ray, kamu sehat? Atau kepalamu sudah terbentur sesuatu tadi? Kenapa hanya bereaksi biasa saja? Astaga ini mengejutkanku."
"Memangnya aku harus ngapain? Guling-guling di jalan sambil nangis-nangis?" Raya mencebik.
"Ya, itu juga nggak apa-apa. Sekalian kamu sapu trotoar," geram Devan mengetahui wanita di depannya tak menunjukkan ekspresi marah sedikit pun.
"Tenang, Dev. Aku sudah kebal dengan gosip dan omongan miring orang lain tentang diriku. Jadi santai saja. Lagian mereka hanya iri saja. Apa yang mereka katakan tak terbukti 'kan?"
Dada Devan tersayat perih melihat ke dalam mata Raya ... mata cokelat yang menyiratkan kesedihan. "Ray, putuskanlah hubunganmu dengan Clay." Ya Tuhan! Kenapa kalimat yang keluar dari mulut Devan hanya itu? Devan pun tak habis pikir, bisa-bisanya dia menyuruh Raya putus dari kakak kandungnya sendiri.
Raya tampak kaget mendengar kalimat Devan. "Pukulan Roni tak hanya melukai tangan tapi juga otakmu."
"Aku hanya tak tega jika kamu selalu disakiti," gumam Devan lirih.
"Hei, tidak ada yang menyakitiku, Dev. Bahkan sekarang aku punya bodyguard yang 24 jam siap melindungiku. Ya 'kan?"
Devan tersenyum. "Andai saja aku tak hanya sebagai murid, tapi juga kekasihmu. Pasti hari ini bertambah kebahagiaanku. Aku mencintaimu, Ray," batinnya dengan terang-terangan mengungkapkan perasaan. Kapan dia bisa berkata segamblang itu pada Raya, ya? Mungkin saat di mana Raya sudah bisa move on dari Claytone.
"Dev, malah bengong. Mikirin apa sih?"
"Kamu," jawab Devan pendek.
"Hmmm, gombal lagi. Payah."
"Serius, Ray. Salah ya jika aku memikirkan kamu? Itu 'kan hak otak dan benakku, Ray."
"Iya, ya. Yuk, sekarang antar aku."
Devan menautkan alisnya. "Minta diantar ke mana, Ray?"
"Antri minyak goreng. Ayuk, nanti kamu beli 2 liter. Aku beli 2 liter. Kita pura-pura tidak saling mengenal." Raya menyeret Devan bergegas ke swalayan terdekat.
"Astaga, Ray. Nanti aku belikan. Malu 'kan cowok antre minyak goreng."
Raya mendengus. "Ya sudah, kamu tunggu saja aku di sini. Kalau bosan, silakan pulang."
"Baik-baik. Ampun dah. Demi kamu, aku rela harga diriku anjlok gara-gara minyak goreng."
Raya menggandeng tangan Devan dan segera bergerak menuju swalayan yang saat itu terlihat sudah ramai dengan emak-emak. Dia dengan cepat berebut minyak, lalu menyerahkan satu pack kepada Devan.
Devan memasang hoodie agar tak terlihat jelas wajahnya. Spontan kejadian itu malah menarik perhatian ibu-ibu. Mereka mulai mencuri pandang ke arah Devan. Bahkan lebih parahnya lagi, ada pula yang memvideokan. Mungkin mereka heran cowok keren Devan dengan tampilan modis dan trendi, mau antre minyak goreng.
"Ah, capek sekali." Devan meluruskan kakinya yang terasa kaku karena berdiri hampir satu jam hanya demi menyenangkan Raya.
Raya gembira sekali bisa mendapatkan barang yang kata orang sedang langka itu. "Akhirnya bisa masak gorengan lagi. Aku bosan makan menu yang serba direbus sama dikukus terus. Oya, besok aku akan membuatkanmu bento untuk bekal ke sekolah sebagai tanda terima kasihku."
"Ray, jika dapat minyak goreng saja kamu bisa sebahagia ini, aku bakal bawa itu tiap hari."
"Ngawur. Nggak perlu. Ini saja sudah cukup buat sebulan."
Devan mengipas tangannya. "Aku haus, Ray. Boleh minta minum?"
Raya mengangguk. "Boleh dong. Kamu mau minum apa? Nanti aku bikinin."
"Memangnya ada apa aja?" tanya Devan sembari melepas hodienya agar tubuhnya tidak berkeringat.
Raya tampak melongo. "Eh, apa ya? Ada es teh, es gula batu, es juice, kopi latte, cappucino. Kamu mau minta apa?"
"Susu."