Pagi sekali, Raya sudah ada di dapur. Dia mengolah bahan makanan membuat bento untuk Devan. Dimulai dari membuat telur gulung, sosis goreng, tumis sayur, tak lupa ayam goreng.
"Bau surga apa ini? Wangi bener," kata Nadia hendak mengambil sosis goreng dengan bentuk yang menggoda selera.
Raya segera menahannya. "Eits, yang itu jangan disentuh. Ini baru boleh dimakan." Sepiring sosis dengan bentuk tak wajar dan berwarna sedikit hitam disodorkan Raya.
Apa boleh buat, perut Nadia sudah meronta-ronta minta diisi. Sosis gosong pun jadi tampak menggiurkan. "Ih, bikin bekal makan buat siapa sih? Jadi penasaran gue. Nggak biasanya pagi-pagi sudah masak di dapur. Anda sehat?"
"Bikin buat Devan. Kemarin dia sudah membantuku antre minyak goreng ke swalayan."
"Apa? Devan mau diajak antre minyak goreng? Apa dunia akan kiamat?" Nadia menganga mendengar kabar yang mengagetkan dirinya. Tak bisa membayangkan pria sekeren Devan ikut antre bareng ibu-ibu. "Benar-benar gila."
"Memangnya kenapa? Sebagai murid dia wajib membantu gurunya 'kan?"
"Ray, aku rasa dia naksir baret sama lo. Nggak mungkin dong kalau Devan nglakuin itu hanya dengan alasan membantu gurunya. Dia pasti ada rasa sama lo," tebak Nadia penuh keyakinan.
"Sok tahu." Raya bahkan sudah sering mendengar ungkapan cinta Devan. Tapi baginya semua itu dianggap hanya sebatas gombalan si bocah resek itu.
"Ish, percaya deh. Aku lebih suka Devan daripada kakaknya. Bahkan Claytone tak pernah mau diajak ke kontrakan 'kan? Masak jemput pacarnya di depan gang. Lo sama Clay macam hubungan backstreet yang takut ketahuan ortu."
"Sudah ah, jangan bawel. Mandi sana, bau tahu."
Nadia tiba-tiba menepuk pantat Raya. "Cie yang sebentar lagi jadi perebutan dua pangeran keluarga Sanjaya."
"Apaan sih. Sudah sana."
Raya tak berharap ada kejadian mengerikan itu. Dalam hatinya memilih bisa bersanding Clay dan tetap memiliki hubungan baik dengan Devan. Semoga saja bisa terwujud.
***
Raya mengirimkan sebuah pesan meminta Devan datang ke taman belakang sekolah sambil menikmati semilir angin yang menerpa raut mukanya. Di benak Raya pun berandai-andai jika saat itu dia bisa bertemu Clay, pasti akan sangat membahagiakan. Sungguh ada kerinduan yang tertuju untuk pria itu. Sudah lama Clay dan Raya tidak saling bicara dari hati ke hati. Dia mengeluarkan ponselnya hendak menelepon Clay saat Devan datang menyapanya.
"Ray, ada apa menyuruhku ke sini?"
Raya menyerahkan kotak makanannya. "Ini cobalah."
"Hmmm, enak sekali. Aku ingin tiap hari dibikinin seperti ini." Devan menyumpitkan telur gulung.
"Enak saja. Pagi ini jika bukan karenamu, aku malas memasak. Soalnya tugas sekolah benar-benar membuatku kewalahan." Raya menepuk-nepuk pundaknya yang terasa sakit akibat mengetik laporan di laptop semalam.
"Aku akan protes pada Pak Danu. Beraninya dia memberikan tugas sangat banyak padamu, padahal guru yang lain bisa santai di sekolah. Aku rasa mereka sudah melakukan penyiksaan. Lihat dirimu yang kurus begitu."
"Eh, sudahlah. Ini memang sudah menjadi kewajibanku." Tapi jika dipikir-pikir ada benarnya juga perkataan Devan. Kepala sekolah selalu melimpahkan tugas bertumpuk-tumpuk bahkan terkadang di luar tanggung jawabnya, Raya sampai heran. Guru yang punya kemampuan mengerjakan laporan di sekolah tak hanya dia seorang, masih ada yang lain. Tapi hanya Raya yang diberikan tugas hingga melampaui batas yang dia mampu kerjakan, membuatnya sering lembur di kontrakan.
"Tetap saja aku tak suka."
Saat melihat Devan makan, mendadak sekelebat bayangan Clay juga muncul di pikiran Raya. "Clay," sapanya lirih.
Devan yang mendengar itu seketika menoleh. "Ray, kamu memanggil kakakku?"
"Eh, kamu dan Clay memiliki gaya makan yang sama. Suka menyisihkan lauk untuk dimakan paling akhir."
"Karena makan lauk di saat-saat terakhir itu jauh lebih nikmat lho."
"Begitu ya. Apalagi kalo yang disisakan di saat terakhir adalah kulit ayam. Hmmm, mantul."
"Ray, nanti kita pulang bareng yah?"
Raya menghela napas berat. "Siang ini aku disuruh ikut rapat ke kantor pusat. Sungguh menyebalkan. Padahal ingin sekali bersantai, semalam aku sudah kelelahan mengerjakan laporan."
Devan menghunuskan tatapan sendu melihat Raya tampak lesu. Dia tak mau wanita itu jatuh sakit karena kelelahan bekerja. "Ray, aku pastikan kamu bisa pulang lebih awal sekarang."
"Oh, ya. Memangnya bisa begitu?"
"Bisalah. Serahkan padaku."
***
"Bu Raya, hari ini Anda ada jadwal datang ke pertemuan mewakili sekolah ke kantor pusat 'kan bersama saya?"
Raya hanya mengangguk lemas. "Iya, Pak."
"Bu Raya, Anda jadi ke rumah saya 'kan? Tolong Bu jangan kecewakan ibu saya. Beliau sudah susah payah mempersiapkan acara makan siang ini." Devan tiba-tiba datang menginterupsi kedua gurunya di sana. "Pak Danu, Anda kenal dengan ibu saya 'kan? Coba bayangkan kalau dia mengetahui Raya tidak jadi datang memenuhi undangan makan siang di rumah kami. Pasti dia akan sangat kecewa."
Pak Danu pun ikut bersimpati. "Ya sudahlah. Bu Raya, Anda boleh pergi sekarang."
Raya melonjak dari tempat duduknya. "Serius, Pak? Jadi saya tak perlu menghadiri rapat?"
"Kebahagian Ibu Wina jauh lebih penting. Tolong sampaikan salam saya kepada beliau, ya."
"Oh, tentu. Dengan senang hati saya akan menyampaikan salam Bapak."
Pak Danu pun berlalu pergi, berangkat menuju acara rapat. Sepertinya dia akan mengajak guru lainnya. Ah, lega hati Raya. Siang ini dia bisa bersantai dan tidur sepuasnya.
"Aku jago 'kan?" Devan membusungkan dadanya.
"Huhh, jago nipu. Tapi boleh juga, aku jadi bebas dari tugas yang nggak penting. Terima kasih ya, Dev."
"Setelah aku mengantarkanmu pulang. Tolong tidurlah. Lihat kantong matamu sudah menghitam. Jangan terlalu memaksakan untuk bekerja, tubuhmu juga perlu diistirahatkan."
"Iya, Bos. Aku akan langsung tidur kok. Mataku juga sudah lelah."
Devan mengelus ubun-ubun wali kelasnya. "Istirahatlah. Tidur dan makan yang banyak. Aku tak suka melihat tulangmu yang terlihat dari balik baju."
Raya buru-buru menutupi dadanya dengan map di tangan. "Jangan lihat macam-macam!"
Devan tertawa. "Idih, apanya yang mau dilihat. Kurus begitu."
"Biar kurus, tapi cantik kok kata kedua orang tuaku."
"Iya deh. Cantik. Makanya aku suka. Tapi sayang sudah milik orang lain."
Devan jalan duluan dan Raya mengikutinya. Namun entah kenapa hati Raya seolah menangkap kesedihan di balik kalimat Devan dan seketika perih menusuk dadanya. Apakah ini adalah cinta? Ya ampun, apa yang Raya pikirkan. Bisa-bisa dia akan dituduh tante penyuka berondong.
"Raya, jangan goyah. Kamu mencintai Claytone. Dia yang pantas bersanding denganmu. Umur kalian tidak terpaut jauh, pemikiran kalian juga sama. Jadi buat apa melirik pria lain? Devan hanya sekedar mimpi indahmu. Bangun dari mimpimu, Raya, " batin meneriakkan kalimat tersebut berulang kali.