Raya baru saja selesai mandi sebelum ponselnya berbunyi. Sebuah nama yang sedikit mengagetkan, muncul dari layarnya. Dia buru-buru mengangkat sampai hampir saja terjatuh.
"Halo, Clay." Raya berusaha keras untuk tetap tenang agar emosinya tidak meletus seperti gunung berapi yang siap memuntahkan lahar panas.
Tidak terdengar suara apa pun. Raya mengecek ulang nomor ponsel si penelepon. Benar dari Claytone.
"Hei, kamu kenapa? Bicaralah."
Terdengar suara napas yang berat bercampur dengan suara tetesan air hujan yang betah mengguyur Jakarta sejak siang.
"Ray, aku ada di depan gang kontrakanmu. Bisakah kamu menemuiku?" Akhirnya Clay menjawab panggilan Raya.
"Iya, aku segera ke sana sekarang." Tanpa banyak bicara Raya pun mengambil payung Nadia untuk menghampiri pacarnya.
Nadia bengong melihat temannya seperti kesetanan. "Ray, mau ke mana atuh hujan-hujan gini?"
Raya langsung memakai sandal jepit kamar mandinya. "Menyusul Claytone. Dia ada di gang depan."
"Hmm, kebiasaan deh si Clay bikin linglung anak orang."
Raya segera berlari menembus hujan yang lebat disertai angin, mengabaikan ocehan Nadia tentang kekasihnya. Dia menghampiri mobil hitam milik Clay yang terparkir di pinggir jalan. Dan langsung masuk ke dalam begitu sang pemilik membukakan pintu.
Raya disambut wajah murung Claytone. "Kamu kenapa, Clay?"
"Aku kangen, Ray." Lelaki kekar itu seketika memeluk Raya. "Sore ini aku hanya ingin bersama denganmu. Bolehkan?"
Raya hanya bisa mengangguk pasrah saat Clay mengajaknya entah ke mana. Dia seperti melihat Claytone tampak lain dari biasanya. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Raya pun penasaran. Namun, Claytone masih betah bungkam tanpa bicara sepatah kata pun.
Mobil bergerak membawa mereka ke sebuah taman. Dan berhenti di sana tanpa melakukan apa pun, tanpa berbicara apa pun. Sangat kontras dengan hujan yang kian deras, terdengar gaduh.
Raya melirik Claytone. "Clay, apa yang terjadi?"
"Apa kamu benar-benar mencintaiku?"
Claytone mendadak mempertanyakan cinta Raya membuat wanita itu sedikit emosi. Yang benar saja, selama ini Raya sudah memimpikan untuk bisa hidup bersama Claytone. Dia rela terhina dan menjadi bahan gosip rekan kerjanya di sekolah, tapi semua itu tak menyurutkan niatnya menjadi istri Clay. Jika bukan cinta, lantas apa?
"Tentu, aku mencintaimu, Clay? Sebenarnya ada apa denganmu?" Raya frustrasi menghadapi keanehan Claytone hari ini. Entah apa yang terjadi dengan pria itu.
"Kalau begitu buktikanlah. Buat aku tetap di sisimu." Claytone memajukan tubuhnya menggapai bibir Raya. Mereka berpagut begitu lama.
Raya sedikit mendorong tubuh Claytone ke belakang. Napasnya hampir habis, dia terengah-engah. "Hei, apa yang kamu lakukan?"
"Bukankah wajar jika sepasang kekasih berciuman. Ayolah, Sayang. Kumohon jangan menolakku. Jangan buat aku kecewa." Claytone menarik Raya. Bibirnya dengan ganas menyusuri leher jenjang itu. Sungguh Raya tak berdaya. Tubuhnya seperti dialiri listrik, napasnya naik turun melawan gairah yang menyetrum aliran darahnya.
Namun anehnya di saat Claytone merasa Raya begitu pasrah, sekelebatan bayangan Devan muncul di benaknya membuat dirinya tersadar dan segera menjauh dari Clay.
"Kenapa mendorongku, Ray? Apa aku telah membuat kesalahan?"
"Ini sudah kelewat batas, Clay. Maaf aku tak bisa lagi melebihi itu," sergah Raya sembari mengatur detak jantungnya.
"Tapi kenapa? Kamu mencintai aku 'kan?" Claytone mengulang pertanyaan yang sama berulang kali seolah menegaskan perasaan Raya padanya.
"Sex bukan hanya tentang cinta, tapi juga tanggung jawab. Dan aku rasa kita belum bisa melakukannya tanpa ada komitmen pernikahan. Terserah kamu mau menganggap aku kuno atau apa. Tapi kamu harus bisa menghargai prinsip hidup yang aku jaga selama ini."
Claytone tak bersuara. Matanya yang kosong teralih menatap lurus ke depan. Entah apa yang dia pikirkan, yang jelas itu sangat mengganggu Raya.
Di saat keheningan mengambil tempat, ponsel Claytone terus berdering. Raya terkejut saat tahu Cindy menelepon kekasihnya.
"Angkatlah. Cindy pasti sedang membutuhkanmu."
Claytone menuruti perkataan Raya. "Halo," sapanya.
"Kamu di mana? Kenapa pergi begitu saja? Sudah kubilang padamu 'kan, aku akan menepati janjiku untuk tidak meninggalkanmu selamanya." Suara Cindy terdengar sengau seperti habis menangis, terdengar samar-samar di telinga Raya.
"Nanti kita bicara lagi." Claytone buru-buru menutup teleponnya takut jika Cindy bicara terlalu jauh.
Raya kini mengerti perubahan sikap Clay yang sangat aneh hari ini. Ternyata semua karena Cindy. Ini sangat tidak adil bagi Raya. Di saat dirinya sudah berusaha sebaik mungkin sebagai layaknya seorang kekasih, tapi malah hanya dijadikan sebagai tempat pelarian semata.
"Aku akan mengantarmu pulang."
"Apakah karena Cindy, kamu jadi seperti ini?" Raya tak kuasa menahan air matanya.
"Ray, sudah jangan mulai lagi. Aku seperti ini bukan karena siapa pun. Hanya sedikit mengalami stres di kantor karena tuntutan pekerjaan," kilah Claytone yang seolah menutupi sesuatu.
"Aku bukan anak kecil yang bisa kamu tipu dengan mudahnya. Cindy tadi bilang apa? Janji apa yang dia maksudkan?" desak Raya menuntut jawaban.
"Janji apa? Sebenarnya kamu ngomong apa, Ray?" Claytone mengusap lembut rambut panjang Raya. "Tampaknya kamu sudah lelah. Aku antar pulang ya? Tidak perlu dipikirkan lagi. Maafkan jika hari ini aku agak kacau."
"Ya, bukan hanya hatimu yang kacau, tapi juga otakmu sudah mulai gila. Dasar sinting," batin Raya memaki.
"Tolong jawab aku dengan jujur. Kamu mencintainya, Clay? Kamu suka dengannya?" Raya menatap tajam mata Claytone membuat pria itu salah tingkah.
"Ray, aku menyukainya hanya sebagai—"
"Putuskan aku," potong Raya.
Claytone terperanjat tak percaya. "Putus? Tidak. Aku tak ingin kita berpisah, Ray. Ingatlah hubungan kita sudah berjalan tiga tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk menjalin hubungan ini."
Raya mencengkeram lengan Claytone erat. "Aku lelah, Clay. Capek dengan hubungan yang sudah tak lagi jelas arah tujuannya."
Claytone menyipit. "Tak jelas bagaimana? Impian dan harapan kita masih sama seperti dulu. Ray, kita akan segera menikah. Aku berjanji dengan seluruh hidupku."
Raya membuang muka. Tak ingin lagi melihat pria di sampingnya.
"Aku mohon jangan rusak harapan kita, Ray. Aku mencintaimu."
Semua omongan Claytone kini hanya terdengar seperti sebuah bualan semata di telinga Raya. Dia sangat kecewa. Claytone membiarkan Cindy terlalu jauh masuk dalam kehidupannya hingga merusak hubungan percintaan Claytone bersama Raya.
Raya tak ingin Cindy mengambil alih semua perhatian Claytone. Dia harus melakukan sesuatu untuk mempertahankan cinta mereka. "Tapi dengan satu syarat."
"Syarat apa?"
"Tinggalkan Cindy. Jangan pernah lagi menghubunginya. Apakah kamu sanggup?"
Claytone tak berkutik. Dia hening sesaat sebelum akhirnya menjawab. "Baiklah."
Raya tersenyum dan seketika memeluk Clay erat. Dia merasa menang atas Cindy. Sukses mengalahkan orang yang sangat dekat dengan Claytone bukanlah perkara mudah. Dan suara hujan menjadi saksi betapa bahagianya Raya saat itu.