"Au, sakit Clay," pekik Raya saat tiba-tiba Claytone menarik tangannya.
"Ikut aku," ucapnya memaksa.
Devan yang ada di samping Raya, mencoba menahan mereka. "Kenapa mengajaknya seperti itu? Kasar sekali. Raya ke sini bukan untukmu. Tapi dia datang mengajariku tugas sekolah."
"Aku hanya mau bicara sebentar saja," jawab Clay seraya menatap mata Devan penuh nanar.
"Hei, kalian mau bertengkar ha? Tidak malu dilihat Raya dan Cindy di sini. Dev, biarkan saja kakakmu bicara dengan Raya. Kamu di sini saja sama Mama dan Cindy," ujar Mama menengahi pertikaian kedua anaknya.
"Ray." Devan menoleh ke arah Raya. Berharap dia tak mau diajak Claytone dan lebih memilih dirinya. Ah, sepertinya itu hanya dalam angan-angan Devan saja. Nyatanya Raya lebih memilih kekasihnya.
"Dev, biarkan aku bicara dengannya, ya." Raya mengikuti Clay menuju kamarnya.
Berbeda dengan kamar Devan yang dipenuhi dengan barang-barang elektronik sebagai pekerjaan, kamar pribadi Devan malah hanya ada tempat tidur, lemari besar dan sofa di sudut ruang terkesan begitu dewasa dan membosankan.
"Ray, apakah kamu ke sini untuk mencariku?" tanya Claytone membuka pembicaraan mereka.
"Bukan, kamu salah paham. Aku diajak Devan untuk mengajarinya mengerjakan tugas sekolah. Kenapa memangnya, kamu tidak suka aku di sini? Oh, aku lupa kalau kamu sudah punya penggantiku. Cindy wanita yang sempurna. Bahkan dia juga akrab dengan ibumu 'kan? Kalian serasi." Raya sudah tidak tahan lagi mengungkapkan ganjalan dalam hatinya.
Claytone merengkuh Raya dalam pelukannya. "Huuss, kamu ngomong apa sih? Aku malah senang kamu datang."
Raya melepaskan diri dari pelukan Claytone. "Lalu kenapa selama hampir dua minggu ini kamu menghilang? Sebenarnya kamu ke mana, Clay? Kamu bahkan mematikan ponselmu."
"Oh, aku pergi liburan dan memang sengaja mematikan ponsel."
Raya mengepalkan tangannya menahan gemuruh di dada. "ke mana dan dengan siapa?" Tanpa sengaja Raya melihat sebuah bingkai foto kecil di atas meja dekat tempat tidur Claytone.
Hancur hati Raya, melihat foto mereka berdua. Cindy dan Claytone tampak bahagia. Tak terasa air mata menetes begitu saja. Hati wanita mana yang tak hancur melihat kekasihnya memajang foto wanita lain di kamar pribadinya. Sakit sekali merasakan hubungan yang baru saja merayakan tiga tahunnya, ternyata semua sia-sia.
"Kenapa kamu menangis?" Clay hendak mengusap air mata Raya, tapi langsung ditepisnya dengan kasar.
"Aku mau pulang." Raya bergegas ke luar kamar.
Clay menariknya dengan keras hingga terjatuh dalam pelukannya lagi. "Ray, katakan sesuatu. Apa salahku? Selama ini kamu tak pernah tegas mengungkapkan isi hatimu. Tolong jujurlah padaku. Kenapa kamu marah?"
Raya yang berniat hanya diam saja, tapi dia sudah muak menghadapi Claytone. "Ternyata Cindy bagimu adalah segalanya, ya?"
"Ha? Apa maksudmu? Kenapa Cindy? Bagiku kamulah segalanya, Ray. Kita sudah tiga tahun bersama."
"Tiga tahun ternyata tak membuatmu cinta seutuhnya padaku, Clay. Aku merasa gagal sebagai pacarmu," potong Raya dengan nada suara tak kalah tinggi.
"Jelaskan padaku apa yang kamu rasakan, Ray," pinta Clay seraya mengelus rambut panjang Raya.
Ini semua harus dihentikan. Rasa sakit ini, Clay harus tahu.
Raya mengambil bingkai foto itu. "Aku iri melihat hubungan kalian yang bisa sedekat ini. Kamu bahkan memajang fotonya di kamarmu. Wah, senang sekali pastinya. Saat bangun di pagi hari, kamu bisa wajah Cindy yang sedang tersenyum bahagia," sindirnya.
"Jangan salah paham. Foto itu Cindy yang memberikan lalu meletakkannya sendiri di situ," jelas Clay tapi tak ditanggapi bagus oleh Raya.
"Oh, begitu. Dan kamu masih meletakkannya di situ. So sweet sekali kalian." Raya menyeringai.
"Sudahlah, jangan menyudutkanku. Aku dan Cindy sebatas teman masa kecil saja. Kami dekat karena sejak kecil hingga dewasa selalu bersama-sama. Hanya itu saja tidak lebih, Ray."
"Kamu pikir aku semudah itu percaya padamu setelah kamu menghilang begitu saja dua minggu ini tanpa kabar, tanpa penjelasan? Aku lelah, Clay. Aku ingin sendiri." Raya berbalik menuju ruang keluarga. Dia menyambar tasnya. "Tante, maaf saya tidak bisa lama-lama di sini. Terima kasih untuk hidangan makan siangnya. Saya pamit pulang dulu."
Tante Wina mengerutkan alis. "Loh, mau ke mana kok buru-buru? Kita bahkan belum berbincang banyak."
"Maaf, Tante. Lain kali saja saya akan mengunjungi Anda lagi." Raya bersikeras untuk pamit pulang.
Devan bangkit dari sofa dan segera mengambil kunci sepeda motornya. "Aku akan mengantarmu pulang."
"Dev, aku bisa naik ojol nanti. Tak perlu repot-repot mengantarku. Tante Wina, Cindy, saya pulang dulu, permisi." Raya berjalan secepat yang dia bisa. Sungguh tak tahan lagi jika harus berlama-lama di sana.
Raya berjalan di tengah udara panas. Sambil menunggu pesanan ojol-nya datang. Tak disangka pertemuan pertama dengan orang tua Claytone telah membawa bencana baginya. Tapi entah kenapa dia merasa lega mengetahui kebenaran hubungan Clay dan Cindy langsung dari mata kepalanya sendiri, bukan hanya sekedar mendengar gosip di luaran sana.
Saat Raya tengah merenung dengan pikirannya sendiri, sebuah mobil Jeep berwarna hijau army berhenti tepat di depan Raya berdiri. Jendela mobilnya terbuka. "Ray, ayo naik. Aku akan mengantarmu pulang."
"Tidak perlu repot-repot, Dev. Aku sudah memesan ojol. Sebentar lagi juga akan datang," tolak Raya yang sejujurnya dia hanya ingin sendirian saja.
Devan turun dari mobilnya. "Aku tak akan pergi sebelum bisa mengantarmu selamat sampai di kontrakan."
Raya tahu Devan bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Devan bukan bocah yang mudah diusir begitu saja. Dia adalah tipe pria pembangkang.
Terpaksa Raya menurutinya. "Baiklah," jawabnya tak bersemangat.
Sepanjang perjalanan Raya hanya terdiam melihat keluar jendela mobil dengan tatapan hampa.
"Ray, apa yang terjadi tadi hingga membuatmu seperti ini?" Devandra sangat khawatir melihat Raya seolah menahan kesedihannya. "Bilang padaku tentang semua yang kamu rasakan. Tolong jangan dipendam sendirian."
Raya lelah hari ini. Dua orang pria memintanya berbicara tentang perasaannya di saat Raya ingin berdiam diri saja. "Dev, aku hargai semua perhatianmu padaku. Tapi maaf, biarlah aku seperti ini. Diam adalah caraku healing."
"Tapi aku juga ingin merasakan apa yang ada di hati dan pikiranmu, Ray. Kumohon jangan pernah menutup diri dariku karena aku sangat mencintaimu," batin Devan berucap. Ya, hanya dalam hati saja Devan bisa gamblang mengungkapkan perasaannya.
Teriris rasanya melihat Raya bersedih seperti kehilangan sesuatu yang berharga. Dia tak bisa memaafkan kakak kandungnya sendiri, jika Raya sampai kenapa-kenapa. Claytone hanya raga saja yang terlihat dewasa, tapi pemikiran dan tindakannya kekanak-kanakan.
Devan mengambil sesuatu dari dalam laci dasbor dan meletakkannya di jemari Raya.
"Apa ini?"
"Permen susu. Cobalah, rasanya manis enak seperti rasa susu."
Raya tersenyum. "Pastilah rasanya susu. 'Kan namanya juga permen susu."