Devan berusaha keras membuat Raya tersenyum dengan berbagai cara. Dimulai dari menceritakan cerita lucu, memutar musik, bernyanyi, dan terkadang saat dia bercanda malah hanya ditanggapi dingin saja.
"Dev, terima kasih, ya." Entah apa jadinya jika tidak ada Devan, mungkin Raya masih menangis memikirkan masalah Claytone dan Cindy.
"Ray, aku mohon. Jangan memendam sendiri kesedihanmu. Tolong berbagilah denganku." Devan mengusap lembut rambut panjang Raya. "Aku akan selalu ada untukmu."
Aneh sekali, dalam otak dia menolak perlakuan lembut Devan. Namun, tubuh dan hatinya menerima bocah itu tanpa perlawanan.
"Aku sedikit penasaran apa yang Kak Clay katakan hingga membuatmu bersedih. Tapi kuyakin kamu tak akan mau cerita padaku—"
"Foto Cindy ada di kamar Clay," potong Raya. "Ya, mungkin kedekatan mereka jauh lebih berharga daripada hubungan kami. Apa aku bersikap kekanak-kanakan jika mempertanyakan hubungan mereka?" tambahnya lagi.
Perih hati Devan mendengar hal itu. Raya menunjukkan rasa cemburunya pada Claytone dan Cindy. Apa wanita sangat mencintai kakaknya sebegitu dalam? Kenapa harus dengan Clay di saat Devan juga mempunyai rasa yang jauh lebih besar dari yang bisa diberikan Clay padanya.
"Wajar jika kamu mempertanyakan arah hubungan mereka. Aku paham, Ray. Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Clay pasti akan menemuimu lagi."
"Semoga saja," gumam Raya lirih. "Sampai ketemu besok lagi, ya. Bye." Dia segera masuk ke gang sempit menuju kontrakannya.
Devan masih memperhatikan Raya hingga dia berbelok dan tak terlihat lagi.
***
Devan POV
"Dev, kamu sudah mengantarkan Raya pulang 'kan?" tanya Claytone begitu adiknya sampai di rumah.
Devan muak sekali mendengar pertanyaan itu. Harusnya Raya menjadi tanggung jawab Claytone sebagai kekasih. Tapi Clay malah bersikap masa bodoh, membiarkan Raya pergi begitu saja.
"Sudah. Kak, kenapa di kamarmu malah memajang foto Cindy?" Devan tergelitik ingin menanyakan masalah yang membuat Raya menangis.
"Foto itu pemberian Cindy. Dia sendiri yang meletakkannya di meja kamar," balas Clay santai seolah tanpa beban pikiran.
"Lalu kenapa Kakak tidak mengejarnya saat Raya keluar dari rumah?" cecar Devan.
"Raya yang bilang mau sendiri dulu jadi aku memberikan waktu untuknya," kilah Claytone seolah membenarkan setiap tindakannya.
Devan geram. "Harusnya kamu mengejarnya, Kak. Ah, sudahlah percuma ngomong sama orang yang nggak peka perasaannya." Dia berjalan cepat menuju kamarnya.
Saat di dalam kamar, Devan langsung mencari artikel tentang cara menyenangkan hati pasangan. Dia mencoba satu per satu cara yang disarankan. Pertama memesankan makanan untuk Raya. Devan mengingat kembali apa saja menu yang disukai gurunya itu. Akhirnya menjatuhkan pilihan pada batagor dan ketoprak juga tak lupa jajanan pasar ke kontrakan Raya.
Cara kedua adalah membuat video lucu. Astaga! Jika bukan karena Raya, mana mungkin dia menggunakan filter kucing saat bernyanyi lagu favoritnya dengan suara yang sumbang. Apalah daya Devan bukanlah seorang penyanyi. Dia berharap semoga Raya terhibur dan kembali tersenyum seperti dulu.
Raya merespons usaha Devan dengan meneleponnya dua jam kemudian. "Halo, Ray," sapanya pada wanita di seberang telepon.
"Wah, aku tak menyangka ternyata kamu imut sekali seperti kucing jantan. Dev, tahu tidak aku kenyang sekali makan ketoprak pemberianmu. Terima kasih, ya," ucap Raya menunjukkan suara bahagianya jauh berbeda dari tadi.
"Ray, videoku jangan disebar ke mana-mana. Itu hanya untukmu. Aku malu." Devan sudah gila karena Raya. Bisa-bisanya dia membuat video imut untuk membahagiakan wanita itu. Sulit sekali diterima akal sehat.
"Ah, kamu terlambat bilangnya. Teman-temanku sudah melihat video itu. Mereka bilang kamu gemoy sekali. Aku heran penggemarmu makin bertambah saja. Dasar warga good looking," gurau Raya membuat Devan malu.
"Ha? Jadi semua teman kontrakanmu melihat video itu? Aku malu kalau ke tempatmu lagi dong. Gila kamu, Ray," pungkas Devan sedikit panik. Bagaimana dia bisa muncul lagi ke kontrakan Raya jika seperti ini.
"Kalau kamu malu ke sini, ya sudah tak perlu datang lagi. Hidupku bisa bebas sekarang," jawab Raya malah menyambutnya dengan bahagia.
"Eits, rasa rinduku padamu bisa dengan mudah mengalahkan malu. Aku tetap akan mencarimu," kata Devan mantap.
Raya tertawa. "Dasar gombal."
"Ray, kamu jangan mengkhawatirkan tentang masalah kakakku dan Cindy lagi, ya. Aku yakin hubungan mereka tidak seperti yang ada di pikiranmu." Sedih rasanya berkata seperti ini pada wanita yang dicintai saat meyakinkannya untuk percaya pada pria lain.
"Iya. Dev, terima kasih untuk perhatianmu selama ini. Kamu memang baik," puji Raya tulus.
"Masak cuma baik? Harusnya ditambahi ganteng, pintar, dan tidak sombong. Nanggung amat mujinya," gerutu Devan.
"Serah lu deh Tong! Bye, aku mau tidur dulu."
"Ray, tunggu sebentar." Devan tak ingin obrolannya dengan Raya terhenti.
"Kenapa, Dev?"
"Aku ingin sekali bisa foto berdua denganmu dan diletakkan di bingkai. Jadi setiap kamu datang ke rumah dan menengok kamarku, pasti akan ada foto berdua di sana."
Raya terdiam, entah sedang memikirkan apa.
"Ray, kamu tidur? Ya Tuhan, tidak sopan sekali," protes Devan tak segera mendapatkan jawaban dari lawan bicaranya.
"Dev, apa kamu mencintaiku?"
Glek.
Detak jantung Devan berdegup cepat sekali. "Tentu. Aku mencintaimu, Ray. Kenapa bertanya seperti itu? Atau jangan-jangan kamu meragukan rasa cintaku, ya?"
"Bukan begitu. Akan jadi aneh jika di kamarmu terpajang fotoku kalau kamu tak punya rasa padaku 'kan?"
"Aku cinta, cinta, cinta, mati denganmu." Devan mengulang kata-katanya.
"Iya aku percaya. Baguslah. Sekarang aku mau tidur. Besok berangkat pagi."
"Besok aku akan menjemputmu, jadi jangan berani-berani berangkat tanpa aku. Mengerti?"
"Serah lu deh Tong!" Raya segera menutup ponselnya sebelum pembicaraan absurd kembali berlanjut.
***
Pagi-pagi seperti biasa Devan sudah ada di depan kontrakan. Kali ini dia rela pergi ke pasar membeli beberapa makanan untuk Raya dan teman-temannya.
"Kamu bangun jam lima untuk pergi ke pasar?" Raya tak percaya dengan perkataan Devan.
"Kamu pikir aku berbohong. Ini buktinya," tunjuk Devan mengarah pada satu kantong keresek berisi jajanan pasar. "Tapi menyenangkan sekali bisa bangun lebih awal. Biasanya jam setengah tujuh baru bangun. Kamu benar-benar mengubahku, Ray."
Raya menepuk pundak Devan. "Nah, itu baru murid yang baik. Harus taat pada peraturan sekolah. Dilarang terlambat masuk kelas."
Devan menarik lengan Raya untuk duduk di ruang tamu umum. "Aku lapar." Dia mengambil kue putu.
Raya tertawa melihat bibir Devan kotor dengan parutan kelapa. "Lihatlah cara makanmu macam bocah SD saja. Belepotan sekali." Wanita itu membersihkan mulut Devan dengan tisu.
"Ray, jangan tersenyum."
"Memangnya kenapa?"
"Jika kamu terus tersenyum begitu, akan membuatmu tambah cantik. Dan aku memiliki kecenderungan untuk mencium wanita-wanita cantik." Devan tampak serius saat bilang ingin mencium Raya.
"Ish, dasar bocah mesum!" Raya menoyor kepala Devan dengan beringas.